Selama hampir enam bulan, kelihatannya wanita itu baik-baik saja. Padahal selama ini ia cukup mencemaskan keadaannya, dan tidak terlihat ada takanan batin dalam ekspresinya. Sepertinya Liana senang berpisah dengan dirinya, tidak seperti bayangannya selama ini yang menganggap mungkin saja wanita itu menderita jauh dari dirinya. Apakah benar?
Jika iya, jadi kecemasannya selama ini sia-sia?
Apakah wanita itu tak merindukannya seperti dirinya merindukan wanita itu?
* * *
Liana baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian santai untuk tidur ketika mendengar suara ketukan di pintunya, ia pun segera keluar kamar. Di jam seperti ini biasanya Rizal atau bu Rt, tapi ketika ia membuka pintu rumahnya, sosok yang ia temukan di hadapannya adalah seseorang yang membuatnya hanya mampu berdiri mematung memandangnya.
Jantungnya seakan berhenti berdetak, mata mereka beradu, saling menyapa dengan bahasa yang asing. Yang tak mampu mereka baca masing-masing, seluruh tubuhnya mendadak lemas, tulang-tulangnya seakan meleleh. Tapi ia mencoba untuk tidak ambruk dan terlihat lemah, selama hampir enam bulan ia sudah cukup kuat hidup dan menatap hari tanpa pria itu. Dan kini, ia ingin tetap sekuat selama ini, meski dalam hatinya sedang berperang perasaan yang tak menentu dan bercambur aduk tak karuan.
"Nicky!" Â
Antara nyata dan maya, ia seperti mendengar mulutnya mendesiskan nama itu.
Â
---Bersambung.....---
Â