Kuseka bulir bening yang menggenang dipipiku, kembali meraba batu nisan berukirkan nama Ibu. Aku masih tak percaya tubuh Ibu sudah terpendam 2 meter di bawah gundukan tanah merah bertabur bunga, rasanya aku masih bisa merasakan pelukan Ibu kemarin sore. Aku juga masih bisa merasakan suara Ibu yang lembut. Bagaimana bisa Ibu pergi begitu saja?
Ibu tidak memiliki penyakit kronis yang fatal, hanya terkadang nyeri karena rematiknya saja yang mengganggunya. Tapi semalam, kata dokter Ibu meninggal karena serangan jantung mendadak. Mana mungkin jantung Ibu berhenti berdetak begitu saja jika tidak ada sesuatu yang membuatnya colapse?
Memasuki rumah, aku hanya terpatung memandangi single sofa kesayangan ibu. Ibu sangat suka berlama-lama duduk di sofa berbalut leather berwarna cresnut itu, entah membaca majalah, surat kabar, merajut, atau hanya menonton tv. Seolah bayangan Ibu masih ada disana. Ia mengangkat wajahnya dan menatapku nanar, aku membeku mengartikan sorot matanya. Seperti ada sesuatu yang hendak diberitahukannya. Entah!
Seminggu berlalu, dan setiap hari aku seolah melihat bayangan ibu di sofa itu. Masih dengan tatapan yang sama, tak ada setitikpun senyum yang kurindukan. Aku mulai merasakan sebuah kejanggalan, kepergian itu memang sangat mendadak, seperti tidak seharusnya!
Aku berfikir untuk menelpon dokter yang kala itu memeriksa ibu saat demam.
"Halo, bisa bicara dengan Dokter Hardi?"
.....
"Saya Diana, putri Ibu Diva!"
.....
"Bisakah kita bertemu, Dok? Ada suatu hal penting yang ingin saya bicarakan!"
.....