Sejak percakapanku dengan Tari hari itu, aku mulai mengumpulkan keberanian. Dinda, adik kelasku yang cantik, yang populer, ah....makin hari aku makin di buatnya tak karuan. Mungkin Tari benar, aku harus mengungkapkan perasaanku, soal di terima atau di tolak itu urusan nanti, yang penting usaha dulu.
Semalaman ku persiapkan sesuatu, karena mungkin aku tak akan mampu berucap kalau sudah di hadapannya, bagaimana aku bisa berucap, jika dia lewat saja jantungku seperti mau meledak. Inikah yang namanya cinta sejati? Ah entahlah....aku tak mau menghakimi dulu.
Ku kirim Tari untuk menyampaikan sebuah kertas padanya saat jam istirahat, saat ku intip dari balik tembok, dia nampak bingung. Wajahnya terlihat polos, membuat hatiku makin bergetar.
* * *
Sepulang sekolah ku lihat Dinda berjalan pelan ke taman dekat sekolah, dia celingukan, menggaruk sisi kepalanya yang ku yakin nggak gatal sama sekali. Lalu matanya menangkap sesuatu yang sengaja ku taruh di kursi panjang di tengah taman, ia menghampiri, tertegun untuk sekian detik. Perlahan ia memungut setangkai mawar pink yang ku tahu pink adalah warna kesukaannya, di ciumnya kuntum itu lalu tersenyum, hatiku ikut tersenyum melihatnya.
Lalu ia pungut secarik kertas yang tadi menjadi alas tiduran mawar itu,
JEMPUT HATIKU,
 Lekuk senyummu adalah racun, menetesi cawanku, menghitamkan pandangku hingga semua yang bekisar di antaraku hanyalah kamu,
Keindahanmu bak kuntum mawar, menusukku, membuatku sakit,
Getar-getar pesonamu buatku jatuh, jatuh dalam lingkar asing yang bernama cinta, hatiku tak mampu bangun, mungkin tak mau, karena ku terlanjur suka di sana,
Memandangmu, lemparkanku pada rasa indah yang sulit ku urai, karena kamu, buatku kelu, hanya mampu menikmati seulas senyummu yang kamu lempar ringan, jerembatkan hatiku ke dasar