Tarian kepul dari cairan hitam yang tertampung dalam cangkir mungil di depanku masih bebas menggodaku, menyebarkan aroma khas yang menggelitik perut. Sayangnya, kopi hitam bukanlah vaforitku. Akupun membuat secangkir kopi pekat itu bukan untuk ku minum, tapi untuk sesuatu. Sesuatu yang baru aku ingat.
Beberapa hari ini perasaanku tak menentu, entah kenapa aku selalu merasa gelisah menjelang hari pertunanganku. Seharusnya aku bahagia, karena hubunganku dengan mas Yuda akan melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kami akan bertunangan, jadi tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu hubungan kami. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku sangat takut. Takut kehilangan pria menawan yang setahun terakhir menjadi kekasihku. Aku sangat mencintainya, bahkan mungkin tergila-gila padanya.
Mas Yuda selalu bisa membuatku merasa spesial, dia pria yang penuh dengan kejutan. Aku sungguh cinta mati kepadanya. Dan tidak akan rela jika harus kehilangan dia.
Pagi ini saat hendak menghangatkan tubuhku dengan secangkir moccachino, tiba-tiba aku ingat sesuatu.
Sebuah metode meramal menggunakan minuman, yaitu kopi. Aku memang tak terlalu percaya dengan yang namanya ramalan, tapi kupikir...tak ada salahnya mencoba. Ku pergi ke kamar dan mengaduk rak bukuku. Setelah ku temukan buku yang kucari, segera ku buka buku itu dan mencari Subjudul, "Tasseography"
Ku baca berulang-ulang makna yang tersirat di dalam metode itu hingga sedikit hafal. Lalu segera ku berhambur ke dapur, memungut cangkir mungil langgananku membuat kopi atau teh. Ku sendok sebanyak satu sendok makan sesuai petunjuk ke dalam cangkir. Lalu ku tuang air panas yang sudah ku buat. Kopi yang di gunakan haruslah kopi hitam dan tak boleh di tambahi apapun. Lalu ku seduh hingga merata.
Sekarang aku masih menunggu. Menunggu ampas kopinya mengendap karena tentu saja aku tak bisa meminumnya karena kopi hitam pahit bukan seleraku. Ku tatap kepul asap yang mulai memudar, terlihat semua ampasnya sudah berada di bawah, jadi ku ambil piring lalu ku tuang perlahan air hitam itu ke dalam piring hingga habis. Menyisakan ampasnya saja yang masih mengendap kental di dasar cangkir. Nah..., sekarang sudah waktunya.
Jantungku mulai berdebar saat aku hendak mengintip apa yang terjadi dengan ampas kopi itu. Ku tatap endapan hitam itu, mengamati apakah gerangan yang terbentuk di sana.
Endapan kopi itu membentuk endapan yang menyebar, tidak utuh. Ku raih buku yang kutaruh di sampingku dan membaca maknanya,
"Apabila endapan ampas kopi yang ada di dasar cangkir nampak membentuk endapan yang menyebar (membentuk pola yang menyebar di dasarnya namun tidak utuh) , maka itu artinya pertanyaan di hatimu tidak akan terjawab saat ini. Atau..., bisa pula sesuatu yang kamu risaukan mungkin memang akan terjadi."
Aku tertegun. Apa artinya ini?
Aku tidak akan menemukan jawaban dari kerisuanku? Jadi..., aku akan terus bertanya-tanya dalam hati? Ini tidak efektif! Ku taruh buku itu dengan kesal. Tapi ini kan hanya ramalan yang belum tentu kebenarannya. Apalagi hal ini tak memberi jawaban apapun.
Akhirnya aku mengulangi metode ini sekali lagi, siapa tahu hasilnya berbeda. Dan apa yang aku dapatkan?
Hasilnya sama. Ampas kopinya membentuk endapan yang menyebar. Aku ingat, dulu sebelum aku tahu ada metode seperti ini untuk meramal kerisauan hati. Aku pernah mengamati endapan kopi sisa mbah kung minum. Mbah suka kopi hitam pahit, apalagi jika bubuk kopinya di tumbuk sendiri oleh mbah Ti. Waktu itu endapan kopinya seperti membentuk sebuah huruf di tengahnya. Karena keunikan itu, esoknya aku melakukan hal yang sama saat di suruh mencuci gelas, kuperhatikan ampas kopi sisa mbah Kung minum. Endapannya membentuk endapan yang berkumpul di suatu titik. Setelah ku ingat, beberapa kali kuperhatikan, endapan ampas kopi itu selalu berbeda bentuknya. Dan kali ini, ketika aku mencobanya hingga empat kali, hasilnya masih sama seperti yang pertama ku praktekan. Hal ini membuatku kian gelisah.
Aku tak akan mendapatkan jawaban!
* * *
Aku masih duduk menatap cermin, menatap bayanganku sendiri. Hari ini tiba juga, aku dan mas Yuda akan bertunangan. Acara di langsungkan di rumahku. Yang sudah penuh dengan para tetamu, tapi aku belum melihat tanda-tanda kedatangan keluarga mas Yuda.
Bunda menghampiriku dengan cemas, "Lia, coba kau hubungi Yuda. Kenapa mereka belum datang juga, tidak enak dengan tamu. Kita sudah menunggu berjam-jam!" pintanya.
Akupun menghubungi nomor mas Yuda. Tidak aktif. Ku ulangi. Masih sama. Lalu ku coba menghubungi kak Tia, kakak mas Yuda. Juga mailbox. Lalu Ayah mencoba mengubungi ayah orangtua mas Yuda. Juga tak di angkat. Kami mulai resah, tapi kami masih menunggu. Siapa tahu saja mereka berhalangan di jalan. Tapi sampai semua tamu bubar, tak ada kabar apapun dari keluarga mas Yuda.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, kemana mas Yuda?
Aku ingin marah, tapi cintaku yang terlalu besar terhadap mas Yuda membuatku tak bisa marah padanya. Selama seminggu ku hubungi dia, tapi tak juga di tanggapi ataupun ada kabar. Akhirnya ayah dan Bunda memutuskan untuk mendatangi kediaman mas Yuda untuk mempertanyakan apakah yang sebenarnya terjadi. Sementara diriku hanya bisa berdiam mengurung diri di dalam rumah. Aku tak berani keluar rumah karena acara pertunanganku yang berantakan pasti menjadi pergunjingan para tetangga.
* * *
Akhirnya..., kerisauanku pun terjawab. Entah, apakah makna dari Tasseography yang aku praktekan itu benar, atau ini hanya kebetulan!
Aku diam terpaku tak bereaksi. Duduk di ruang tamuku yang kini di penuhi keluargaku dan keluarga mas Yuda. Suara kak Tia masih jelas di telingaku.
"Saat kami siap menuju ke rumahmu. Kami menemukan Yuda di kamarnya, dengan pergelangan tangan tersayat. Dan kami menemukan kertas ini di sisi tubuhnya!"
Aku hanya mampu terpatung setelah mendengar semua itu, terlebih setelah kubaca apa isi kertas yang di sodorkan kak Tia terhadapku. Kertas yang masih terpegang oleh kedua tanganku. Kertas hasil tes darah mas Yuda. Yang menyatakan bahwa mas Yuda positif terinveksi HIV.
Â
__________o0o__________
Â
©Y_Airy | Jakarta, 30 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H