Mohon tunggu...
Yadi STP MM
Yadi STP MM Mohon Tunggu... Penulis - Science Content Writer PT Algarosan Nusantara

Berasal dari Rangkasbitung sekarang tinggal di Surabaya. Bekerja sebagai penulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerita Novel Ksatria Ilalang Bab 3 Kesepian. Mengharapkan teman untuk Berbagi

29 Mei 2022   22:11 Diperbarui: 23 Juni 2023   08:26 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari sudah hampir berada di tengah langit. Panasnya sudah begitu terik. Hanya ada sedikit awan yang menutupi langit di wilayah kampung Cikaret. Angin gunung berhempus sepoi-sepoi. Jaka Someh sudah pingsan selama lebih dari 6 jam. Meskipun di sekitar tempat itu banyak pepohonan yang rimbun, namun Jaka Someh pingsan di tengah jalan setapak yang tidak ternaungi oleh pepohonan. Terik matahari pun mengenai kulitnya, yang segera menyadarkannya dari pingsan.

Jaka Someh mencoba untuk membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, bumi dan langit seakan-akan berputar. Dia pun kembali memejamkan mata. Setelah kesadarannya mulai stabil. Dia kembali membuka mata, dan mulai mengingat peristiwa yang baru dialaminya tadi. Peristiwa naas yang tak terduga sama sekali. Begitu cepat dan spontanitas.

Wajahnya terasa perih dan sakit akibat dipukul dan ditampar. Dadanya terasa sesak akibat ditendang Ki Marta dan kawan-kawannya. Segala persendiannya terasa ngilu. Dengan susah payah dia berusaha bangun dan duduk. Setelah berhasil duduk, Jaka Someh terdiam untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Sedih, marah dan kecewa bercampur aduk di dalam jiwanya. Membangkitkan keinginan untuk membalas dendam.

Hatinya dipenuhi rasa luka, membuat dia lupa dengan rasa sakit yang ada di tubuhnya. Dalam hati muncul keinginan untuk membalas dendam kepada musuh yang telah menganiaya dirinya dan ayah tercinta. Jaka Someh kemudian berusaha untuk berdiri, meski awalnya sempoyongan, namun akhirnya dia berhasil dapat berdiri tegak. Setelah itu dia berjalan ke arah sebuah pohon yang nampak rimbun. Meskipun tertatih-tatih akhirnya dia berhasil berjalan beberapa langkah, menuju naungan kerimbunan pohon asam yang tidak jauh dari tempat itu. Di bawah pohon asam itu dia mengistirahatkan kembali jiwa dan raganya yang sedang terluka. Setelah beristirahat cukup lama, keadaannya pun sudah mulai stabil. Jaka Someh kemudian memutuskan untuk pulang ke gubuknya. Dengan tertatih-tatih, dia berjalan pulang ke arah gubuknya. Hari itu dia telah gagal untuk pergi ke ladangnya.

Sudah seminggu semenjak terkena musibah, Jaka Someh tidak pergi ke ladangnya. Dia lebih banyak melamun di dalam gubuknya. Tubuhnya memang sudah mulai membaik, meskipun masih ada sedikit lebam di wajahnya. Walau masih remaja, Jaka Someh memiliki tubuh yang kuat. Berangsur angsur semua luka di tubuhnya akhirnya sembuh total.  Namun tidak demikian dengan luka di hatinya, luka hatinya masih belum bisa sembuh.

Hari itu Jaka Someh hanya duduk melamun di serambi bale-bale, merenungi nasib yang tampak sial. Dia merasa Tuhan bertindak kejam terhadap kehidupannya. Sudah tidak punya ayah dan ibu, sekarang dia mengalami penganiayaan. Sebatang kara, tidak ada seorang pun yang bisa diajak untuk berbagi keluhan, apalagi yang mempedulikan dan menolongnya. Hidup sendiri dalam gubuknya yang jauh dari pemukiman warga lainya. Jaka someh berharap ada orang yang menemani di saat susah seperti ini.

Terkadang memang ada beberapa warga kampung yang sedang mencari kayu bakar datang berkunjung ke gubuknya, meskipun hanya sekedar untuk ikut beristirahat di serambi gubuknya. Namun sudah lebih dari seminggu ini, tidak ada seorang tamu pun yang berkunjung ke gubuknya itu

Tiba-tiba dia merasa rindu yang sangat kepada kedua orang tuanya. Dia pun mengenang saat bersama kedua orang tuanya dulu. Jaka Someh merasa sedih teringat nasib ayahnya yang mati tragis di keroyok oleh Ki Marta dan kawan-kawannya. Dia pun nyaris bernasib sama dengan ayahnya. Jaka Someh tidak mau kejadian yang telah dialaminya beberapa waktu yang lalu akan terulang kembali dalam kehidupannya mendatang. Dia pun bertekad untuk membalas perbuatan Ki Marta dan kawan-kawannya yang telah menganiaya dirinya.

 “seandainya saja saya memiliki kemampuan bela diri, apalagi kalau saya bisa menjadi pendekar… pasti akan saya habisi mereka semua…eh…”

Jaka Someh bergumam sendirian sambil mengepalkan kedua tinjunya. Dalam hati, terbersit keinginan untuk menjadi pendekar yang gagah dan kuat, yang tidak mudah dikalahkan oleh musuh siapapun. Tapi bagaimana caranya dia bisa menjadi seorang pendekar? jangankan ilmu yang tinggi, dasar-dasar silatpun dia tidak tahu.

Jaka Someh kemudian bergumam

”Kalau begitu saya harus mencari seorang guru silat yang hebat, tapi kemana saya harus mencari seorang guru? Aahh...tak peduli dimanapun dia berada, pokoknya saya harus menemukan seorang guru yang hebat yang mau mengajari saya dengan ilmu silat...!”

Hari-hari berikutnya, pikiran Jaka Someh dipenuhi dengan hasrat untuk mencari seorang guru yang bisa mengajarinya silat.

Pagi itu Jaka Someh  duduk di sebuah batang pohon besar yang ada di halaman gubuknya. Pikirannya melayang memikirkan berbagai peristiwa yang telah lewat. Ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba ada seorang lelaki yang datang ke gubuknya. Dia adalah Mang Engkos, warga kampung Cikaret yang sedang mencari kayu bakar. Melihat Jaka Someh sedang duduk melamun, tiba-tiba muncul keisengan dalam benak mang Engkos untuk mengagetkan Jaka Someh. Dengan berjalan mengendap-endap dari arah belakang, Mang Engkos segera menepuk pundak Jaka Someh secara keras sambil berteriak

“Hey...Someh, kamu sedang memikirkan apa...?”

Jaka Someh terperanjat dikejutkan oleh mang Engkos. Lamunannya pun langsung buyar. Jaka Someh berkata kepada mang Engkos

“Ah mang Engkos ini, bikin jantung saya mau copot saja...”

Mang Engkos tertawa terbahak-bahak melihat Jaka Someh terlihat kaget, lalu berkata kepada Jaka Someh

 “Lagian kamu sih.... pagi-pagi sudah melamun...ngelamunin apa sih Meh...?”

Jaka Someh merasa senang bisa bertemu dengan Mang Engkos di saat hatinya sedang mengalami kegundahan seperti itu, namun dia berpura-pura cemberut kepada Mang Engkos, sambil berkata

“Ah Mamang  ingin tahu urusan orang saja...dasar kepo...”.

Mang Engkos berlagak menunjukan wajah seriusnya, namun terlihat lucu di mata Jaka someh,

“Bukan begitu Meh, pamali kalau banyak melamun ...  saya punya cerita tentang orang yang meninggal mendadak gara-gara kebanyakan melamun...”

Entah kenapa Jaka Someh merasa penasaran dengan ucapan Mang Engkos

“Hah yang benar  Mang? masa iya gara-gara melamun saja orang bisa mendadak meninggal...?”

Masih dengan muka serius Mang Engkos pun menjawab rasa penasaran Jaka someh

“Wah...kamu tidak percaya dengan cerita saya ya? ...Ya bisa saja  Meh, begini ceritanya...dulu ada seorang lelaki bernama Kardun...dia  seorang penggembala kambing. Suatu hari Si Kardun minta kawin kepada emaknya...Emaknya bingung karena tidak ada seorang perempuan pun di desa itu yang mau menikah dengan si kardun...bahkan nenek-nenek peot saja sampai bilang ogah pada si kardun. Wajar juga sih sebenarnya, karena si Kardun  memang gak pernah mandi, gaulnya juga cuma sama kambing, makanya badannya  bau sekali, sehingga tidak ada seorang wanita pun yang mau menikah dengannya. Akhirnya Si Kardun pun menjadi sering melamun. Setiap hari  kerjanya hanya melamun saja, memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa kawin. Si Kardun melamun setiap hari dan petang. Para warga yang melihatnya ikut merasa kasihan. Namun bagaimana lagi, meskipun sudah di usahakan dicarikan jodoh oleh mereka, namun masih belum juga ada perempuan yang mau untuk di kawinkan dengan si Kardun, akhirnya mereka pun pasrah.

Hari-berganti hari, entah karena bosan atau karena hal yang lain, si Kardun pun akhirnya sudah nampak ceria kembali. Dia sudah tidak lagi minta kawin. Para warga yang mengetahui hal tersebut pun ikut merasa senang. Namun kejadian itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Setelah tiga bulan berlalu, Si Kardun kembali terlihat susah dan gelisah lagi. Dia kembali menjadi sering melamun lagi, apalagi saat tahu kambingnya sedang bunting besar. Para warga heran dengan sikap si Kardun seperti itu, harusnya dia senang melihat kambingnya menjadi bunting, tapi ternyata dia sedih dan bingung.

Singkat cerita, pada saat kambingnya sudah akan melahirkan, si Kardun terlihat berada di sisi kambingnya. Dia menungguinya dengan perasaan penuh was-was.

Anak kambing yang pertama pun lahir, ternyata anak kambing tersebut persis seperti ibunya. Berupa kambing tulen 100%. Si Kardun merasa senang bukan kepalang. Namun rasa senangnya itu  hanya berlangsung beberapa saat saja. Karena kambing betinanya sudah kembali memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan lagi. Si Kardun kembali menjadi was-was. Namun ketika anak kambing yang kedua sudah terlahir dan masih masih mirip dengan ibunya. Si Kardun kembali merasa senang bukan kepalang, sampai-sampai dia berjingkrak-jingkrak karena senangnya.

Begitu giliran anak kambing terakhir sudah mau keluar, Si Kardun kembali lagi memperlihatkan wajah yang susah, hatinya menjadi was-was tak karuan. Dengan perlahan anak kambing itu pun keluar dari rahim ibunya. Pertama yang keluar adalah bagian kakinya, Si Kardun merasa senang karena kakinya ternyata mirip dengan kaki kambing pada umumnya. Tak lama kemudian bagian badannya juga keluar, ternyata badannya juga masih mirip dengan kambing  umumnya. Si Kardun semakin bertambah senang.

Pada saat bagian kepalanya sudah mau keluar, Si kardun merasa ketakutan yang luar biasa. Saking takutnya, dia sampai menutupi matanya dengan kedua tangan. Khawatir kepala anak kambing tersebut mirip dengan kepala manusia. Begitu kepalanya sudah keluar dengan sempurna ternyata kepalanya juga adalah kepala kambing. 100 persen kambing. Si Kardun langsung bersorak saking senangnya. Bahkan sampai melompat-lompat dan salto beberapa kali kerena bahagia.

Namun dia langsung terhenyak kaget, badannya menjadi dingin ketika ketiga anak kambing tersebut bersuara keras, memanggil dirinya.

“Baapaak....bapaakkk.... embeekk...embeek...baapaaak...baapaaak...”.

Anak kambing tersebut ternyata memanggil si kardun dengan sebutan ‘Bapak’.

Spontan saja si Kardun pingsan dan langsung meninggal saat itu juga...he...he...makanya kamu juga, Meh, jangan kebanyakan melamun...nanti kayak si Kardun lho...mati mendadak...”.

Jaka Someh tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Si Kardun dari mang Engkos. Dia merasa terhibur dan lupa bahwa saat itu dia sedang mengalami kesusahan.

Kemudian Jaka Someh berkata ke Mang engkos

“Ha...ha...Mang Engkos  bisa saja...ceritanya  terlalu dipaksakan...benar-benar tidak nyambung.... tapi saya koq jadi ngebayangin wajah si Kardun ya..! wajah yang lagi ketakutan sewaktu menunggu lahiran anak kambing...Wah pastinya dia kawatir sekali kalau anak kambingnya akan mirip dengan dirinya...Karena dia memang bapak dari ketiga anak kambing itu…he...he...”.

Mang Engkos tersenyum melihat Jaka someh bisa tertawa terpingkal-pingkal. 

Setelah suasananya kembali tenang, jaka someh pun bercerita ke Mang Engkos bahwa dia sedang mencari seorang guru silat. Mang Engkos berkata

“Oh, kenapa kamu tidak bercerita kepada Saya dari tadi , Someh...kalau masalah itu,  kamu tidak perlu Susah...Kamu bisa belajar silat di perguruan Maung karuhun. Itu perguruan silat yang sudah terkenal sampai ke berbagai pelosok wilayah Pajajaran bahkan Sukabumi…bukan hanya di kampung kita saja. Aduh Someh…kamu koq  bisa sampai tidak tahu seperti ini…dasar memang kamu udik, makanya bergaul…jangan di hutan saja…masa ada perguruan silat hebat di kampung sendiri saja tidak tahu…Banyak orang dari jauh yang sengaja datang ke Perguruan Maung karuhun, karena ingin berguru ke Ki Jaya Kusuma…dasarJaka Someh memang orang udik…he…he…hanya tahu  mencangkul saja…. he…he…”.  

Jaka Someh tersenyum saat mendengar ocehan mang Engkos yang terus menyerocos.

Mendengar penjelasan Mang Engkos, wajah Jaka someh menjadi sumringah. Seakan-akan dia telah menemukan titik terang.  Dia merasa senang setelah mendengar informasi dari Mang Engkos. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih kepada Mang Engkos

“Terima kasih banyak, mang. Insya Allah saya mau berguru ke Sana…tapi kira-kira apakah Ki Jaya Kusuma, mau menerima saya atau tidak, ya. Untuk menjadi muridnya...?”

Mang Engkos tersenyum mendengar ucapan Jaka Someh

 “Hey kamu  belum apa-apa koq sudah pesimis, Insya Alloh di terima  atuh Someh…Kamu tidak perlu khawatir karena Ki Jaya Kusuma itu orangnya baik…tidak sombong…kamu tenang saja…. ayo semangatlah, semangat…semangat…ayo semangat…he…he…”

Jaka someh tersenyum, hatinya bergembira setelah berbincang-bincang dengan Mang Engkos.

Bersambung ke Bab 4. Menyambung Silaturahmi. Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

Lihat Sinopsis Daftar Isi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun