Kembali, alunan nada-nada itu menggema, menggetarkan gendangku, sesuatu menusuk jantungku, mendesir, akupun yakin, lengkung rembulan di atas juga merasakan hal yang sama.
Beberapa malam berlalu sama, di jam yang sama, semenjak aku menempati rumah ini 4 hari yang lalu. Sebuah nada mengalun syahdu, membentuk sonata yang indah, awalnya aku hanya diam menikmati hingga suara itu melenyap terbawa angin malam. Tetapi tidak malam ini, entah dorongan apa yang menyeretku, tetapi sepasang kakiku merambah pelan, perlahan, mengikuti arah nada yang makin lama makin dekat dan makin merdu. Jantungku berdebar lebih kencang, lebih dasyat, nada-nada itu berasal dari rumah di belakang rumah baruku. Bulu kudukku mulai berdiri tegak, tapi rasa penasaranku mengalahkan ketakutanku.
Kata orang-orang yang tinggal di sana adalah seorang wanita tua, usianya sekitar 50 tahun. Berarti belum terlalu tua kan, mungkin dia memang seorang pemain biola yang handal!
Aku menembus pintu belakang, melewati kebun bunga yang tak terlalu luas, lalu melompati pagar yang hanya setinggi pinggang. Pekarangan belakang rumah itu yang berada tepat di belakang rumahku memang tak terawat, terlihat dari semaknya yang meninggi nan rimbun, membuat suasana jadi seram. Ku masukan telapak tanganku ke saku jaket pink ku, lumayan dingin juga nih malem!
Berada di pekarangan rumahnya, membuatku makin jelas mendengar alunan nada-nada itu, entah kenapa aku ingin sekali tahu bagaimana orang yang memainkan biola dengan sangat indahnya. Kata orang-orang dia aneh, tapi menurutku dia itu unik, menciptakan rasa penasaran yang tinggi. Aku terbengong di sana, tak tahu harus berbuat apa, bagaimana aku bisa masuk rumah ini, kalau menerobos pasti di kira maling!
Ah, bodo amat! Pikirku.
Ku dekati pintu usang nan sedikit lapuk di bagian belakang itu, ku dorong perlahan dan ternyata tak di kunci, atau mungkin memang sudah tak bisa di kunci karena rusak.
Terdengar sedikit bunyi derit, ku pelankan doronganku hingga pintu itu terbuka semua. Aku tak ingin terlalu keras mendorongnya karena tak ingin membuat pintu itu roboh. Suara nada-nada yang ku dengar semakin jelas, ku ikuti saja nada itu mengalun. Semakin indah dan makin membuat sekujur tubuhku bergetar. Akupun naik ke lantai dua, berjalan perlahan berharap tak ketahuan.
Sampai di ruang santai lantai dua, ku dapati seseorang sedang bermain biola di dekat jendela, di sebelahnya adalah meja kayu setinggi pinggang. Ia menatap menghadap keluar jendela, memainkan sebuah lagu dengan indah, aku tahu lagu itu, itu adalah salah satu sonata Elgar yang paling ku suka. Meski aku tak bisa bermain biola.
Aku mendekat perlahan, lalu ia berhenti bermain. Memutar kepalanya sedikit seolah mengetahui kedatanganku. Lalu kembali menghadap ke depan.
"Hai, ehm....aku nggak pernah lihat kamu. Oh tentu saja, aku baru empat hari di sini!" kataku, tapi dia diam saja. Lalu ku ciba lagi mengajaknya bicara, "namaku Elisa, permainan kamu bagus!" dia masih tak menyahut.
Ok deh nggak apa-apa, aku pun melangkah ke arahnya. Berdiri di sampingnya, "kamu tahu, permainan biola kamu itu bikin aku penasaran banget, makanya aku nekat ke sini. Tapi....kok kamu nggak pernah keluar sih?"
"Kamu nggak seharusnya ada di sini!"
"Aku cuma pingin tahu siapa yang memainkan lagu seindah itu setiap malam, tak di sangka....ternyata seorang pemuda tampan!" aku memang terkenal sangat mudah bergaul, di sekolah saja teman-temanku banyak sekali. Teman dan follower di medsos juga membludak, padahal aku bukan artis ataupun tokoh terkenal. Tapi jujur, aku nggak suka narsis sih!
Aku berbicara panjang lebar tetapi dia hanya tersenyum kecut, sesekali tersenyum manis padaku. Dia bahkan tak menyebutkan namanya ketika ku tanya. Meski begitu aku senang karena akhirnya seorang violis misterius yang selama beberapa hari ini selalu melantunkan lagu-lagu Elgar di malam hari sebagai teman lelapku, akhirnya ku ketahui orangnya, wajahnya, meski namanya belum. Karena sudah larut akupun pamit pulang dulu. Ku bilang besok malam aku akan datang lagi untuk menemaninya bermain biola, meski hanya sebagai penikmat saja. Dan diapun mengangguk tanda setuju.
* * *
Mentari pagi begitu cerah menyinari alam, ku buka pintu depan seraya merapikan seragamku. Karena kalau dari rumah aku harus selalu rapi. Maklum....bokap super disiplin. Meski setiap sampai di sekolah, semua ujung bajuku sudsh tak ada yang menyelip di dalam rokku.
Karena sudah dapat sim jadi aku bawa motor ke sekolah, sengaja kali ini aku memutar melwati rumah di belakang rumahku. Ku lihat nenek yang tinggal di rumah itu sedang menyapu halaman, ku hentikan motorku dan ku sapa dia,
"Pagi nek...,"
Nenek itu berhenti menyapu dan menatapku. Aku keluar dari motor untuk menghampirinya, ku pungut tangannya dan ku cium seperti yang biasa ku lakukan pada bonyok atau kanek (kakek-nenek).
"Saya Elisa nek, tetangga abru nenek!"
"Ouh...yang tinggal di belakang rumah ya?"
"Iya nek, nenek rajin sekali pagi-pagi. Nggak di bantuin?"
"Siapa yang mau membantu nenek!"
"Loh, pemuda yang tiap malam bermain biola itu...cucu nenek kan?"
Nenek itu malah menatapku dengan sorot aneh yang tak mampu ku terka, lalu ia tersenyum padaku dengan manis dan berucap,
"Iya cu, cucu nenek memang suka sekali bermain biola. Tapi....,"
Ku tunggu jawabannya yang membuatku sedikit tegang karena tiba-tiba wajah sang nenek mendadak sedih, "tapi cucu nenek sudah meninggal satu setengah tahun yang lalu!"
Jrengggggg......
Tubuhku kaku seketika, mataku membuka semakin lebar, mulutku juga terbuka tanpa suara. Tiba-tiba sekujur tubuhku gemetaran, kakiku seolah tak mampu menopang tubuhku lagi. Seluruh bulu yang tumbuh di tubuhku berdiri tegak olah ucapan sang nenek. Cucu nenek sudsh meninggal, lalu siapa yang setiap malam memainkan biola itu.
Siapa yang ku temui semalam, dan ku ajak bicara?
Dan aku berjanji akan datang lagi?
Tubuhku makin gemetaran, tiba-tiba mataku jadi berkunang. Lalu tubuhku ambruk seketika.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H