Â
[caption caption="www.trulygraphics.com"][/caption]
Â
"Dia melakukanya lagi?"
Ia menyentuh pipiku setelah mengamati memar di bibir dan pelipisku, kubiarkan jemarinya menyapu sejenak wajahku sebelum kupalingkan ke kiri. Meloloskan diri darinya.
"Sudah biasa kan!" sahutku getir.
Seperti biasa dia akan datang ketika kuminta menemuiku di hotel, sebuah ruangan presiden suite yang biasa kami pesan. Aku tak mau pesan yang biasa karena itu membuat kami tidak leluasa. Seperti biasa pula dia akan mengamati wajahku ketika kami bertemu. Dia memelukku dari belakang, satu tangannya membelai lenganku dengan lembut. Sesuatu yang tak bisa kudapatkan dari Pram.
Kurasakan dia membaui rambutku, "kau memang berbeda!" bisiknya membuatku merinding.
"Dasar pria!" makiku,
"Jangan samakan aku!" protesnya tegas. Dia memutar tubuhku hingga kami berhadapan kembali, "kau tahu aku tak seperti itu!" bisiknya,
"Ronie!" desisku, kurangkulkan kedua lenganku ke lehernya. Dua minggu kami tidak bertemu, bisikkannya saja sudah mulai membakarku. Kubiarkan dia merenggut mulutku dengan lembut. Sesuatu yang tak pernah ku dapatkan juga dari Pram.
Ronie, pria yang sedang berpelukan denganku ini bukanlah suamiku. Tapi dialah yang memberikan apa yang aku inginkan, kami pertama kali bertemu bulan lalu di sebuah hotel tempat temanku mengadakan resepsi pernikahan. Kami duduk bersebelahan di sebuah sudut ruangan sambil menikmati wine, awalnya kami saling cuek. Lama-lama kami saling lirik. Kami seakan tahu bahwa satu sama lain sedang mencoba menepiskan luka, lalu kami mulai mengobrol. Mungkin karena pengaruh wine juga kami saling mencurahkan isi hati.