Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 24

14 November 2015   23:17 Diperbarui: 15 November 2015   06:47 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebelumnya, The Wedding #Part 23

 

"Tunggu-tunggu," seru Brian dengan cepat, "apa aku baru saja mendengar kau menyebut nama Valent?" lanjutnya, "perfectly!" sahut Nicky.

Brian menyandarkan diri di sandaran kursinya, menggaruk dahinya dengan tangan kiri, menggigit bibir bawahnya seraya melirik Nicky. Ekspresi Nicky yang sepertinya memang sudah mengetahui hal itu membuat Brian tahu kalau temannya tak sedang bercanda. Ia memajukan tubuhnya kembali dengan kedua lengannya di atas meja,

"Nicky, Valent sudah lama menghilang!"

"Hanya menghilang Brian, bukan mati. Menghilang bukan berarti tidak akan pernah kembali!" tegasnya, Brian jadi sedikit resah, "jika dugaanmu benar, ini artinya....kita benar-benar sedang menghadapi seseorang yang sangat berbahaya. Apalagi jika Valent tahu tentang Liana!"

"Dia sudah tahu, aku yakin itu. Penyusup yang menyamar di rumahku, mungkin adalah salah satu orangnya. Kau tahu, ada beberapa orang yang bekerja di rumahku, termasuk para bodyguardnya. Mereka sudah bekerja sejak kakek masih hidup, untuk saat ini....aku tidak bisa mempercayai siapapun di rumahku sendiri kecuali beberapa orang!"

"Apakah aku perlu, berjaga di rumahmu?" usul Brian, Nicky kembali menatapnya. Usul itu boleh juga. Tapi kasihan Sinta kalau Brian harus menginap di rumahnya, Brian kan baru saja pulang dari luar kota.

"Tidak perlu, beberapa orangmu kan sudah ada di sana. Ku rasa itu cukup untuk saat ini!"

* * *

Liana duduk termenung di meja makan, sesekali ia melirik Ivana yang menyantap makanannya dengan santai. Sementara dirinya sama sekali tak menyentuh sendoknya. Ia juga sering melirik jam di dinding, ia tahu Nicky tidak akan pulang untuk makan malam, tapi ia ingin tetap menunggu. Setidaknya ia ingin sebuah penjelasan dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah jadi aneh, meski itu sering terjadi.

"Tak usah menunggu Nicky, dia pasti makan malam di luar!" seru Ivana membuatnya sedikit tersentak, "bukankah sering begitu?"

Liana tak menyahut, hanya menatapnya saja. Ivana menyunggingkan senyum yang membuat perut Liana bergolak, rasanya ingin memuntahkan sesuatu tapi tak ada yang bisa ia muntahkan karena siang tadipun ia hanya menelan sedikit makanan selesai menyuapi Nino.

"Atau mungkin....dia sedang menghabiskan waktu dengan seseorang di luar sana!" goda Ivana membuat mata Liana bertambah lebar, "kau pasti sudah tahu siapa Nicky kan, di luar sana banyak sekali wanita cantik yang mengantri bisa menghabiskan waktu bersamanya, tidak peduli dia sudah menikah atau belum. Dan yang pasti....semuanya highclass dan elegan!"

Liana masih diam.

"Dulu saat bersamaku saja, aku harus selalu memikirkan cara agar dia selalu kembali padaku. Dan kurasa...., kau juga harus begitu. Jika ingin Nicky betah bersamamu, kau harus selalu bisa membuatnya senang. Terutama.....saat melayaninya di dalam kamar!"

Liana makin terpaku mendengar ocehan Ivana, ia tak ingin percaya. Tapi apa yang di katakan Ivana itu benar, bahkan kakek Willy pernah berkata kalau dulu Nicky tak pernah lama menjalin hubungan dengan wanita. Jika bosan ya ganti baru! Dan Ivanalah yang bisa di katakan lama, meski itupun tidak sampai satu tahun. Tapi itu dulu kan? Setahunya selama ini Nicky cukup sabar menghadapi dirinya yang baru bisa menjadi istri seutuhnya beberapa hari terkahir.

Liana memejamkan mata sejenak, ia menepis semua hal itu. Ia yakin sekarang Nicky tidak seperti itu, bahkan sejak berpisah dengan Ivana dua tahun lalu Nicky tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun.

"Aku percaya dengan suamiku, mungkin saat ini Nicky hanya sedang sibuk!" sahutnya. Ivana malah melebarkan senyum, bahkan ada tawa yang keluar dari mulutnya, "aku tidak tahu apakah kau bodoh, atau...hanya pura-pura bodoh. Ku rasa kau sudah cukup mengenal Nicky, dengar Liana!" Ivana menatapnya tajam, "secepatnya, Nicky akan sadar....bahwa bukan kau yang seharusnya mendampinginya. Dan seharusnya, kau juga sadar diri. Kau, tidak pantas menjadi istrinya!" cibir Ivana lalu berdiri dan meninggalkan meja makan.

Liana menggerutu, ia mengepalkan tinjunya. Ia memang menyadari dirinya tak secantik Ivana, atau semua istri-istri dari teman bisnis suaminya yang pernah ia lihat di pesta malam itu. Ia tak seelegan mereka, seglamor mereka, seanggun mereka, apalagi dirinya pincang sekarang. Tapi ia sangat mencintai Nicky, ia bahkan jatuh cinta pada pria itu sejak pertama kali bertemu. Dan ia makin jatuh cinta padanya mengetahui kesabarannya saat menghadapi traumanya, perhatian-perhatian kecil yang terkadang tertutup oleh sikap dinginnya, dan kelembutannya saat bercumbu mesra, seolah takut untuk menyakiti dirinya. Semua itu....membuatnya jatuh cinta tak hanya satu kali, tapi bertubi-tubi.

Perlahan bulir-bulir bening jatuh melewati pipinya satu persatu, hubungan mereka memang tak pernah mulus sejak awal. Bahkan pernikahan inipun terjadi bukan karena mereka memang saling mencintai, tapi karena apa yang terjadi pada dirinya, karena keinginan kakek, dan mungkin.....

Liana segera menepis pemikiran terakhir, ia tak mau beranggapan seperti itu. Karena jika benar begitu, tidak mungkin Nicky akan sesabar itu padanya di beberapa bulan pertama pernikahan mereka. Ia menghapus airmata yang membasahi pipi hingga lehernya, tapi ia tak beranjak dari sana. Ia malah membenarkan duduknya, menatap kursi kosong yang biasa di duduki Nicky.

Sosok Nicky yang dingin terlihat oleh matanya sedang menyantap makan malam, terkadang muncul juga sosoknya yang dulu, dimana pria itu selalu menatapnya tajam dan sinis, arogan, juga teduh. Entah kenapa ia justru merindukan sosok Nicky yang seperti dulu. Yang selalu angkuh padanya, sinis padanya, juga kasar padanya, tapi selalu membuat debaran di balik tulang rusuknya berdentang hebat, terlebih saat mata mereka beradu. Ia rindu, rindu sosok itu. Matanya kembali berair, tapi ia tak membiarkan buliran bening kembali berhasil menjebol matanya, ia segera menyekanya sebelum mereka merembes keluar.

Rizal menatapnya dari sisi dapur, dari tempatnya ia bisa melihat tubuh wanita itu yang duduk terpaku menunggu suaminya pulang. Entah apalagi yang terjadi, tapi sore tadi saat dirinya menghampiri Liana malah menghindar. Bahkan tak mau bicara padanya. Dan rasanya, hatinya perih melihat wanita itu seperti itu. Ia memang tak berniat meminta lebih, cukup dengan mencintainya saja sudah membuatnya bahagia. Tapi ia juga tak mau melihat Liana menderita, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Liana lebih memilih orang lain sebagai sandaran hidupnya, bukan lagi dirinya!

Jaya datang menghampiri Liana, "nyonya, mungkin tuan Nicky akan pulang sedikit malam. Sebaiknya nyonya makan malam lebih dulu saja setelah itu istirahat!" sarannya.

"Aku akan menunggunya,"

"Tapi nyonya...,"

"Kalian boleh istirahat duluan!" sahutnya, setelah itu ia diam kembali. Jaya tahu tidak akan ada gunanya membujuknya, ia juga bingung ada kesalahpahaman apalagi di antara mereka, padahal kemarin mereka sudah baik-baik saja. Bahkan terlihat mesra, dan kini seperti itu lagi.

Jaya pun akhirnya menyingkir, tapi ia tetap memantau Liana dari dapur. Duduk di sana bersama Rizal sambil mengobrolkan apa yang terjadi.

* * *  

Malam kian merambat, kepul-kepul dari hidangan di atas meja telah terbunuh oleh waktu yang serasa berjalan begitu lamban bagi Liana. Ia seperti sudah duduk di sana bertahun-tahun, melongo menatapi ruang hampa, atau sesekali matanya tergelitik untuk melirik pernak-pernik di atas meja makan yang mungkin sudah sedingin batu.

Jaya kembali membujuknya untuk berhenti menunggu Nicky, tetapi seperti malam sebelumnya ia selalu mempertahankan kekeraskepalaannya. Bahkan hingga tanpa terasa matanya memberat, perlahan kepalanya terjatuh di atas meja, hembusan lembut dan dalam membuat punggungnya naik turun lembut. Matanya terpejam, saat Jaya menghampirinya kembali seperti itulah keadaannya. Wanita itu tertidur di meja makan. Jaya tak tega membangunknanya maka ia hanya menyelimutinya saja secara pelan agar tak mengusiknya.

Rizal masih di dapur untuk melihatnya, ia bahkan bertekad tidak akan beranjak jika tubuh Liana masih teronggok di sana. Secara samar ia bisa mendengar suara sebuah mobil merapat di parkiran rumah, ia tahu itu Nicky dan iapun tak berniat pergi dari dapur.

Nicky menghentikan langkah ketika sampai di ruang makan secara perlahan, menemukan sesosok tubuh di sana. Kepalanya tergeletak di meja dan tubuhnya menggelantung duduk di kursi. Hidangan di meja makan masih rapi, hanya terlihat berkurang sedikit, iapun melangkah perlahan. Di samping kepala Liana terdapat seporsi makan malam yang belum tersentuh, wanita itu tidak mengisi perutnya karena menunggu dirinya pulang?

"Tuan, kau sudah pul...ang!" seru Jaya yang di hentikan oleh telapak tangan Nicky yang terangkat ke atas, mata Nicky tidak beranjak dari tubuh istrinya.

"Kenapa kau biarkan dia tidur di sini?" desisnya,

"Aku sudah meminta nyonya untuk beristirahat di dalam. Tapi nyonya menolak dan tetap ingin menunggumu!"

"Kau bisa membujuknya kan?" seru Nicky sedikit kesal, sekarang malah Jaya yang menatapnya tajam seraya mendengus kesal.

"Tuan Nicky, maaf. Kau sudah bukan lagi pria lajang yang bisa pulang larut malam seenaknya tanpa menghiraukan istrimu yang cemas menunggu!" Nicky menatap Jaya karena omelan itu, "apa kau tahu, kemarin malam bahkan istrimu tidur di ruang tamu sampai pagi hanya untuk menunggumu, dan entah...apa saja yang kau lakukan di luar sana!" hardik Jaya, "jujur, ini membuatku kecewa!" lanjutnya lalu memutar langkah meninggalkam ruangan itu. Ia berbicara seolah ia adalah seorang ayah dan Nicky adalah putranya, ia tahu ia sudah lancang. Dan jika pun Nicky akan marah terhadapnya karena itu, ia tak peduli. Lagipula, ia yang paling tahu kelakuan anak itu semenjak masih bayi.

Nicky terpaku, kalimat Jaya begitu mengena di jantungnya. Jaya bilang dia kecewa, apakah sekarang seperti itu juga yang di rasakan kakeknya, kecewa juga padanya?

Ia kembali menatap tubuh Liana, lalu melangkah perlahan. Ia mencoba merangkakan tangannya ke pipi wanita itu, dan ternyata itu tak mengganggunya, itu artinya tidurnya sudah cukup lelap. Ia pun melirik jam di dinding, ternyata sudah hampir tengah malam. Ia kembali menatap wajah istrinya lalu memungut tubuhnya, membawanya ke dalam gendongannya dan berjalan ke kamar. Ia meletakan tubuh Liana pelan-pelan di kasur, Liana menggerakan tubuhnya, sempat membuat Nicky tercekat. Tetapi ternyata wanita itu hanya menggeser tubuhnya saja, ia masih terlelap. Nicky menarik selimut hingga ke leher istrinya, lalu menarik diri. Berdiri memandanginya cukup lama, lalu ia melepaskan jaketnya, menyandarkannya di sandaran kursi lalu masuk ke dalam kamar mandi.

* * *

Liana menggeliat pelan di bawah selimut, menggerakan tubuhnya seraya membuka mata perlahan. Ia mulai sadar kalau dirinya berbaring di tempat tidur, lalu ia mencoba mengingat apa yang terjadi, ya ia ingat bahwa ia sedang menunggu Nicky di meja makan. Iapun segera bangkit dan celingukan hingga menemukan jaket yang sore tadi Nicky kenakan sudah ada di kursi. Iapun meluncur daei ranjang mendekati jaket itu, merabanya. Benar, itu jaket yang Nicky kenakan sore tadi, itu artinya Nicky sudah pulang. Tak ada suara di kamar mandi, berarti Nicky tak ada di dalam sana, tapi tunggu!

Siapa yang memindahkan tubuhnya ke kamar, Nickykah?

Liana menggeleng lalu keluar kamar, di depan kamarpun ia celingukan seperti orang asing saja di rumah sendiri. Ia pun hendak berjalan ke ruang kerja Nicky tetapi ia malah mendengar suara tangis bayi secara samar, kamar utama yang sekarang mereka tempati itu berada di dekat tangga, sementara kamar Nicky atau kamar mereka sebelumnya ada di lantai dua. Maka iapun naik saja karena sepertinya Nino sedang menangis, memangnya Ivana kemana, apakah ia tidak dengar putranya menangis?

Liana membuka pintu kamar yang sedikit terbuka itu, alangkah kagetnya ia ketika mendapati Nino berada di tepi ranjang, hampir jatuh sambil menangis keras. Liana pun segera menghampiri dan memungutnya ke dalam gendongannya, "ssst....sst...sst....," ia mencoba menenangkan anak itu, dan ternyata anak itu memang diam ketika dalam gendongannya. Ia menimang-nimang anak itu, tapi anak itu mulai menangis lagi.

"Kamu kenapa sayang, kamu pasti lapar ya. Aduh...Ivana kemana?" ia celingukan lagi, lalu ia membuka kamar mandi dan Ivana tak ada di sana, "ya udah, tante buatkan susu saja ya!" katanya berjalan ke meja yang sudah tersedia peralatannya, seperti termos, botol susu, kaleng susu bubuk dan juga air mineral. Ia segera saja meracik susu untuk anak itu dan memberikannya. Nino diam seketika saat mulai mengenyot dot botol susunya. Anak itu memang lapar rupanya.

Liana membawanya berjalan keluar kamar, menuruni tangga mencari Ivana. Niatnya mencari Nicky kini tertunda, Liana berjalan ke dapur dan tempat itu gelap, tanda tak ada siapapun. Lalu ia memutuskan untuk kembali mencari suaminya di ruang kerjanya. Tapi begitu sampai di sana ia melihat pintu ruang kerja Nicky tak tertutup sempurna, lampunya memang masih menyala. Iapun mendekatinya perlahan, entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang tidak enak dalam hatinya. Liana berhenti di depan pintu, jantungnya kini malah ikut berdebar tak karuan.

"Mmmmhhhfff," terdengar suara seperti itu yang Liana tangkap di telinganya, ia membenarkan posisi menggendong Nino dengan hanya satu tangan karena ia akan menggunakan tangan yang satunya lagi untuk membuka pintu. Perlahan ia mendorong pintu itu hingga terbuka lebar, pintu itu tak berderit sehingga dua orang di dalam sana tidak menyadari kedatangannya.

Tapi apa yang di temukannya sungguh membuatnya tercekat, wajahnya memutih seketika, tubuhnya sedikit gemetar menyaksikan pemandangan itu,

"Nicky!" desisnya,

Suara Liana membuat Nicky tersentak dan mendorong tubuh Ivana menjauh darinya, otomatis bibir mereka yang baru saja beradu harus terlepas. Nicky menoleh ke arah pintu, di sana istrinya berdiri menggendong seorang bocah lelaki, memandangnya dengan sorot yang aneh.

 

---Bersambung.....---

• T.B.W.O.A ~ The Wedding (second novel)

The Wedding #Prologue

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun