* * *
Liana sudah tertidur lagi, Rizal sempat memanggil dokter saat Liana pingsan, untungnya ia tak mendapatkan luka serius di tubuhnya, hanya....mungkin luka lama di dalam jiwanya kini kembali mulai terbuka. Dan itu pasti akan membuatnya seperti dulu. Meski orang-orang tak bermoral itu belum berhasil melaksakan niatnya, tapi perbuatan mereka sudah cukup mengingatkan Liana pada masalalu yang sedang di cobanya untuk di kubur dalam-dalam.
Saat sadar Liana sempat berkata bahwa Anthony adalah anak lelaki yang sempat melamarnya sewaktu kecil dulu dan telah ia tolak begitu saja. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan nama pria itu, juga sorot matanya. Ia bersumpah ia akan membunuh pria itu jika ia bertemu lagi dengannya. Â
Sekali lagi ia menatap wajah lelap Liana di ranjangnya sebelum menutup pintu kamar itu, tapi ia sengaja tak menutupnya dengan rapat agar mudah jika wanita itu membutuhkannya. Lalu ia menghampiri single sofa yang usang, mendudukan diri di sana. Ia akan berjaga malam, setelah kegagalannya ia yakin Anthony pasti akan kembali meski ia tahu tidak untuk saat ini karena pria itu pasti butuh rencana. Tapi rupanya kian malam melarut, matanya tak mau kompromi. Rasa kantuk tetap saja menyerangnya, membuat harus melawan rasa itu sekuat tenaga, tapi akhirnya iapun memejamkan mata juga dan harus mengalah pada rasa lelah yang terus menggodanya.
Liana membuka mata ketika kicau merdu burung menyongsong fajar, ia menyapukan pandangannya ke seisi ruangan dan ia sendirian, Rizal tak ada di sana padahal ia sudah memintanya untuk tak meninggalkan dirinya. Ia pun menyibak selimut dan meluncur dari ranjang, dengan sedikit bergegas ia keluar kamar. Langkahnya terhenti setelah menembus pintu, matanya menemukan sesosok tubuh yang lelap di sofa, rupanya Rizal tidur di sana! Ia sudah takut kalau Rizal meninggalkannya di rumah sendirian, lalu bagaimana kalau Anthony datang? Pria itu kan sudah sering datang ke rumah ini.
Perlahan ia mendekat, terdengar dengkuran halus yang keluar dari tenggorokan Rizal. Pasti dia lelah sekali, setelah bertarung dengan orang-orang itu untuk menyelamatkannya pria itu masih harus mengurusnya, lalu berjaga sampai ketiduran seperti itu. Ia menatap lekat wajah Rizal, wajah ganteng ala-ala orang jawa yang terlihat manis, Rizal memang tak setinggi Nicky tapi dia juga tak kalah jauh soal wajah. Dan yang paling penting....adalah hatinya, Rizal memiliki hati yang tulus yang tak bisa di bandingkan dengan siapapun yang pernah ia kenal.
Sampai detik ini, bahkan pria itu masih setia di sisinya, menjaganya, melindunginya. Iapun tersenyum lalu berjalan ke dapur, membuat kopi atau teh hangat mungkin bisa menghangatkan pagi.
Mendengar suara berisik di dapur membuat Rizal terjaga, ia membuka mata, mengusapnya lalu menyisir tempat itu hingga pandagannya tertumpu ke dapur. Terlihat Liana baru saja menyalakan kompor, iapun berjalan ke sana dengan masih sedikit lemas dsn sayu.
"Liana, apa yang kau lakukan?"
Liana menoleh dengan suara itu, "ouh, kau sudah bangun!" sahutnya, Rizal mendekat, "Apa yang kau lakukan, kau masih harus istirahat!"
"Kau tahu aku tak bisa diam saja, Jal. Itu membuatku...., kau tahu....suara-suara mereka....., aku masih bisa mendengarnya, Jal!" kepanikannya mulai kembali menyerang, matanya kembali merah.