Aku sedikit tersentak ketika sesuatu menyentuhku, kulihat gadis itu mengikatkan pita merah putih yang awalnya melingkar di kepalanya ke lenganku.
"Nah..., itu baru warga negara yang baik. Ayo!" katanya sambil berbalik,
"Jiak kau berikan padaku, kau pakai apa?"
"Aku masih memiliki satu, di rambutku!" tunjuknya ke pita yang menghiasi kuncirnya. Pita Merah Putih yang juga terbuat dari kain, tapi lebarnya lebih sempit dari yang sekarang bersarang di lenganku. Gadis itu tak menoleh, ia tetap berlari. Dan aku baru memperhatikan kalau di punggungnya..., ada Bendera Merah Putih yang tiangnya terbuat dari bambu dan terselip di ikat pinggangnya. Ia meraihnya ke tangan dan mengibaskannya tinggi-tinggi. Bendera itu memang tak sebesar yang berkibar di tiang-tiang tiap rumah. Aku pun berjalan mengikuti arahnya pergi.
* * *
KRINGG....KRINGG....KRING...KRINGGG....
Aku tersentak dengan suara itu, mataku masih sedikit kabur saat tanganku meraba-raba untuk menemukan benda berisik itu. Ku raih dan lirik, jam tujuh tepat. Kumatikan dan ku lempar saja ke kasur.
Aku berjalan gontai ke kamar mandi karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Sengaja aku bangun agak siang agar sesampainya di sekolah tinggal ikut upacara saja. Tak perlu ikut mempersiapkan segalanya seperti yang di perintahkan para guru. Sebenarnya malas juga ikut upacara, mana terik lagi. Upacara tujuh belasan di pusat kan akan berlangsung lama, karena menunggu semua berkumpul.
Aku membasuh wajahku di wastafel, saat menyeka menghadap kaca. Aku tertegun. Sebuah pita Merah Putih melingkar di lenganku.
Kapan aku memakainya?
Lalu sebuah bayangan muncul, dan suara anak kecil.