Dalam babak knock-out pertama kala bersua Kolombia, Inggris awalnya bermain dominan. Tetapi pemain Inggris lupa kalau permainan sepakbola itu berlangsung 2X45 menit. Di saat akhir pemain Inggris lengah, lalu Kolombia menyamakan kedudukan.
Dalam adu penalti, sekali lagi Inggris dipeluk oleh dewi fortuna. Inggris yang sering kalah adu penalti justru memenangkan pertandingan itu. Inggris kegirangan, Kolombia meradang!
Menghadapi Swedia di babak berikutnya, Inggris langsung menghajar Swedia yang bermain sungkan dengan dua biji gol. Namun kemudian Inggris tertekan oleh gelombang serangan Swedia yang kini bermain lepas. Pickford kemudian harus jatuh bangun untuk mengamankan gawangnya agar tidak kebobolan. Sekali lagi gawang Inggris dipeluk oleh dewi fortuna.
Artinya pada Piala Dunia 2018 ini, Inggris selalu terhindar dari kekalahan setelah unggul lebih dahulu dalam tiga laga kontra Tunisia, Kolombia dan Swedia di fase grup maupun fase gugur.
Kondisi ini mirip (serupa tapi tidak sama) dengan Kroasia. Kroasia tiga kali tertinggal untuk kemudian berhasil merebut kemenangan. Inggris tiga kali unggul, untuk kemudian berhasil mempertahankan kemenangan itu dari rebutan lawan!
Namun pada laga semi-final kemarin Inggris gagal menambah statistik kemenangan itu menjadi empat kali. Rupanya dewi fortuna ini mirip dengan jin dalam botol, yang hanya mau memenuhi permintaan untuk tiga kali saja. Itulah yang dilupakan oleh Gareth Southgate. Angan dan dewi fortuna tidak akan pernah cukup untuk membuat Football's Coming Home to England....
***
Kini tugas berat ada dipundak Zlatko Dalic, bagaimana meramu strategi yang tepat untuk pertandingan final nanti. Secara fisik dan mental, jelas tim Kroasia dibawah Prancis yang lebih segar. Tiga kali pertandingan di fase gugur dilewati Kroasia dengan perpanjangan waktu dengan dua diantaranya harus dilewati dengan babak adu penalti.
Secara teknis juga Prancis jelas diatas Kroasia. Dewi fortuna juga tampaknya tidak akan berpihak lagi kepada Vatreni... Pertandingan final nanti akan mirip dengan pertarungan David melawan Goliath. Apakah yang akan dilakukan Dalic?
Dalic harus kembali lagi kepada rindu yang terpendam dulu itu... Dua puluh tahun lalu, Dalic berada di tribun stadion untuk mendukung perjuangan Davor Suker cs melawan tuan rumah Prancis. Dari bangku stadion itu Dalic hanya bisa menatap iba, melihat kesedihan yang terpancar di mata Sukerman cs ketika ditaklukkan Zidane cs...
Kini Dalic berada di bench pelatih dan bertanggung jawab penuh untuk menentukan nasib mereka sendiri, apakah mereka akan tertawa atau menangis.