Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Istriku Seorang Pelacur

15 Agustus 2016   00:28 Diperbarui: 15 Agustus 2016   00:45 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi, www.hdwallpapersrocks.com

 Hening. Sejak semalam. Hanya desah nafas jam dinding yang memenuhi ruangan ini. Suara aduan sendok dengan piringpun begitu lirih. Aku mengunyah sarapanku dengan sangat perlahan, bukan karena segan tapi suasana ini telah melenyapkan napsu makanku, juga mas Ibra. Yang belum ku dengar suaranya sejak kemarin.

Ini sudah lewat jam sepuluh, entah...apakah masih pantas di namakan sarapan pagi! Tapi di sinilah kami. Menikmati hidangan yang sudah mendingin karena di tinggalkan oleh kepul hangat yang lelah menanti untuk di jamah.

Masih hening. Senyap. Beku.

Suasana santap pagi ini begitu hambar. Biasanya kami selalu memiliki topik kecil untuk dicengkramankan, diselimgi dengan canda dan tawa ringan. Begitu hangat. Tidak seperti ini, dan mungkin...hari-hari berikutnya akan lebih dingin. Bahkan mungkin, lenyap.

Sesekali kulirik mas Ibra yang tengah menikmati santapannya tanpa rasa. Ia masih diam. Tak mengatakan apapun. Aku tahu ia pun sesekali memperhatikanku. Tapi aku sungguh tak berani membuka suara lebih dulu. Apalagi menatap matanya yang tajam dan teduh. Yang selalu mampu menghangatkanku hanya dengan kerlingannya saja. Dan aku sungguh rindu mata itu.

"Sari!"

Tubuhku terlonjak mendengar suara merdunya. Sendok di tanganku hampir saja meloncat pergi. Aku tahu mas Ibra mengetahui kegugupanku.

"Kenapa kau terkejut?" tanyanya.

Tentu saja aku terkejut. Terakhir ku dengar suaranya adalah kemarin pagi saat ia pergi bekerja, dan tentunya setelah itu ia akan disibukan dengan semua pekerjaannya hingga malam menjelang. Lalu kami akan makan malam dengan hangat, aku akan menemaninya menyelesaikan tugasnya di ruang kerja, atau..., menunggunya saja di balik selimut sambil mengerjakan pekerjaanku sendiri. Setelah itu kami akan bercengkrama ringan dan menghabiskan sisa malam dengan kehangatan. Tapi semalam...,

Mas Ibra hanya diam ketika menginjak lantai rumah. Ia melenyapkan diri ke ruang kerja dan tak muncul lagi, ia tak menyentuh hidangan makan malam. Ia juga tak berbaring di sisiku, ia memilih untuk tidur di ruang kerjanya dan baru keluar beberapa saat lalu. Hari ini..., sepertinya ia tidak akan masuk kantor. Dan aku tahu kenapa,

Bibirku bergetar, ku coba memberanikan diri mengangkat wajahku dan membalas tatapannya. Mata kami bertemu. Mata itu...,

Masih hangat.

Kehangatan yang kupikir telah lenyap semenjak video tak senonoh itu menyebar luas. Aku tidak tahu siapa pemiliknya, aku bahkan tak ingat siapa yang merekam dan seperti apa wajah pria yang tengah bergumul bersamaku.

"Kenapa kau seperti ketakutan?" tanyanya lagi. Tak ada amarah dalam nada suaranya. Apakah aku salah?

"A..., mas... Tidak. Aku hanya...!" lidah ini sungguh terasa kelu, tapi dengan semua yang terjadi, aku harus bisa, "maafkan aku mas!" akhirnya ku lunakkan lidah ini dengan mata yang mulai mengembang, "sekarang kau sudah tahu siapa aku, video itu..., pemberitaan di media. Itu semua memang benar..., tapi...!" ku coba untuk tidak menangis. Aku tak ingin di anggap memelas belas kasihnya,

"Sungguh mas, video itu berasal dari masalaluku. Aku bahkan tidak ingat video itu sempat ada!" akuku. Tapi tetap saja aku tak mampu membendung buliran bening yang mulai mengalir dari mataku, "aku..., aku hanyalah aib untukmu. Untuk keluargamu, seharusnya...pernikahan ini tidak terjadi!" isakku.

Kulihat mas Ibra terkejut. Akupun terkejut dengan ucapanku sendiri. Aku mengucapkan hal itu seolah apa yang sudah terjadi antara kami tidak berarti bagiku. Tapi itu bohong. Semua sangat berarti. Aku bahkan mungkin tidak sanggup jika harus kehilangan mas Ibra.

"Kenapa kau bicara seperti itu, apakah...kau menyesal menikah denganku?" tanyanya membuatku tertegun, "karena aku tak mampu menjaga masalalumu?" tambahnya. Aku terpaku. Harusnya hal itu keluar dari mulutku, bukan darinya. Karena akulah yang tak pantas bersamanya.

Hampir semua pemberitaan di media menjadikan kasus videoku sebagai headline.

[ Video mesum istri dari seorang anggota MK bersama pria lain menyebar luas di dunia maya ]

[ Ibrahim Fatih Kuncoro Putra, seorang anggota MK yang beristrikan seorang pelacur ]

Hal itu tak bisa dipungkiri. Video itu memang nyata, itu memang aku. Tak masalah jika itu hanya akan menghancurkanku, tapi suamiku. Karirnya di kursi pemerintahan? Keluarganya?

Bisa kubayangkan bagaimana tanggapan teman-teman sejawatnya terhadap kasus ini. Tanggapan publik! Semua pelanggan butikku saja mulai melarikan diri. Butik yang kumulai dari sebuah kios jahit sederhana di sebuah pasar pasca kuputuskan untuk berhenti menjajakan tubuhku lagi. Dan tentu saja, kios sederhana itu bisa menjadi butik karena campur tangan suamiku yang memodaliku setelah kami menikah.

"Mas..., akulah yang pantas meminta maaf. Karena aku telah menghancurkanmu, karirmu, nama baikmu. Aku...," kalimatku terputus saat kurasakan tangan kekar mas Ibra menutup tanganku. Menggenggamnya erat,

"Sari, apa kau masih ingat saat aku melamarmu?" tanyanya. Kembali kutatap matanya, aku mencoba memutar memoriku ke masa dua tahun lalu.

Di sebuah dinner romantis...,

"Maaf mas, aku sangat tersanjung dengan niat baikmu. Tapi aku tak bisa menerima semua kebaikan ini!" tolakku menutup kotak hitam berisi cincin indah berkilauan itu dan menyodorkannya kembali ke arahnya.

"Kau tidak menyukaiku, atau...ada pria lain?"

Aku menggeleng pelan, "hanya..., aku tidak pantas untuk menjadi pedampingmu mas. Kita sangatlah jauh berbeda, siapa aku..., dan siapa mas Ibra!"

"Kita sama-sama manusia, kita menghirup udara yang sama. Kita hidup di bumi yang sama, apa bedanya?" ia masih coba meyakinkanku.

"Kau tidak tahu apa yang kukerjakan sebelumnya mas, aku hanyalah seor...!"

"Kau adalah wanita yang sama yang kutemui di pasar, yang menjahit pakaianku yang robek. Apapun masalalumu, tidak akan masalah bagiku. Kau..., adalah wanita yang kuinginkan untuk menjadi pedampingku. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamamu. Sarita, menikahlah denganku!" pintanya.

Tentu aku masih ingat dengan hal itu, aku juga masih ingat pertama kali kami bertemu. Di kiosku, saat itu preman yang berkuasa di sana tengah meminta setoran liar terhadapku. Padahal hari itu aku belum mendapat satupun pelanggan. Mereka tidak mau tahu, mereka tetap memaksa dan mengancam, apalagi mereka tahu pekerjaanku sebelumnya. Jadi karena aku tak mampu memberi uang setoran merekapun berniat berbuat tak senonoh terhadapku sebagai gantinya. Tak ada yang berani menolongku meski aku berteriak.

Tapi tiba-tiba saja ada yang membuat kedua preman itu menjauh dariku. Seorang pria bersetelan mewah dan satu lagi berpakaian biasa. Mereka adalah mas Ibra dan temannya yang seorang intel. Kedua preman itu di bawa oleh teman mas Ibra ke kantor polisi, sementara mas Ibra menghampiriku dan menanyai keadaanku. Kulihat jasnya robek akibat perkelahian kecil itu, jadi kutawarkan untuk memperbaikinya meski mungkin itu akan membuatnya jelek. Tapi ia tak menolak, dan justru memuji hasil kerjaku pada jasnya itu. Sejak itu...mas Ibra sering datang untuk sekedar berkunjung. Aku mencoba bersikap biasa saja meski sebenarnya tak bisa mengendalikan debaran di dalam dada setiap kali mata kami bertautan.

* * *

Aku mencoba membalas genggaman tangan mas Ibra, keluarganya tidak ada yang menyukaiku. Dan sekarang mereka pasti lebih membenciku dan akan memaksa mas Ibra menceraikanku. Mencari wanita yang lebih pantas bersanding dengannya. Aku iklas jika itu memang harus, meski aku sungguh tak mampu kehilangan cinta mas Ibra. Aku sangat mencintainya, ia satu-satunya pria yang membuatku merasa pantas. Membuatku merasa berharga.

"Tapi mas, karena aku...!"

"Hssstt!" ia menutup mulutku dengan membelai wajahku. Menyeka airmataku, aku bisa merasakan cintanya yang besar terhadapku. Dan semoga itu bukan hanya perasaanku saja, "semua itu..., tidak akan bisa merubah perasaanku. Tidak akan pernah!"

"Benarkah mas, kupikir...kau tidak mau lagi bicara padaku. Sejak semalam...,"

"Sari..., aku... Itu...aku hanya sedang banyak pikiran. Maaf, jika membuatmu merasa seperti itu!" hiburnya. Ia mengembangkan senyum manis. Senyum yang selalu meluluhkan hatiku lantah, "kau tak perlu kuatir, aku masih bisa meng-handle masalah ini. Jangan menangis lagi, semua akan baik-baik saja!"

Semua akan baik-baik saja, benarkah?

Aku tahu mas Ibra akan mengalami hal yang sulit, dan semua itu karena aku.

"Tapi mas...!"

"Selama kau ada di sisiku!" potongnya, "kau..., tidak akan meninggalkan aku kan?" pintanya.

Meninggalkannya? Bagaimana bisa! Aku yang justru takut kehilangannya. Bukankah seharusnya aku yang meminta itu darinya? Tapi tentu saja aku tidak akan memiliki nyali untuk memintanya tak meninggalkanku.

 

©Y_Airy | Jakarta, 15 Agustus 2016

 

Intip juga cerita yang satu ini yak! The Forbidden Line Betwween Us

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun