"Cukup Aris!" hardikku menghentikan niat kotornya. Aris memang memiliki penyimpangan seksual terhadap anak kecil, tak peduli bocah itu lelaki atau perempuan, "perbuatanmu sangat menjijikan!" seruku menghampirinya. Kutarik tubuhnya yang masih setengah memegang bocah itu dengan memendam amarah karena aku mengganggu kesenangannya. Ketika berbalik dia langsung meninjuku hingga terpental. Dia menyerangku lagi. Jadi terpaksa akupun melawan.
Kami beradu fisik, dengan cukup mudah ku tumbangkan dia. Aku juga tidak tahu darimana aku bisa mempelajari gerakan gesit bagai atlet beladiri. Melihat Aris jatuh terjerembat, si Tono dan Heru ikut menyerangku. Ku lawan mereka sekaligus, meskipun mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan, tetapi mereka tetap tak bisa mengalahkanku. Ku buat mereka semua meraung kesakitan di lantai, aku tak melanjutkan menghajar ketiga pria yang sebenarnya tidak menyukaiku. Hanya mereka terpaksa menerima kehadiranku karena Karno yang cukup senang dengan adanya diriku di kelompok mereka. Aku cukup baik menjadi tukang pukulnya saat ini.
"Apa kalian tidak mengerti, bang Karno mau anak itu tidak lecet sedikitpun!" lantangku, Aris berdiri seraya menyeka darah yang muncrat dari mulutnya, menatapku, "dia tidak akan tahu kalau kau tutup mulut!" sahutnya.
"Aku bisa saja meremukan setiap sendimu!" ancamku dengan ekspresi yang serius. Aku yakin Aris takut melihat amarahku, dia memalingkan muka dengan segera. Tono dan Heru hanya diam meringis kesakitan. Kulirik anak kecil itu yang menangis di pojokan sampai terisak-isak. Sesekali menggeliat untuk melepaskan ikatan tali di pergelangan tangannya yang tersembunyi di belakang tubuhnya.
Rasa sakit di kepalaku kian menjadi dengan kajadian ini. Bahkan sepertinya mau meledak saja, menyemburkan seluruh isi tempurungku. Segera kuraih anak itu ke dalam gendonganku, anak itu sempat meronta sejenak. Mungkin dia masih trauma dengan perlakuan Tono terhadapnya. Kubawa dia ke kamar tadi aku berbaring, ku dudukan dengan sedikit kasar diatas kasur tipis yang jauh dari kata empuk dan nyaman. Tangisnya kian menjadi, meski hanya seperti orang berguman. Tapi lumayan keras kali ini. Aku sedikit menjauh seraya memegang kepalaku. Tangisannya justru membuatku sakit. Bukan hanya sakit di kepala ini, tapi juga sesuatu di dalam dadaku.
"Diaaaam!" bentakku berbalik ke arahnya sambil melotot kesal, "kau tahu, kau membuat kepalaku semakin mau pecah!" hardikku kepadanya. Dia diam seketika. Terkejut. Sesenggukan bisa kulihat dengan kepalanya yang tersentak-sentak. Sekarang dia menatapku dengan sorot ketakutan, bukan lagi memohon pertolongan.
Aku tidak tahan menatap matanya yang tak berdosa itu, tapi kata bang Karno kami harus menyingkirkan rasa kasihan kepada siapapun. Kalau tidak, kamilah yang akan terpijak.
"Jika kau tak mau diam," aku melangkah ke arahnya, ku taruh kedua tanganku di sisi kanan dan kirinya, "aku terpaksa akan menyakitimu. Kau mengerti?" kataku lembut tapi penuh ancaman dan tegas. Dia menatapku semakin dalam dengan mata berkaca, lalu mengangguk perlahan.
Ku tarik diriku kembali, berjalan ke jendela usang dan kusam. Masih bisa kulihat pantulan diriku di dalam kaca, rasa sakit masih berputar-putar di dalam otakku.
* * *
Gadis kecil itu duduk di pangkuanku, sejak kubentak dia dan kuberi ancaman di dalam kamar dia tak lagi mau menatap wajahku. Dia lebih suka membuang muka menatap keremangan malam diluar mobil Panther yang kami naiki, dia tidak lagi meronta-ronta. Hanya diam dalam ketakutan. Beberapa saat lalu dia melihat bagaimana aku menghajar Aris, Tono dan Heru. Tentu dia membayangkan mungkin aku juga akan menghajarnya seperti itu jika dia menangis lagi atau berontak.