"Aku hanya seorang monster,"
Ku bungkam mulutnya dengan telunjukku yang ku tempelkan di mulutnya seraya menggeleng, "no, jangan katakan itu! Aku mencintaimu, karena...," ku letakan telapak tanganku di dadanya, "disini, kau memiliki sesuatu yang sama dengan semua orang!"
Hening.
"Hati. Aku sudah melihatnya!"
Bayangan kami kembali melayang ke 11 hari yang lalu, dimana pertemuan pertama kami begitu rumit dan mendebarkan. Jika dia memang seorang monster, seharusnya saat ini aku sudah berkalang tanah, dan mungkin beberapa orang tak bersalah.
Seorang pembunuh profesional yang sengaja dibayar untuk membunuhku. Aku adalah saksi kunci pembunuhan seorang perwira AL, yang tidak lain adalah ayahku sendiri. Aku berhasil kabur saat itu, memang..., aku tak bisa melihat wajah si pembunuh karena dia memakai penutup wajah. Tapi aku mengenali matanya. Tatapan dinginnya yang menyimpan sesuatu. Sesuatu yang akhirnya bisa ku pahami. Tapi mereka, mereka tetap menginginkan kematianku.
Mereka!
Yang belakangan ku ketahui adalah teman karib ayah, aku cukup mengenalnya. Hanya, aku tak mengerti kenapa dia tega membunuh ayahku yang sudah seperti saudaranya sendiri?
Saat itu, orang pertama yang kuhubungi adalah om Arya. Aku pergi ke rumahnya untuk meminta perlindungan. Untuk beberapa saat aku memang aman.
Tapi aku tidak ingin mengingat semua itu lagi. Toh sekarang om Arya sudah mendekam di balik jeruji besi, dan sang pembunuh telah dinyatakan tewas oleh kepolisian.
Dia menggengam tanganku yang berada di dadanya, "Sebenarnya dulu saat di panti asuhan..., mereka memanggilku Joey!" desisnya. Aku menatapnya, mencerna kalimat yang ia ucapkan.