Aku diam meresapi sesuatu yang aneh yang tengah merayapi hatiku. Sejak gadis kecil yang sedang kupangku tak lagi mau menatapku, aku merasa kehilangan. Ada rasa sakit yang menggores di dadaku. Tiba-tiba saja mataku meleleh. Aku segera menyadarinya dan menyekanya.
Tuhan..., ada apa sebenarnya?
Merasakan tubuh mungilnya di pangkuanku membuat mataku tetap tak mau berkompromi. Aku ingin sekali menangis. Lalu segera ku dudukan dia di pangkuan bang Karno, jika tidak, lama-lama aku bisa melemparnya keluar jendela karena membuat perasaanku jadi tak menentu. Kulirik bang Karno yang menatapku heran, tapi dia tak bertanya.
Mobil yang kami naiki berhenti, bang Karno membawa anak itu turun bersamanya. Tidak menggendongnya, hanya menariknya lalu mendirikan anak itu di kakinya sendiri. Kamipun turut turun. Kami sudah berada di sebuah tempat yang cukup asing buatku. Menunggu orang yang membayarnya tiba, dia terlihat menghubungi seseorang berulang-ulang. Nampak cemas.
"Angkat tangan!"
Suara lantang itu membuat kami kaget, seketika kami berniat kembali ke mobil untuk kabur. Tapi letusan senjata api menggelegar, rombongan orang-orang berseragam kepolisian dan juga berpakaian layaknya intel datang mengepung dari berbagai arah. Bang Karno membopong gadis itu sambil mencabut sebuah pisau dari sakunya, tapi seketika tubuhnya tersentak saat kembali letusan senjata api terdengar di udara. Tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah, bersimpah darahnya sendiri. Aris yang berlaripun harus menerima timah panas di kakinya. Sementara aku yang kebingungan karena tak mungkin mendapat celah untuk lari memutuskan untuk mengangkat tangan tanda menyerah. Lagipula aku sudah bosan melakukan pekerjaan kotor ini yang awalnya kulakukan karena rasa sungkan dan juga hutang budi kepada bang Karno karena menyelamatkan nyawaku. Meski hanya kebetulan.
Kami yang masih hidup langsung diborgol dan digiring ke mobil polisi. Saat berjalan kulihat seorang wanita muncul memeluk gadis kecil itu sambil menangis. Mata kami sesaat bertemu saat dia melirik. Seketika dia membeku. Entah karena apa.
"Tunggu!"
Suara seorang wanita memanggil saat aku hendak masuk ke dalam mobil, akupun menghentikan niatku dan berbalik. Itu wanita yang baru saja memeluk gadis kecilnya, dia menatapku dengan bibir bergetar. Dengan tatapan tak percaya, sepertinya dia akan menamparku karena telah menculik anaknya!
Wanita itu mengangkat tangannya meraba wajahku, dengan bibir yang gemetaran dia berujar, "mas Radit!" aku melotot seketika. Kenapa wanita itu memanggilku Radit? Selama ini, komplotanku selalu memanggilku Joni. Nama itu yang mereka temukan pantas untukku!
"Mas Radit!" ujarnya kembali. Matanya berair, deras. Lalu dia memelukku erat, seolah diriku adalah bagian dari dirinya.