Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #32; Kenapa Lucas?

8 September 2015   14:05 Diperbarui: 8 September 2015   14:27 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alisa membersihkan jejeran kamar mandi, menggosok lantainya dengan sikat, cukup lelah juga karena tadi sudah membersihkan halaman belakang sendirian. Ia berhenti untuk istirahat, berdiri dan bersandar tembok. Tiba-tiba saja ia jadi kangen ingin menari lagi, maka iapun celingukan untuk memastikan tidak ada yang melihat.

Lalu ia berdiri di depan jejeran kamar mandi yang belun selesai ia bersihkan, berpose siap untuk memulai tarian. Seolah ada nada yang mengiringi, ia menari indah di tempat usang dan dekil itu. Membayangkan bahwa dirinya kembali berada di panggung megah yang selama ini ia impikan, yang seharusnya di laksanakan besok. Tapi ia dengar katanya pementasannya di undur hingga Nadine sembuh, saat dirinya sedang hanyut dalam tariannya tiba-tiba ada tepukan tangan yang menghentikannya seketika.

Wajahnya jadi memucat melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya, "bagus...bagus sekali!" seru Dwi menghampirinya, "siapa yang suruh kamu nari?" lanjutnya, "kamu pikir ini panggung....jangan ngimpi, kita suruh kamu buat bersihin tempat ini bukan malah bikin pertunjukan!"

"Lagian juga nggak ada yang bakal lihat kecuali kecoa, ha...ha...ha...!" tukas Lina di ikuti tawanya dan yang lainnya, "maaf mbak, aku cuma....!"

"Sejak kapan kamu berani menjawab, hah!" potong Dwi, "Wi, kaya'nya di anak baru perlu di kasih pelajaran bisa nurut!" usul Lasmi, "dari tadi kerja nggak kelar-kelar, lelet banget!" cibirnya, Dwi tersenyum simpul dengan ide temannya, ia melirik kedua temannya dan mereka langsung mengerti, mereka menangkap lengan Alisa seketika.

"Lepaskan, kalian mau apa?"

"Mau ngajarin kamu bisa nggak blagu!" sahut Dwi, mereka menyeretnya ke dalam salah satu kamar mandi, Alisa berusaha meronta tetapi itu membuatnya bekas jahitannya yang kemarin sempat terluka jadi nyeri, tiba-tiba tubuhnya di sergap rasa dingin akibat guyuran air yang di lakukan Dwi, membuatnya terkejut. Dwi mengulanginya hingga beberapa kali.

"Lepaskan, lepaskan...!" rontanya, tetapi ia malah mendapat pukulan di perutnya beberapa kali, membuat tubuhnya membungkuk. Lina dan Lasmi melepaskannya, perlahan Alisa terduduk di lantai, "itu karena kamu tidak menjalankan tugas dengan baik, ingat ya....kalau saat aku kesini nih tempat belum kelar juga, kamu tahu sendiri akibatnya!" kata Dwi lalu menyingkir di ikuti dua temannya.  

Mereka berjalan meninggalkan tempat itu, "eh, emang nggak apa-apa kita kaya' gitu?" tanya Lina, "ah cuek aja, dia juga pembunuh. Seorang pembunuh emang harus di gituin!" balas Dwi.

Alisa meringis menahan sakit di perutnya, terasa ada cairan hangat yang ia rasakan di tangannya. Maka iapun melihat apa itu dan....merah, itu darah? Ia membuka bajunya dan melihat ujung bekas jahitan yang kemarin lepas satu benangnya, kini mengeluarkan darah. Iapun segera menekan lukanya agar darahnya mau berhenti mengalir seraya meringis menahan rasanya.

* * *

Ridwan duduk menatap tubuh Nadine yang masih belum menampakan kemajuan, entah sampai kapan Nadine akan tergeletak di sana. Tapi kata dokter jika kondisi fisiknya sudah tidak bermasalah maka Nadine boleh di bawa pulang dan di rawat di rumah saja.

Tapi dalam keadaan seperti itu ia jadi ingat dengan Alisa, bagaimana keadaannya sekarang? Bukankah di dalam penjara itu cukup brutal, apalagi sebagai napi kasus pembunuhan! Ingin sekali rasanya ia pergi dan menjenguk Alisa tapi ia tak punya nyali untuk datang ke sana. Apalagi setelah apa yang di lakukannya di pengadilan, mana mungkin ia bisa bertatap muka dengan wanita itu.

Ridwan berdiri dan berjalan ke jendela, ada rasa sakit yang sepertinya melubangi dadanya. Rasanya sesak sekali ia menghela nafas, mengenang masa-masa yang telah lalu, saat dirinya bersama Alisa setelah lama tak bertemu, melihat Alisa tertawa bersama Nadine, tiba-tiba sebuah perih mendarat di ulu hatinya. Merobek dan mencabik-cabik hingga berhamburan, jujur....hingga dalam keadaan seperti ini pun ia tak akan sanggup jika di suruh memilih antara kedua wanita itu. Tapi keadaan harus membuatnya menjauhkan Alisa dari dirinya, walau ia tak mampu mengingkari ia masih sangat menginginkan wanita itu lebih dari apapun.

Matanya mulai memanas hingga menciptakan butiran embun di bola matanya, semakin banyak hingga tak mampu lagi tertampung dan tumpah membanjiri pipinya. Ia memejamkan mata dengan harapan bisa meredam perasaan itu, tetapi wajah Alisa malah muncul di benaknya, tersenyum, dan....mata sembabnya. Mata sembabnya saat terakhir kali mereka bertatapan di kantor polisi sebelum Alisa ikut ke rumah sakit untuk menjadi donor ginjal Nadine. Mata itu....penuh dengan pengharapan, permohonan, tapi ia tak menghiraukan kilatan yang tersirat di mata indah itu. Ia meletakan salah satu tangannya di bingkai jendela, satu tangannya lagi menyeka wajahnya yang basah. Tapi tiba-tiba bahunya justru berguncnag hebat, isakan terdengar dari tenggorokannya yang tertahan. Ia menangis seperti anak kecil di sana.

Sementara jemari Nadine kembali tergerak, tapi hanya ranjang yang di baringinya yang menjadi saksi. Dewi memasuki ruangan itu, ia menghentikan langkah di ikuti Ratna saat melihat putranya berdiri di jendela seraya menangis dan menyebut nama Alisa, meminta maaf pada wanita itu.

* * *

Alisa berjalan ke ruang tempat semua orang mengunjungi para napi, langkahnya sedikit tertahan ketika melihat siapa yang duduk di sana. Tapi akhirnya ia menghampiri meja itu dan duduk berhadapan di sekat oleh meja. Mata Lucas tak lepas dari wajah Alisa yang kini di tambahi beberapa lebam di beberapa sisi. Hatinya cukup teriris melihat keadaan wanita itu, mata mereka beradu cukup lama.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Lucas,

"Cukup baik!"

"Maaf ya, aku gagal!"

"Tak perlu minta maaf, kamu bahkan sudah melakukan banyak hal untukku. Dan ku rasa...itu sudah setimpal!"

"Alisa.....!"

"Aku harap, ini terakhir kalinya kamu menemuiku Luke!"

"Kamu bahkan masih tak bisa menerima kehadiranku, Alisa. Apakah sedikit saja...., aku benar tak punya tempat di hatimu?" harap Lucas, "Luke....., bukan seperti itu, hanya saja.....," Alisa terdiam, "tidak akan ada gunanya," lanjutnya dengan suara yang tertahan, mengetahui dimana dirinya berada saat ini.

"Aku berterima kasih karena kamu telah membantuku di pengadilan, tapi itu ....kamu tahu, tidak akan mengubah apapun di antara kita!"

"Aku masih berharap kebenaran akan terungkap, meski keadaan Cheryl tidak memungkinkan. Tapi setidaknya.....kamu bisa terbukti tidak bersalah!"

"Kamu tahu tentang Cheryl?"

"Kekasihnya datang padaku, dan ia menyesali vonis yang harus kamu terima. Tapi satu-satunya yang bisa membuktikan bahwa kamu tidak bersalah adalah Cheryl dan Nadine, dan saat ini kondisi mereka tidak bisa menjadi syarat kan. Hanya saja....!"

"Aku sudah menerima semua ini sebagai takdirku, dan aku sudah memaafkan Cheryl atas apa yang di lakukannya!"

"Lalu apa kamu juga sudah memaafkan Ridwan atas apa yang di lakukannya?"

Kali ini Alisa tak mampu menjawab, "mungkin aku nggak punya hak, tapi aku nggak bisa memaafkan tindakannya di pengadilan, yang akhirnya membuat kamu harus menerima vonis seberat ini!"

Alisa sedikit memutar bola matanya, "ya, aku sudah memaafkannya!" desisnya hampir tak terdengar, tetapi matanya sembab dan berair. Mengingat hal itu hatinya kembali perih, "dan....aku mohon, aku ingin menjalani hariku di sini dengan tenang, aku minta padamu dengan sangat....., jangan datang lagi kemari!" mohonnya.

Lucas merasakan dadanya seperti di hujam badai yang sangat dasyat, ia ingin bisa memberi kekuatan dan kasih sayang pada wanita itu, tetapi ia malah sudah terusir sebelum bisa memasuki hatinya. Matanya juga berkaca, tapi tak ia biarkan mengalir. Ia tak mau lemah di depan Alisa.

Sebuah senyum coba Lucas pajang di bibirnya, meski itu sangat perih, "kapanpun kamu butuh sesuatu, kamu harus ingat....tanganku akan selalu terbuka!" ungkap Lucas, Alisa hanya diam memandangnya, "oya, aku bawakan sesuatu untukmu!" katanya melirik box di meja, Alisa juga melirik benda itu.

"Kalau kamu tidak sudi juga tidak apa-apa, kamu boleh membuangnya....tapi jangan di depanku!" tukas Lucas setengah bergurau, Alisa tak bereaksi dan itu membuat Lucas harus menarik dirinya dari kursi.

"Jaga kesehatanmu!" desisnya sekali lagi sebelum ia melangkah meninggalkan lapas. Setelah Lucas menghilang Alisa melirik benda di atas meja itu yang terbungkus bag kain, cukup lama ia diam sebelum memungut benda itu dan masuk kembali karena jam besuknya sudah habis.

Ia masuk ke dalam sel dan duduk bersila, memangku bingkisan yang Lucas berikan. Perlahan ia membuka bag itu, sebuah box makanan, lalu ia membukanya. Tertegun, ia menatap isi dari box itu. Itu adalah menu favoritnya untuk dinner, sebagai balerina ia harus diet ketat. Di dalam box itu berisi sepotong bake salmon, mushroom ball beberapa biji, lalu sayuran yang meliputi brokoli, wortel, dan jagung. Serta sekotak aneka potongan buah. Menatap menu yang terhidang di depan matanya membuat matanya meleleh, dulu ia selalu memesan itu untuk dinner, bahkan saat dinner bersama Lucas meski hanya sekitar tiga kali. Tapi pria itu masih mengingat menu favoritnya, butiran bening jatuh di penutup kotak yang ia pegang di tangannya. Tanpa sadar mulutnya berdesis,

"Lucas!"

Luke, kenapa cuma kamu yang peduli sama aku? Di saat semua orang menghujatku, kamu datang sebagai malaikat. Memberiku semangat, kekuatan, saat semua orang membenciku, kamu percaya padaku, kamu mendukungku. Dan hanya kamu yang memperjuangkan kebebasanku, kenapa harus kamu, kenapa?

Hati kecil Alisa menjerit pedih, Lucas bukanlah orang yang ia inginkan ada di sisinya. Justru ia ingin tak pernah mengenal pria itu lagi, tapi justru pria itulah satu-satunya yang peduli pada dirinya. Dengan airmata berceceran dan tangan gemetar, ia mulai mengangkat sendok dan mencuil bake salmon, lalu menjejalkannya ke mulut mungilnya, mengunyahnya perlahan. Tapi airmatanya malah semakin deras menjebol pertahanannya hingga ia terisak hebat.

Sejak saat itu hampir tiap hari Lucas mengiriminya menu dietnya, terkadang untuk sarapan, terkadang makan siang, kadang juga untuk dinner. Dan selama itu pula Alisa tak pernah menemuinya, Lucas menitipkannya pada penjaga lapas. Entah Alisa mau memakannya atau tidak ia tidak peduli, yang jelas ia tidak akan berhenti lakukan itu.

* * * * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun