Cincin bunga Camelia.
Dan itu..., indah sekali. Aku sampai menganga dan tak mampu mengedipkan mata. Lalu ku tarik pandanganku dari cincin itu ke wajahnya.
"Menikahlah denganku!" pintanya. Tubuhku kian terpaku. Menatapnya tak percaya, sementara ia masih diam berlutut menunggu jawabanku. Dan apa yang harus ku jawab?
Mataku tiba-tiba saja terasa panas dan meleleh. Tapi tak ku ucap sepatahpun, aku hanya berbalik lalu berlari meninggalkannya. Di tengah perjalanan ku cegat taksi lain, aku tak jadi pergi ke toko bunga. Aku langsung kembali ke rumah saja. Ku telepon Ika dan ku beritahu padanya bahwa aku tidak enak badan. Sebenarnya, perasaanku yang tidak enak!
Ku lihat layar hpku yang terdapat begitu banyak misscall dari Hizam, juga beberapa sms dan pesan WA. Tak ada yang ku balas. Mungkin, aku jahat!
Setiap pagi aku pergi ke toko bunga lebih pagi, naik ojek. Ku hindari ia ketika ia menungguku pulang dan meminta penjelasan kenapa saat itu aku menangis dan tak memberi tanggapan apapun? Hingga akhirnya ia harus mengetuk pintu rumahku suatu malam. Â
Aku diam terpaku di ambang pintu, menatapnya yang menatapku penuh harap.
"Kamu belum menjawabku, setidaknya..., beri aku penjelasan kenapa kamu tiba-tiba berubah sikap?"
"Aku..., aku cuma mau kamu jauhin aku mulai sekarang!"
"Kenapa begitu, kalau kamu nggak menerima lamaranku. Kita masih bisa berteman, nggak perlu harus putus silaturahim!"
"Karena emang nggak seharusnya kita deket!"