Mohon tunggu...
Yadi STP MM
Yadi STP MM Mohon Tunggu... Penulis - Science Content Writer PT Algarosan Nusantara

Berasal dari Rangkasbitung sekarang tinggal di Surabaya. Bekerja sebagai penulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel Cerita Ksatria Ilalang Bab 41 Sebuah Perjuangan Untuk Hidup

6 Juni 2022   05:07 Diperbarui: 6 Juni 2022   08:17 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dasar jurang, Sugandi ternyata tidak mati. Dia hanya mengalami patah tulang di kaki kirinya, dan beberapa luka memar di beberapa bagian anggota tubuhnya. 

Rasa sakit yang luar biasa yang dia derita membuat dia terpaksa untuk merebahkan diri. Karena sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit, Sugandi akhirnya pingsan, tak sadarkan diri selama satu hari lebih. 

Setelah larut malam, Sugandi mulai kembali siuman. Dia mengerang kesakitan, badannya menggigil menahan dinginnya malam yang gelap gulita. 

Sugandi hanya mampu pasrah dengan keadaannya tersebut. Dia tidak mamu berkata apa-apa, hanya matanya saja yang melelehkan air mata. Begitu berat penderitaan yang dia rasakan. Akhirnya Sugandi kembali tertidur sampai matahari mulai bersinar dari ufuk timur. 

Setelah bangun dari tidur, Sugandi masih mengerang kesakitan, hanya saja, semangat hidupnya mulai kembali muncul. Dia ingin tetap hidup dan ingin membalaskan dendam kepada para warga yang telah menyakitinya. Dengan sisa-sisa tenaga, Sugandi mulai merangkak menuju ke tempat yang lebih nyaman. 

Dilihat, di dekatnya ada sebuah sumber air, Sugandi mencoba untuk merangkak menuju ke arah mata air tersebut untuk meminum beberapa teguk air.

Setelah puas meminum air, Sugandi kemudian merangkak lagi untuk mencari tanaman yang sekiranya bisa dimakan. Namun dia tidak melihat ada tanaman atau buah-buahan yang layak. 

Akhirnya Sugandi hanya memakan daun-daunan muda yang berada di sekitar tempat itu. Entah dari tanaman apa, dia sudah tidak mempedulikannya lagi. 

Meskipun rasanya tidak enak, Sugandi tetap memakan dedaunan tersebut untuk mengembalikan tenaganya. Demikianlah selama beberapa pekan dia hanya mampu memakan dedaunan itu saja.

Sungguh ajaib, setelah lima pekan, tubuhnya sudah mulai pulih, bahkan kakinya yang patah sudah mulai sembuh, meskipun jalannya masih tertatih-tatih. 

Dengan kaki yang masih pincang, Sugandi berjalan menelusuri lembah, mengikuti aliran sungai kecil. Sampai di suatu tempat, Sugandi melihat ada kumpulan bebatuan yang berukuran besar. Sugandi mendekati bebatuan tersebut dan beristirahat di atas sebuah batu yang ukurannya tidak terlalu besar. 

Sambil duduk, dia mengamati keadaan di sekitar tempat itu. Tepat di sebelah dinding lembah yang menjulang tinggi terdapat sebuah gua yang nampak gelap. Sugandi merasa penasaran dengan gua tersebut, dia turun dari atas batu dan mendekati gua tersebut.

Saat berada tepat di mulut gua, Sugandi melihat banyak tulang berserakan di sekitar mulut gua itu.

Tulang belulang tersebut ternyata adalah tulang manusia. Di sana juga terdapat banyak senjata yang berserakan. Sugandi menyangka bahwa tulang belulang tersebut adalah berasal dari prajurit dari masa lampau yang tewas di tempat itu.

Entah, apakah karena Sugandi bmemang seorang yang pemberani ataukah karena rasa takutnya telah habis, Sugandi benar-benar tidak merasa gentar sedikitpun berada di tempat yang nampak angker tersebut. Sugandi mengumpulkan beberapa senjata yang berserakan tersebut. 

Ada pedang, golok, kapak, pisau, tombak, dan kujang. Menemukan berbagai kumpulan senjata tersebut membuat Sugandi bahagia, seakan-akan dia telah menemukan harta karun yang banyak.  Dengan adanya kapak dan golok, Sugandi kemudian membuat sebuah pondok sederhana dari kayu. 

Dia menekang beberapa pohon yang ada di sekitar lembah itu untuk di olah menjadi potongan kayu. Dengan tombak yang dia temukan, Sugandi mulai belajar cara berburu binatang buruan dan belajar menombak ikan yang ada di sungai. 

Awalnya dia mengalami kegagalan dalam perburuannya, namun seiring dengan waktu, dia  mulai mahir menggunakan tombaknya tersebut untuk berburu hewan buruan dan ikan.

Tanpa terasa sudah hampir setahun dia hidup di lembah itu, kemampuan berburunya juga sudah meningkat pesat. Sekarang, jarang sekali dia mengalami kegagalan dalam perburuannya. Tubuh Sugandi juga sekarang bertambah kuat dan sehat. Gerakannya juga sangat gesit.

Suatu malam saat Sugandi sedang tertidur, tiba-tiba ada seekor ular sanca yang berukuran besar melilit tubuhnya. Sugandi terbangun dari tidur dan kaget karena tubuhnya sudah dililit kuat oleh ular sanca itu. Sugandi merasa kesulitan untuk bernafas. 

Namun karena semangat hidupnya yang begitu tinggi dia berusaha keras untuk melawan ular tersebut.  Dia tidak mau menyerah terhadap ular tersebut, dengan senjata kujang yang sada di pinggangnya, Sugandi berhasil merobek perut ular sanca tersebut, hingga lilitannya menjadi terlepas.

Secepat kilat Sugandi langsung menusukan kujangnya ke tubuh ular berkali-kali hingga ular sanca itu pun mati. Sugandi kemudian menguliti kulit ular yang sudah mati itu. Kulitnya kemudian dia jadikan sebagai pakaian, setelah di jemur sampai kering di terik matahari.

Pernah suatu saat,  Sugandi sedang berburu ikan dengan tombaknya, tiba-tiba ada seekor macan tutul yang menyergapnya dari arah belakang.   

Punggung Sugandi pun terluka, namun dengan sisa tenaganya, dia berhasil menghempaskan macan tersebut hingga terpelanting ke tanah. 

Meskipun masih dalam keadaan terluka, Sugandi berusaha keras untuk melawan macan tutul yang sedang kelaparan tersebut. Sorot matanya juga tak kalah ganas dengan mata macan yang sedang berusaha memangsanya. Sugandi menatap tajam ke arah macan itu. 

Tangannya sudah bersiap menggenggam kujang. Ketika macan itu kembali menerjang, Sugandi dengan sigapnya menusukan kujang ke arah perut macan yang sedang melayang ke arahnya. Tusukannya begitu dalam, membuat macan itu langsung terkulai jatuh ke tanah. Macan itu pun mati. 

Meskipun punggung Sugandi dalam keadaan terluka akibat cakaran macan, namun Sugandi tetap berdiri kokoh. Dia sudah tidak begitu peduli terhadap lukanya. Bahkan asyik menguliti macan yang sudah mati itu untuk dijadikan pakaian sehari-hari.

Tanpa terasa sudah dua tahun Sugandi sekarang tinggal di lembah hutan Dadap Kulon. Pada suatu malam Sugandi bermimpi aneh, dia bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang bertampang sangat seram. 

Kakek itu meminta Sugandi untuk menemuinya di dalam gua gelap yang tak jauh dari pondoknya. Kakek itu mengaku bernama Eyang Jaya perkasa.  Awalnya Sugandi mengacuhkan mimpi tersebut. 

Dia menganggap  sebagai bunga tidur. Namun mimpi itu terus datang di setiap tidurnya. Sugandi pun mulai terpengaruh pikirannya. Dia merasa penasaran dengan mimpinya, dan ingin membuktikan isi dari mimpi tersebut.

Keesokan pagi, Sugandi pergi menuju gua yang ada dalam mimpinya.

Sesampainya di mulut gua, Sugandi berhenti dan mengamati keadaan di sekitarnya. Entah mengapa dia merasa takut melihat gua itu. Gua tersebut terlihat sangat angker.

Namun karena rasa penasarannya yang sudah sangat besar, Sugandi bertekad untuk tetap masuk ke dalam gua tersebut.

Awalnya gua itu terlihat gelap dan lembab, namun semakin kedalam, ternyata gua itu nampak menjadi lebih terang. Di dalam gua, Sugandi melihat  ada suatu ruangan yang luas dan terang karena terkena sinar matahari. Sinar matahari dari celah lukang yang ada di atas gua. 

Dalam suasana remang, Sugandi memperhatikan keaadaan di sekitarnya. Dia berusaha meningkatkan kewaspadaannya. Kujangnya sudah dalam genggaman, khawatir akan ada bahaya yang tiba-tiba akan menimpanya. Dilihatnya ada suatu sosok yang sedang duduk bersila di salah satu pojok gua. Sugandi melihat tajam mengamati sosok tersebut. Dalam hati dia bertanya

"Eh itu  siapa? Manusia ataukah setan penghuni gua ini....?".

Sosok tersebut tak bergerak sedikitpun juga, tidak terpengaruh oleh kedatangan Sugandi. Matanya terpejam, hampir saja Sugandi menyangka sosok  itu adalah sebuah arca. Namun Sugandi meyakinkan diri bahwa itu memang adalah sosok makhluk  hidup. Setelah dekat Sugandi dapat melihat jelas  ternyata sosok itu adalah seorang kakek yang sedang bertapa.

Wajah kakek itu persis sama dengan wajah yang ada dalam mimpinya. Sugandi memberanikan diri untuk mendekati kakek itu, kemudian dia memanggiil nya,  

"Eyang Jaya Perkasa...?"

Mendengar namanya di panggil,  kakek itu membuka matanya. Matanya melotot,  berwarna merah menyala. Eyang Jaya Perkasa menatap tajam ke arah Sugandi. Secepat kilat, dia melompat ke arah Sugandi dan langsung mencekiknya. Tentu saja Sugandi merasa kaget dan panik, secara spontan dia langsung menusukan kujangnya ke arah Eyang Jaya Perkasa.

Sugandi semakin bertambah kaget, karena kujangnya tak mampu menembus tubuh kakek itu. Bahkan tangan sugandi menjadi kesemutan setelah kujangnya beradu dengan tubuh Eyang Jaya Perkasa. Tubuh Eyang Jaya Perkasa sangat keras bagaikan sebuah batu karang yang pejal. Eyang Jaya Perkasa kemudian tertawa dan berkata kepada Sugandi,

"Ha...ha...bocah...kenapa kamu mengganggu pertapaan saya...?"

Eyang Jaya Perkasa kemudian membanting tubuh Sugandi ke didinding gua. Sugandi terpelanting membentur dinding gua. Kemudian dia berusaha bangkit dan membalas dengan menyerang eyang jaya perkasa, namun usahanya sia-sia, karena eyang jaya perkasa ternyata sangat kuat. Sugandi pun akhirnya menjadi bulan-bulanan dari eyang Jaya perkasa, di banting ke sana kemari.

Meskipun badannya terasa remuk,  namun Sugandi tetap tidak mau menyerah. Dia terus berjuang melawan eyang Jaya Perkasa meskipun sadar bahwa kekuatannya tidak sebanding dengannya. Tenaga Sugandi mulai terkuras habis, hanya menyisakan semangat hidup saja, yang membuatnya masih bisa bertahan. Sorot mata Sugandi masih tajam, menatap kepada eyang jaya perkasa. Eyang jaya perkasa. tertawa ketika melihat sorot mata Sugandi yang masih menyala

"Ha...Ha...bocah...kamu masih punya semangat rupanya...sekarang ini rasakan..." 

Setelah berhenti tertawa, eyang jaya perkasa memukul perut Sugandi. Meski terlihat pelan, namun pukulan tersebut mampu membuat Sugandi langsung terhempas beberapa langkah ke belakang. Sugandi jatuh tersungkur ke tanah. Dari mulutnya keluar darah segar. Meskipun kondisinya sudah sangat kritis, namun Sugandi masih berusaha untuk bertahan untuk melawan eyang jaya perkasa. Dia mencoba memukul dan menendang eyang jaya perkasa dengan sisa-sisa tenaganya. Namun usahanya menjadi sia-sia, karena eyang jaya perkasa langsung memukul Sugandi dengan satu pukulan tinju ke dada Sugandi. Sugandi terpelanting ke belakang dan kembali terjatuh. Tapi kemudian sugandi segera bangkit kembali meski tubuhnya sempoyongan.

"Saya tidak boleh mati....Saya harus hidup...tidak boleh kalah oleh kakek ini..." Sugandi kembali menguatkan tekadnya untuk tetap hidup.

Melihat Sugandi kembali bangkit, eyang jaya perkasa tiba-tiba tertawa dengan keras

"Ha...Ha...Bocah...kamu punya semangat hidup yang tinggi...kamu layak untuk menjadi murid saya..."

Sugandi kaget mendengar perkataan eyang Jaya Perkasa yang menyatakan ingin menerimanya sebagai murid. Tanpa fikir panjang, Sugandi langsung berlutut untuk memberi hormat kepada eyang Jaya Perkasa

"Terima kasih....eyang...Guru...." 

Bersambung Ke Bab 42 Pendekar Pilih Tanding

Kembali Lihat Daftar Isi dan Sinopsis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun