Sebelumnya, Part 2
Nicky masih sibuk di ruangannya ketika pintunya di terobos oleh seseorang, ia segera menoleh ke arah wanita yang berhambur menghampirinya. Matanya membelalak lebar dan desahan panjang keluar dari mulutnya, ia mengalihkan pandangannya ketika wanita itu sampai padanya.
"Mau apa kau kesini?" tanyanya datar, Ivana berdiri di samping kursinya, membungkukan badannya dan mendekatkan mulutnya ke telinga Nicky, "menemuimu!" desisnya.
"Aku sedang sibuk!"
Ivana tersenyum mansi, "jangan terlalu kasar, dulu kau sangat lembut padaku. Apa kau tidak merindukan aku?" katanya lembut seraya menyentuhkan tangannya ke pundak Nicky, tetapi Nicky menyingkirkan tangan lentiknya. "hubungan kita sudah berakhir Ivana, bisakah kau tidak mengangguku?" pintanya.
"Aku tak yakin pernikahanmu akan bertahan lama dengan istrimu yang pincang itu, akui saja....kau tidak bahagia dengan pernikahan kalian!" cibir Ivana.
"Kau tidak tahu apa-apa soal rumah tanggaku, jadi jangan sok tahu!"
"Ayolah Nicky, jangan membohongi hatimu. Kau membutuhkan seorang istri yang jauh lebih sempurna, setidaknya....yang bisa kau bawa kemanapun tanpa membuatmu malu!"
Nicky menatap Ivana, menyunggingkan senyum di bibirnya. "Kau tak cukup mengenalku Ivana, daripada membuang waktu lebih baik kau cari pria yang sesuai denganmu!" cibirnya, Ivana menghilangkan senyum di bibirnya. Ia cukup tersinggung dengan perkataan Nicky, tapi jika ia menunjukan rasa itu berarti ia membenarkan ucapan Nicky. Ia bergeser sedikit, "kau tahu, aku melarikan diri ke luar negeri dengan harapan bisa melupakanmu. Tapi aku tak bisa melupakanmu, itu sebabnya aku kembali. Mungkin kau akan membutuhkanku!"
"Aku tidak membutuhkanmu, lebih baik kau pergi sekrang dan jangan temui aku lagi!" usir Nicky, Ivana menatapnya, "kau mengusirku?" tanyanya.
"Ya, dan jika kau tidak mau keluar maka aku akan...!"
"Meminta satpam untuk menyeretku?" potong Ivana, "ancamanmu sudsh tidak asing, Nicky. Kau tak perlu memanggil satpam untuk menyeretku keluar, aku bisa keluar sendiri!" kesalnya.
"Baguslah!"
"Kau memang munafik, tidak apa-apa. Jika kau membutuhkanku kau tahu dimana bisa menemukan aku!" katanya menyentuh pundak Nicky sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan itu.
Begitu Ivana keluar Nicky mengangkat gagang teleponnya, "Mey, bisa ke ruanganku sebentar!" pintanya, lalu ia menaruh telepon itu dengan kesal. Tak berapa lama Mela sudah mengetuk pintu dan masuk, ia menghampiri Nicky. Tetapi sebelum ia bertanya kenapa Nicky memanggilnya dengan nada seperti itu, ia sudah keburu kena semprot duluan.
"Kau darimana saja?" gertaknya, "e....!" belum sempat Mela menjawab Nicky sudah menghardiknya lagi, "kenapa kau membiarkan Ivana masuk ke ruanganku, salah satu tugasmu adalah untuk mengatasi hal seperti itu?"
"Maaf, tadi aku ke ruangan Daren sebentar!"
"Aku tahu kalian akan segera menikah, tapi bukan berarti kalian bisa melalaikan tugas di kantor. Apa kau sudah bosan menjadi sekretarisku?" gertak Nicky, Mela menatapnya seketika, "maaf, bukan begitu!"
"Aku tidak mau tahu, jika Ivana datang lagi kau harus mencegahnya masuk bagaimanapun caranya. Dan kau tidak boleh meninggalkan mejamu jika tidak ada keperluan penting, kau mengerti?"
"Iya!"
"Kau boleh keluar!"
Mela keluar dengan perasaan heran, Nicky tak pernah semarah itu padanya. Apa yang terjadi? Nicky bahkan tak pernah sampai mengancamnya soal posisinya itu sebelumnya, padahal dirinya hanya pergi sekitar 5-10 menit di ruangan Daren. Itu bukan soal pekerjaan bukan soal urusan pribadi mereka, lagipula untuk apa Ivana datang menemui Nicky lagi. Bukankah dia sudah tahu kalau Nicky sudah menikah dengan Liana?
* * *
Liana menyirami taman bunga, tetapi pikirannya melayang ke beberapa jam lalu saat dirinya berbicara dengan Sinta. Â
"Kau tidak boleh terus seperti itu Liana, melupakan masalalu yang buruk itu memang sukit. Tapi kau tidak boleh hidup dalam bayangannya, kau memiliki masa depan dengan Nicky. Itu yang harus kau pikirkan!" bujuk Sinta, "aku sudah mencobanya, Sin. Tapi itu sangat sulit!" sahutnya,
"Aku tahu, tapi kau tidak bisa terus menjaga jarak dengan suamimu sendiri jika kau tak mau kehilangan dia!" bujuk Sinta, Liana menatapnya, "kehilangan dia?"
"Liana, seorang suami yang tidak mendapatkan kepuasan batin dari istrinya sendiri memiliki potensi yang jauh lebih besar untuk mencari hal itu di luar!" goda Sinta, Liana sedikit melotot, "mak-maksudmu apa?" tanyanya. Sinta mendesah panjang, "jika kau tak mencoba membuka diri pada suamimu ada kemungkinan dia akan selingkuh!" jelasnya,
"Apa?"
"Bukannya aku menakutimu, tentunya kau masih mencintai Nicky kan?" Liana terdiam mendengar perkataan Sinta, "sebagai seorang ostri tidak ada salahnya jika kita sedikit afresif pada suami sendiri, ciptakan kehangatan di antara hubungan kalian!" saran Sinta, "tapi....!"
"Heah....kau ini, intinya lupakan masalalumu yang buruk itu dan tapaki saja masa depan yang sudah menunggumu. Kecuali jika kau sudah tidak mencintai Nicky lagi, ya minta cerai saja!" kesal Sinta.
Liana merenungi pwmbicaraan itu, mungkin benar selama ini dirinya yang egois? Ia sendiri yang menciptakan tembok di antara hubungannya dengan Nicky, dan trauma itu ia jadikan alasan. Tapi ia masih tak bisa melupakan apa yang Rey katakan saat itu, kata-kata pria itu masih jelas terngiang di telinganya. Dan itu yang membuatnya takut bersentuhan dengan suaminya sendiri.
Tapi bukankah itu sungguh tidak adil? Jika memang apa yang di katakan Rey itu benar....mana mungkin sekarang ia dan Nicky terikat tali pernikahan? Ataukah benar....Nicky sungguh tidak bisa menolak segala keinginan kakek Willy sehingga pernikahan ini terjadi? Benarkah pria itu menikahinya karena paksaan dari kakek Willy?
Liana menggelengkan kepalanya untuk menampik semua pikiran itu, benar atau tidak Sinta jauh lebih benar. Nicky suaminya sekarang, jika Nicky tidak mencintainya maka itu adalah tugasnya sebagai seorang istri untuk membuat suaminya mencintainya.
Selesai menyirami taman bunga, iapun masuk ke dalam rumah. Sejak kakek Willy meninggal ia sudah tak menyentuh dapur lagi, bahkan semuanya yang menyiapkan para pembantu. Kecuali tadi pagi, ia sudah mulai mengotak-atik dapur. Maka kali inipun ia ingin memasak sendiri untuk makan malam. Tapi apakah Nicky akan langsung pulang setelah jam kerjanya selesai? Belakangan suaminya itu selalu pulang hampir tengah malam, ah....tak usah di pikirkan. Pulang tepat waktu atau tidak, itu tugasnya untuk menyiapkan makan malam.
Selesai memasak Liana pun pergi ke kamar untuk mandi, setelah itu ia menunggu Nicky pulang kerja di ruang santai seraya menonton tv. Tetapi ia tak fokus ke acara tv melainkan ke buku yang sedang di bacanya.
Bi Rahma membawa secangkir teh hangat kepadanya, menaruhnya di meja di hadapannya. "ini tehnya nyonya!" serunya, "terima kasih bi!" sahutnya tanpa mengalihkan matanya.
"Saya senang melihat perubahan nyonya, saya yakin tuan besar Willy juga senang melihat nyonya mulai pulih seperti dulu!"
Liana menutup bukunya, memandang wanita tua itu seraya tersenyum, "terima kasih, kalian sudah begitu perhatian padaku!"
"Jangan berterima kasih nyonya, itu sudah menjadi tugas kami!"
Liana mengembangkan senyumnya, "kalian boleh istirahat dulu!" suruhnya, wanita itu tersenyum dan mengangguk lalu kembali ke belakang.
Liana memungut cangkir tehnya dan menyeruput isinya, baru sajaia meletakan cangkir tehnya kembali ke meja dan hendak membuka bukunya lagi suara mobil Nicky terdengar memasuki halaman rumah. Iapun menaruh bukunya lalu segera berjalan cepat ke depan.
Liana muncul ketika Nicky memasuki pintu depan, sebuah senyuman manis terpapar di wajahnya. "kau sudah pulang?" girangnya, Nicky hanya diam memandangnya heran, Liana menghampirinya dan memungut tas di tangannya, lalu berjalan pelan ke arah ruang kerja. Nicky mengikuti dari belakang, ia masih bertanya dalam hati. Benarkah itu Liana, benarkah dia sudah kembali? Sejak tadi pagi wanita itu memang menampakan sebuah peubahan yang baik, jika ini benar....semoga saja bisa membawa perubahan juga untuk hubungan mereka.
Liana memasuki ruang kerja untuk menaruh tas Nicky, sementara Nicky berjalan menuju kamar untuk mandi. Setelah itu Liana menunggu Nicky selesai mandi di meja makan, sebuah langkah kaki pelan membuatnya menoleh, ia kembali melebarkan senyum. Mencoba membangkitkan suasana yang serasa mati selama ini di antara mereka. Nicky memandang istrinya yang sedang mengambilkan makan untuknya, apa yang terjadi? Apakah Sinta menyihirnya sehingga membuat istrinya itu berubah hanya dalam hitungan jam? Jadi dirinya tidak salah memilih pulang tepat waktu dan menolak kehadiran Ivana kembali dalam hidupnya.
Saat menyantap makan malam, Nicky tahu itu masakan istrinya. Meski sudah lama tidak merasakan tetapi ia masih ingat rasa masakan wanita itu. Makan malam memang cukup tenang, Liana juga tidak tahu harus membawa topik apa untuk sebuah percakapan.
Seperti biasa selesai makan malam, Nicky masih memasuki ruang kerjanya. Tadi ada beberapa telepon yang terpaksa ia tolak karena ia ingin menikmati makan malamnya kali ini, sementara Liana setelah membuat kopi untuk Nicky ia memutuskan untuk langsung ke kamar saja. Tapi tak bisa memejamkan mata, membolak-balik tubuhnya berulang-ulang. Sesekali ia akan melirik jam di dinding, dan Nicky tak kunjung memasuki kamar itu. Hingga jarum pendek menunjukan angka sebelas, pria itu tak jua membuka pintu kamar mereka. Akhirnya Liana mulai mengantuk, baru satu detik ia memejamkan mata ia harus segera membukanya kembali karena terkejut oleh suara klik dari pintu saat Nicky memasuki kamar. Seketika Liana bangun terduduk, menatap suaminya dengan mata sedikit sayu.
Nicky membalas tatapan itu, "kau belum tidur?" tanyanya, "tadi aku tak bisa tidur, tapi....sebenarnya aku hendak terlelap saat kau muncul mengejutkanku!"
"Mengejutkanmu?"
"E....," Liana tak mampu menjawab, sahutan Nicky seolah sebuah ungkapan kecewa. Ia teringat kejadian semalam saat dirinya menjerit ketika Nicky menyentuh pipinya, Nicky pasti berfikir dirinya terkejut dengan kedatangannya karena masih takut akan hal yang sama. Sesungguhnya ia terkejut karena hendak menutup mata dan orang yang di tunggunya baru muncul.
Nicky berjalan ke ranjang, ia menaiki ranjang dari sisi lain dan langsung membaringkan tubuhnya seperti biasa. Liana meliriknya, tangannya memainkan selimut di pangkuannya. Jantungnya mulai berdegup tak karuan, apa yang harus di lakukannya sekarang? Sinta bilang tak ada salahnya seorang istri bersikap sedikit agresif terhadap suaminya sendiri, tapi itu bukan dirinya sama sekali. Mana mungkin?
Nicky melirik, "kau tak mau tidur, ini sudah tengah malam!" tanyanya, "e...aku...aku....!" Liana masih gugup, lidahnya terasa begitu kelu. Mana mungkin ia akan bilang kalau dirinya sengaja menunggunya, padahal selama ini jika suaminya memasuki kamar ia harus pura-pura sudah terlelap. Kecuali kalau dirinya memang sudah di buai mimpi. "besok aku ada meeting pagi sekali, bisakah kau bangunkan aku lebih awal?" pinta Nicky.
"I-iya!" Liana menoleh padanya, Nicky memiringkan tubuhnya. Memunggunginya, Liana ikut berbaring tetapi kali ini ia tak memunggungi suaminya justru menghadap padanya. Menatap punggungnya yang bergerak halus oleh hembusan nafasnya yang hangat. Dia terlihat lelah sekali, sehingga dalam sekejap sudah berada di bawah alam sadarnya. Aroma khas sabun yang Nicky gunakan untuk mandi tadi masih terasa segar, Liana merangkakan tangannya perlahan ke arah tubuh suaminya. Tapi ia berhenti setelah hanya tinggal sejengkal saja, lama ia termangu sebelum akhirnya menarik tangannya kembali. Ia menghela nafas dan menghembuskannya kembali, menatap punggung suaminya hingga matanya terpejam.
* * * * *
• S.S.P.B ~ The Wedding ( second novel )
Mohon maaf lahir batin buat semua sahabat K, maaf juga baru bisa ngelanjutin artikel-artikel yang tertunda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H