Sebelumnya, Wild Sakura #Part 24-1 ; Pertarungan Dua Hati
Â
Sonia menggerakan kepalanya perlahan, ia mulai tersadar setelah sempat pingsan beberapa menit. Rasa pening memusuki isi tempurungnya, ia meringis untuk meredamnya. Sebuah ringisan dan raungan kecil harus tertahan oleh kain yang membuat ujung bibirnya kian terasa perih. Sepertinya robekan kecil akibat tamparan itu melebar gara-gara saputangan yang membekap mulutnya, ada cairan merah yang merembes hingga hampir menyentuh dagu. Ia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya yang masih terikat. Beberapa anggota tubuhnya juga terasa perih akibat baretan tanah kering dan semak berduri, ia mencoba untuk bangkit. Tapi saat ini tenaganya seolah menguap entah kemana, rasa pening masih cukup membuat kepalanya berdenyut. Rembesan bulir bening kembali mengalir dari matanya, ia menangis. Tapi hanya dengungan yang menggema.
Ingin sekali ia berteriak, tapi percuma saja. Ia hanya mampu berguman di balik saputangan yang baunya tak sedap, isakan lembutnya hanya bisa di dengar oleh rerumputan dan pepohonan. Tapi mereka tak akan bisa membantu untuk melepaskan ikatan super kuat di tangannya.
Tapi menangis saja juga tidak akan membantu, ia tidak akan bisa membawanya keluar dari hutan ini. Iapun mencoba mengontrol emosinya, memiringkan tubuhnya perlahan. Mengumpulkan energi yang masih tersisa, iapun bangkit untuk duduk. Tapi untuk berdiri ia membutuhkan bantuan, tapi siapa yang akan membantunya?
Akhirnya iapun merangkak mundur dengan bersusah payah untuk sampai ke sebuah pohon terdekat darinya. Ia menyandarkan punggungnya di tubuh pohon itu, diam untuk mengatur nafas. Hari sudah gelap, tak ada penerangan di sana kecuali beberapa biji bintang di angkasa. Beruntungnya dedaunan pohon-pohon di sana tak terlalu rindang hingga cahaya bulan separuh yang mulai terang masih bisa menerabas. Ia melirik ke segala arah, berharap tak ada binatang buas yang akan datang menyergap. Ia tahu ia harus melepaskan ikatan itu, tapi bagaimana? Ia tak mungkin bisa menemukan pisau di hutan ini.
Ia menelonjorkan kakinya yang terasa pegal dan nyeri, kaki itu menyentuh sesuatu, seperti batu. Iapun menggerakan kakinya untuk memastikannya. Lalu menghentakannya ke benda itu, "auw!" raungnya. Terasa sakit belakamg betisnya. Itu memang batu, ia kembali merangkak, kali ini ke arah batu itu. Dengan tangan terikat di belakang ia menggapai batu itu, ternyata ada beberapa butir batu dengan bentuk yang tak rata. Satu ide muncul di benaknya. Jika ia bisa menemukan sisi batu yang tajam, ia bisa menggunakannya untuk memotong tali yang mengikat tangannya. Sayangnya tak ada yang benar-benar tajam. Jadi ia mengambil satu batu yang sedikit besar dan satu sedikit kecil, lalu mengadukannya berkali-kali dengan kuat. Berharap ada bongkahan yang yang bisa ia ciptakan, tenaganya mulai terkuras dan kedua batu itu belum ada yang terpecah. Ia berhenti melakukan itu sejenak untuk mengistirahatkan tangannya yang terasa pegal. Lalu kembali melakukan itu dengan kuat, setelah beberapa kali hentakan salah satu batu itu terbelah menjadi tiga. Ia pun meraba-raba tanah untuk mencari yang paling tajam, akhirnya ia berhasil. Dengan segera ia menggunakan pecahan batu itu untuk memotong talinya, tak mudah memang, tapi ia tidak akan menyerah.
Â
"Ini aneh, jika Sonia tiba-tiba menghilang!" seru Erik. Saat ini, Gio, Bayu dan Ian juga sudah berkumpul di kos. Tak ada orang lain lagi yang Sonia kenal dekat selain mereka semua.
"Bagaimana kalau ke pantai, dia bilang dia sangat suka pantai. Tempo hari aku sempat membawanya kesana, dan dia bahkan masih disana saat aku pergi!" tukas Rocky. Semua orang mengarah padanya,
"Rocky benar!" sahut Edwan, "kita harus mencarinya kesana, tapi alangkah baiknya jika kita berpencar. Sebagian pergi ke tempat lain yang sering Sonia kunjungi!" usulnya.
"Tak ada tempat lain om!" timpal Dimas, "saat bersamaku, paling kami hanya makan lalu ke bengkel Gio. Aku yakin ada yang tidak beres, perasaanku sangat tidak enak!" Â
"Aku juga merasa begitu, pasti terjadi sesuatu padanya!" sambung Rocky. Ia menyisir rambutnya dengan jemari, "kita harus menemukannya!" paniknya.
"Tunggu," seru Erik tiba-tiba. Ia sedikit menunduk untuk mengingat-ingwt, "aku pernah memergoki Ryan di kamar Sonia dan hampir saja berbuat tak pantas, setelah itu saat hendak berangkat kerja, Ryan membawa teman-temannya mencegat kami. Dari gelagatnya, dia memang mengincar Sonia!" jelas Erik.
"Ryan!" desis Dimas,
"Ryan!" guman Rocky. Ia ingat pagi itu ia dan Alan yang kebetulan lewat menyelamatkan Erik dan Sonia dari sekelompok anak SMU, dan anak-anak itu juga yang mencegatnya tempo hari, menghajarnya dan mengancamnya untuk menjauhi Sonia. Rocky memandang orang-orang itu satu persatu.
"Aku ingat anak itu, jadi namanya Rik?" tanyanya. Erik mengangguk, Rocky memegang mulutnya sejenak, "tempo hari dia mengeroyokku, dan mengancam agar aku menjahui Sonia. Apakah mungkin, Sonia bersamanya saat ini?"
"Di, kamu kan sudah lama mengenal Ryan. Apakah menurutmu...?" tanya Erik, "aku dan Ryan memang bermusuhan sejak kecil, dan aku tahu...sejak pertama kali...dia memang sudah mengincar Sonia. Tapi setahuku, dia tak pernah serius mengejar seorang gadis, itu ...sedikit aneh!" sahut Dimas.
"Tapi nggak salah kalau kita coba datangin Ryan, siapa tahu dia memang membawa Sonia!" usul Gio. Mereka saling berpandangan.
Sonia berhasil memotong tali yang mengikat tangannya, ia juga segera membuka sapu tangan di mulutnya itu. Akhirnya ia bisa bernafas lega, menyila dahinya yang berpeluh dengan punggung telapak tangannya karena telapak tangan bagian depan terasa perih, ia menatap kedua telapak tangannya yang bercampur warna merah, beberapa bagian sobek saat ia menggesek-gesekan serpihan batu tajam itu ke tali yang mengikat tangannya di belakang. Lalu ia menatap sekeliling dan bangkit berdiri perlahan. Ia tak tahu ada dimana, dan harus berjalan kemana untuk bisa keluar dari hutan itu. Tapi ia harus berjalan, ia tak mau jadi penunggu hutan. Sambil menahan perih di sekujur tubuhnya, ia coba tak hiraukan rasa sakit itu. Dalam hati ia berseru, Aku harus keluar dari sini!
"Kenapa tak ada tanda-tanda kehidupan di sini, tak adakah yang bisa ku mintai tolong?" desisnya sendiri, "Tuhan..., tolong aku untuk keluar dari hutan ini!"
Ia terus menyusuri hutan, entah kemana langkah kakinya membawanya, tapi ia berharap ia tak sedang berjalan semakin masuk ke dalam hutan yang gulita itu. Sesekali ia akan berhenti untuk mengistirahatkan tubuhnya, untung saja kepalanya tak terbentur batu hingga ia tak celaka.
Aline bersikeras ingin ikut membantu mencari Sonia, ia berpegang erat pada pinggang Erik. Ia lihat, banyak sekali para pria yang peduli terhadap gadis cantik yang mengaku sebagai adik Erik itu, dari yang om-om sampai ke ABG seperti Dimas. Jadi, itukah sebabnya Dimas tak sedikitpun melirik kakaknya? Karena pemuda itu lebih menyukai Sonia. Seperti apa sosok Sonia sebenarnya?
Aline mulai penasaran, ia jadi ingin mengenal Sonia juga.
* * *
"Eh, kok si Ryan belum nyampe juga sih!" seru Indra. Ia duduk di atas motornya, salah satu tangannya memegang kaleng softdrink yang separuh isinya sudah berpindah ke dalam perutnya.
"Tadi Ryan menelponku, katanya berubah jadwal. Sore tadi dia baru berangkat, jadi..., nyampenya bakal dikit maleman!" tukas Evan, "hem.., kenapa kamu nggak kasih tahu kita?" kesal Haris,
"Sorry, lupa!"
"Masih muda udah pikun, gimana entar kalau udah tua. Pentesan...," cibir Indra, Evan merubah mimiknya menjadi garang, melotot pada temannya, "pantesan apa?" geramnya.
"Enggak!" dalih Indra memindahkan arah bola matanya ke tempat lain. Kalau ia bilang pantesan di selingkuhi, tuh cabe-cabean sering kamu pikunin kali janjinya. Si Evan pasti bakal ngamuk, saat ini ia tak mau persoalan itu di bahas, apalagi nama si cewe di sebutin.
Tapi mata Indra malah menemukan sesuatu yang membuatnya tercengang, ada sorot beberapa motor dan dua mobil mendekati markas mereka. Evan dan Haris pun ikut memandangi rombongan itu, dari motornya mereka tahu itu Fimas dan teman-temannya. Lalu salah satu mobilnya juga mereka kenali, mobil Rocky. Ada apakah ini?
Ketiganya berdiri tegap, melangkah maju beberapa. Siap menyambut tamu-tamunya. Mobil dan motor-motor itu merapat, para pengemudinya keluar. Menghampiri ketiga pemuda yang sudah bersiap jika di ajak duel. Evan berada di paling depan, Dimas melangkah lebih rapat kepadanya.
"Wah, ada patroli apa nih. Pawai?" cibir Evan dengan senyum sinis. Tampak beberapa orang di belakang Dimas terlihat tegang.
"Aku mau bertanya, apakah tadi kalian ke tempat kos Sonia?" tanya Dimas. Evan dan dua temannya menyipitkan mata, "Sonia?" desis Evan heran.
"Dia menghilang!" tukas Dimas.
"Sonia menghilang..., lalu...apa urusannya dengan kami?" tanya Indra. Nada suaranya mulai emosi karena ia mulai menangkap tujuan mereka datang.
"Dimana Ryan?"
"Ryan nggak ada di sini!" sahut Evan.
"Jangan bohong kalian!" geram Dimas. Evan menyunggingkan senyum getir, "buat apa, jadi...kalian mau menuduh kami menyembunyikan gadis itu. Nggak ada untungnya!" sahutnya.
"Buatmu mungkij tidak!" tukas Dimas. Evan menggerutu dengan jawaban Dimas yang sepertinya tidak percaya, Erikpun ikut bersuara, "aku rasa kamu tahu bahwa Ryan sering mengganggu Sonia!"
"Lalu apa yang salah dengan itu?" tanya Indra maju satu langkah.
Â
Sonia masih berjalan di dalam gulita hutan, ia berhenti lalu celingukan. Matanya menangkap sesuatu di sebelah kirinya, "itu seperti sebh penerangan lampu, jika benar...mungkin saja itu sebuah desa atau jalanan. Aku harus ke sana!" desisnya. Iapun berjalan ke arah pijar di kejauhan sana. Sedikit menuruni tanah yang curam, ia mulai mendengar arus. Mungkinkah itu sungai? Iapun berjalan cepat mendekatinya.
Itu memang sungai, dan pijar-pijar cahaya itu berada di seberang sungai. Jika ia ingin sampai ke sana ia harus menyeberangi sungai itu. Semoga saja tidak terlalu dalam, ia mengawasi sepanjang alisan sungai. Tidak ada jembatan. Artinya memang harus menyeberang. Ia menghela nafas panjang, tubuhnya masih terasa lemas. Tapi ia tetap harus maju. Maka iapun menyeberangi sungai itu, untungnya tak terlalu dalam meski arusnya sedikit deras. Hanya sebatas pinggang, ia berjalan hati-hati, angin malam yang dingin kini di tambah dengan nyemplung ke dalam sungai. Mulai membuatnya menggigil. Kakinya menginjak batu dan iapun terjatuh, sedikit terbawa arus, tapi ia bisa bertahan dengan berpegang pada sebuah batu besar, iapun kembali bangkit, dan berjalan ke sisi sungai yang di tuju. Ia mendudukan diri di tepi sungai, menyeka wajahnya yang mulai bersih dari tanah karen air sungai. Tapi luka baretan di tubuhnya dan juga di robekan di telapak tangannya terasa perih sekali.
Ia merintih.
Mengangkat kedua tangannya lalu meniup-niup pelan untuk menghilangkan perihnya. Sekarang ia benar-benar menggigil, rasanya ia tak mampu melanjutkan perjalanan. Tenaganya kian terkuras. Saat ini ia terdampar di suatu tempat yang tak ia ketahui, seseorang menyuruh orang-orang itu untuk menjauhkannya dari kota. Tapi siapa orang itu? Dan kesalahan apa yang ia perbuat hingga harus terbuang ke hutan dengan mulut terbekap dan tangan terikat. Airmata mulai merembes lagi dari pelupuknya. Tapi ia sadar ia tak boleh cengeng, hal ini tak seberapa. Ia pernah mengalami hal yang lebih buruk saat kecil, saat ayah tirinya murka. Ia mendapat sabetan pecut lalu tak boleh masuk ke dalam rumah selama hujan lebat malam itu, mulutnya di sumpal pakai kaus kaki yang sudah tentu bau busuk karena ia mengumpat, "bapak itu jahat, bapak itu binatang", ketika ia melihat ayah tirinya itu memukuli ibunya. Tubuhnya di ikat di pohon pisang di samping rumah, tapi ia tak menyesal mengatakan itu. Ibunya menyusul setelah sadar dari pingsannya, saat Bari memukulnya, kepala Laras terantuk meja hingga pingsan. Saat sadar ia segera mencari putri tunggalnya, dan menemukannya terikat di pohon di bawah rinai hujan yang mulai mereda. Entah sudah berapa lama putrinya terikat di sana dengan mulut tersumpal kaos kaki suaminya dan beberapa bagian tubuhnya memar oleh pecut yang juga sering menggerayangi tubuhnya jika Bari marah. Saat ia melepaskan ikatan Sonia, gadis itu hanya menyebut namanya lalu pingsan. Dan harus demam selama dua hati. Saat itu usianya 8 tahun. Ia mampu bertahan. Maka kali ini iapun harus bertahan.
Ia kembali bangkit dan melanjutkan perjalanan, hingga sedikit mendaki tanah yang lebuh tinggi. Yang akhirnya membawanya ke jalan raya, ternyata penerangan itu adalah jalan raya. Baru di seberangnya ada desa, ia jatuh bersimpuh lemah di jalan. Menatap remang jalan, berharap ada kendaraan yang lewat. Memang ada beberapa motor dan mobil, tapi mereka berlalu begitu saja. Mungkin mereka mengira ia hanya gadis gila yang ingin bunuh diri, atau sedang patah hati. Akhirnya ia mulai berjalan menyusuri jalanan, ia tak tahu yang ia tuju itu adalah arah menuju Jakarta atau justru sebaliknya. Yang terpenting ia berjalan, nyatanya ia bisa keluar dsri hutan dan sampai di jalan raya. Ia percaya Tuhan masih melindunginya.
Kedua tangannya menyilang di depan dada, memegang lkedua lengannya dan mengusapnya untuk mengurangi rasa dingin di seluruh tubuhnya.
Erik memgantar Aline pulang karena malam sudah naik, ia tak mau terkena masalah. Apalagi setelah tahu ayah gadis itu adalah seorang perwira tinggi kepolisian.
"Kak Erik, aku mau ikut nyariin kak Sonia!" rengeknya meski ia sudah berada tak jauh dari gerbang rumahnya. Erik tersenyum, "terima kasih Lin, tapi sebaiknya kamu istirahat aja. Ini udah malama, nanti kamu kena marah sama papa kamu!" saran Erik.
Aline menekuk wajahnya, "ya udah, tapi kalau ada perkembangan kasih tahu ya kak!" pintanya. Erik mengangguk lalu segera memutar motornya dan segera pergi. Sebenarnya ia ingin bertanya kepada Aline apakah gadis itu mengenal Dimas? Tapi saat ini, Sonia adalah prioritas utama.
Â
Sonia masih berjalan gontai di jalanan yang hanya di lewati beberapa kendaraan saja, entah sudah berapa jauh dirinya berjalan? Rasanya, kakinya pegal sekali. Tapi ia belum bertemu satu kendaraan pun yang bisa ia tumpangi, semua yang lewat tadi adalah kendaran-kendaraan pribadi. Sekarang yang ia temui di sepanjang sisi jalan, hanyalah pepohonan tiang-tiang lampu penerangan. Tak ada rumah penduduk. Rasa ngeri kembali menyergap nadinya. Jika ada begal atau perampok, nyawanya pasti akan melayang karena ia tak punya apa-apa yang bisa ia berikan, selain nyawa dan...sesuatu yang melingkar di lehernya. Tapi ia tidak akan pernah memberikan itu kepada siapapun. Meski nyawa taruhannya.
Beberapa kendaraan melintas lagi, dan sebuah motor harus berhenti perlahan. Mendekatinya karena merasa iba, mungkin gadis itu tersesat, atau di usir oleh orangtuanya! Motor itu berhenti di depannya, membuatnya harus menghentikan langkah. Sang pengendara turun dan mendekat padanya, keduanya tercenganga. Terpaku.
"Sonia!" serunya. Mulut Sonia hanya bergemeretak oleh gigirnya yang beradu karena gigil yang menyerangnya, ia tampak gemetaran.
"Kamu..., kamu kenapa bisa di sini?" tanyanya lagi. Tapi mata Sonia malah memutih lalu tubuhnya meluncur ke arah orang itu, orang itupun segera menangkap tubuhnya yang lemas.
"Sonia. Sonia! Ya Tuhan!" serunya panik.
Â
---Bersambung.....---
Â
©Y_Airy | Wild Sakura ( season 1 )
Â
Selanjutnya, _____ | Wild Sakura #Prologue
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI