"Iya...iya...akang minta maaf...ayo  sekarang  kita berangkat lagi saja...biar Nyai tidak marah-marah lagi ke akang...he...he..."
Dewi Sekar kembali tersenyum mendengar ucapan Jaka Someh yang melemah kepadanya. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Tanpa terasa malam sudah menggantikan siang, namun Jaka Someh masih tetap terus mengendarai gerobak sapinya. Dewi Sekar duduk di sampingnya. Sambil mengobrol dan bercanda, mereka  menikmati perjalanan malam tersebut. Malam pun semakin bertambah larut.
Untunglah malam itu sedang purnama, bahkan purnama yang tidak biasa karena ukuran bulannya terlihat lebih besar. Begitu indahnya fenomena supermoon, cahaya yang lembut menerangi jalan-jalan gelap yang sedang dilewati. Jaka Someh berkata lembut kepada istrinya sambil menunjuk ke arah bulan
"Nyai, lihat...bulannya kelihatan lebih besar ya...indah sekali..."Â
Pandangan Dewi Sekar mengikuti ke arah yang di tunjuk oleh Jaka Someh
"Iya, kang. Bulannya indah sekali...saya baru sadar ternyata langit begitu indah apabila sedang purnama..."
Jaka Someh tersenyum mendengar ucapan Dewi Sekar. Â Tanpa terasa Dewi Sekar kemudian menyandarkan kepala di bahu suaminya. Jaka someh yang jarang merasakan bersentuhan dengan wanita, hatinya menjadi dag dig dug tidak karuan. Meskipun Dewi Sekar sudah resmi menjadi istrinya, namun tetap saja dia merasa kikuk dan sungkan. Ingin rasanya dia memeluk istrinya, namun tangannnya serasa tak berdaya untuk melakukannya. Hanya pikirannya saja yang sibuk tidak karuan. Jantungnya berdebar sangat keras, bahkan Dewi Sekar mampu mendengar detak jantung Jaka Someh yang sedang berdegup kencang. Dewi Sekar tersenyum, kemudian memandangi wajah suaminya. Ada perasaan iseng untuk menggoda suaminya yang nampak masih terlihat polos.
" Muka akang kenapa menjadi pucat seperti itu, kenapa... apakah akang sakit ya..?."
"eh...ah...anu..anu...akang tidak apa-apa..nyai...eh..ah....aduh..."
Jaka Someh terbata-bata menjawab pertanyaan iseng istrinya. Dewi Sekar tersenyum, kemudian memeluk  erat Jaka someh.