Sonia menghentikan langkah di dekat mereka, matanya tertuju kepada Rocky. Eric mengerti sesuatu, jadi dia pamit masuk dulu.
"Sori, aku masuk dulu. Udah ngantuk!" katanya lalu memasuki kamarnya.
Sementara Sonia dan Rocky masih diam bertatapan. Kilatan yang terpancar di  mata Sonia saat ini membuat Rocky kian merasa bersalah. Tapi ia tak mungkin menyingkirkan perasaan yang telah tumbuh di dalam hatinya. Dan Sonia, dia adalah gadis yang selama ini ditunggunya. Yang membuatnya merasa bebas dan menjadi diri sendiri.
"Aku senang, kamu sudah dapat pekerjaan baru. Apa di sana menyenangkan?" tanyanya mencoba mencairkan suasana.
Sonia menghela nafas panjang yang melegakan. "Ya, setidaknya mereka baik."
"Sonia, aku tahu semua ini memang salahku. Tapi sejak awal, aku nggak berniat untuk mempermainkan kamu atau pun Nancy. Hubunganku dengan Nancy ... dulu aku nggak bisa menghindarinya, meski aku sudah berusaha. Dan saat Tuhan mempertemukan kita, aku merasa bahwa aku memiliki sebuah harapan. Harapan untuk menjadi diriku sendiri," Rocky menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Bisakah kamu memberiku kesempatan, kita bisa menghadapi mereka bersama. Aku akan melindungi kamu,"
Sonia tak langsung menjawab, ia memutar matanya untuk bisa memberi jawaban yang tepat. Tapi ia juga tak mampu menyangkal perasaan yang ada di hatinya.
"Rocky, antara kamu dan aku ... ada jurang yang begitu dalam. Jurang yang celahnya nggak mungkin bisa disatukan,"
"Kita bisa mencobanya," potong Rocky, "nggak ada yang nggak mungkin jika kita berusaha."
"Tapi ini nggak semudah itu, Rocky!"
"Aku tahu," Rocky melangkah mendekat, menangkup wajah Sonia dengan dua telapak tangannya. "Tapi aku cinta sama kamu, aku ... cinta-sama-kamu. Dan aku akan memperjuangan kamu dengan apa pun, bahkan nyawaku sekali pun."