Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Price of Blood #Part 27

20 Mei 2015   00:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 27


Wajah Sarah terlihat begitu bercahaya, melemparkan senyum indah padanya. Danny mencoba memanggil namanya, meraihnya, tapi ia tak merasakan apapun. Lidahnya terasa begitu kelu, dan sekujur tubuhnya, terasa berat. Secara perlahan Sarah mendekat padanya, membelai wajahnya, tapi dia tak mengucap apapun selain memberikannya senyuman manis yang indah.

Suasana ruangan itu masih begitu hening, sekali lagi Danny menggerakan jemarinya. Bola matanya pun terlihat kembali bergerak tapi kantung matanya masih terkatup rapat. Sebuah nama kembali ia desahkan.

"Sarah!"

Lirih dan lemah.

Bibirnya kembali bergerak mengucap nama itu tapi tak terdengar suara. Karen menatapnya dari kaca di pintu ruangan itu, ia tak mampu memejamkan mata dalam keadaan seperti ini. Ini memang bukan pertama kalinya ia harus menghadapi Danny dalam keadaan seperti itu, tapi entah kenapa kali ini ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatnya lebih takut, takut benar-benar kehilangan pria itu. Padahal ia baru saja mendapatkan apa yang di impikannya selama ini, yaitu cinta Danny. Cinta yang selama ia pikir hanya bertepuk sebelah tangan, karena Danny sendiri yang pernah berkata bahwa dia sudah mencobanya, mencoba mencintai dirinya tapi tetap tak bisa.

Karen berjalan meninggalkan ruangan itu, kembali ke ruangan di mana Sammy dan Sharon berada. Ia duduk di sofa di samping Sharon. Memaksakan diri untuk menutup matanya.

Sementara Danny kembali menggerakan jemarinya, kali ini bahkan kedua tangannya. Matanya membuka perlahan, menatap langit-langit yang berwarna putih. Perlahan secara samar akhirnya matanya membuka sempurna, ia memutarkan bola matanya itu ke seisi ruangan. Tak ada siapapun di sana, bahkan wajah istrinya. Padahal ia berharap wajah itu ada di sisinya saat ia membuka mata, bayangan Sarah yang tersenyum padanya masih nampak nyata di matanya. Apakah tadi ia bermimpi, atau itu memang Sarah? Ia melepas selang di lubang hidungnya lalu perlahan bangkit. Tubuhnya masih agak kaku untuk bergerak. Setelah ia bisa duduk iapun mencabut jarum infus yang menancap di punggung telapak tangannya padahal tubuhnya masih lemas. Ia tahu dirinya berada di rumah sakit, dan bagaimanakah keadaan kedua anaknya? Ia harus tahu, maka iapun meluncur turun dari ranjang. Berjalan pelan menuju pintu, ketika pintu terbuka dua pria berseragam loreng langsung menoleh dan menghampirinya.

"Pak, anda sudah siuman. Syukurlah!" seru salah satunya. Danny menatap mereka, "siapa kalian?" tanyanya karena di rasa ia belum pernah bertemu, seingatnya! "Jendral Jonan memerintahkan kami untuk menjaga anda selama anda masih di sini!" jawabnya.
"Jonan!" desis Danny lirih seraya melanjutkan langkahnya, tapi kedua orang itu menahannya. "maaf pak, anda mau kemana?"

"Aku harus melihat anak-anakku!"
"Mereka baik-baik saja, anda baru saja sadar jadi sebaiknya anda kembali ke ruangan!" seru yang satunya.
"Tapi aku harus melihat mereka!" paksanya.
"Kau panggil dokter sekarang!" suruh yang berkulit putih pada temannya sementara dirinya membujuk Danny agar mau kembali ke ruangannya.
"Anda masih lemah, anda kembali ke dalam dulu. Biar nanti dokter yang memastikan keadaan anda!" pintanya.

Danny terdiam sejenak, mungkin itu benar. Bukankah dirinya menghirup gas beracun itu di dalam ruangan berkaca, akan lebih baik jika dokter memastikan kondisinya dulu sebelum ia menemui anaknya.

Dokter yang berjaga malam itu segera memeriksa keadaan Danny, Frans dan Karen segera mendatangi ruangannya setelah tahu Danny sudah sadar. "ini keajaiban, pasien pulih lebih cepat dari perkiraan kami. Bahkan kondisi tubuhnya sudah mulai membaik!" seru dokter. Frans dan Karen bernafas lega mendengar hal itu, setelah dokter berlalu keduanya menemui Danny yang duduk bersandar di ranjang. Dia memang terlihat sudah membaik meski masih sedikit pucat.

"Hai kawan, bagaimana keadaanmu?" tanya Frans, "kau di sini!" sahut Danny. "hei, itu tidak sopan. Harusnya kau merasa beruntung aku masih peduli padamu, ucapkan terima kasih atau apa?" kesal Frans. Danny mengeluarkan tawa ringan, "bukan kau yang datang menyelamatkanku untuk apa aku berterima kasih padamu!" balasnya,
"Kau memang brengsek dan tidak tahu terima kasih!" cibir Frans,

Danny memutar pandangannya ke arah Karen yang hanya terdiam menatapnya. Ada sesuatu yang ia baca dari mata wanita itu. "hai!" sapanya.
"H-hai!" sahut Karen.
"Kau di sini juga?"
"Putraku ada di sini, bagaimana aku tidak ke sini?" sahutnya.
"Bagaimana mereka?"
"Mereka baik-baik saja, meski Sharon sempat sangat terguncang dengan kondisimu!"

Ada kediaman dalam ruangan itu, keduanya saling pandang dengan tatapan yang tak biasa. Frans melirik mereka bergantian, lalu ia mendesah dan berseru, "ku rasa....aku membutuhkan kopi panas di luar!" ia menyentuh lengan Danny, menepuknya pelan dan berlalu.

Setelah Frans menghilang keduanya masih di selimuti keheningan, hanya mata mereka yang saling bercengkrama. Danny bisa melihat ada ketakutan di mata wanita itu yang mulai berkaca-kaca.

"Apakah sebelumnya kondisiku seburuk itu?" tanya Danny. Karen menghela nafas dalam sebelum menjawab, "kau membuat kami semua ketakutan, apa kau tidak bisa sekali saja tidak membahayakan nyawamu?" kesalnya.
"Apa kau juga takut jika aku akan mati?"
Karen sedikit tertegun, itu benar tapi ia tak ingin Danny tahu meski ia tahu ia tak mampu menyembunyikan hal itu. "Sharon masih sangat membutuhkanmu, harusnya itu yang kau pikirkan!" dalihnya. "apa kekhawatiranmu hanya karena Sharon?" pancing Danny.

Karen tak langsung menjawab, ia sedikit menjauhkan matanya dari Danny. "apa yang harus aku takutkan lagi, selama ini aku mampu bertahan seorang diri bersama Sammy!" serunya. Danny memandangnya semakin dalam.

"Kau benar, seharusnya aku tak melemparkan pertanyaan bodoh seperti itu!" meski Danny berkata seperti itu tapi ia tahu kalau Danny pasti tetap bisa membaca sikapnya. Maka iapun mencari alasan lain untuk menghindari percakapan itu.

"Aku harus kembali ke ruangan Sammy, kau juga masih butuh istirahat bukan!" katanya seraya berdiri dan membalikan tubuhnya. "apakah dokter belum mengijinkanku menemui mereka?" tanya Danny. Karen menghentikan langkah, menoleh padanya.
"Aku ingin sekali melihat mereka!" pintanya.

*****

Danny memandang Sharon yang tertidur lelap di sofa, gadis itu tampak begitu lelah. Ia membelai rambutnya dengan lembut, "maafkan papa, sayang!" desisnya, iapun mendaratkan sebuah kecupan di kening Sharon sebelum berpindah ke ranjang untuk melihat Sammy.

Lama Danny hanya terdiam menatap anak lelaki yang tidak lain adalah darahnya sendiri, ia hanya tak menyangka kalau selama ini ternyata dirinya memiliki seorang putra yang begitu mirip dengannya. Dan itu ia dapatkan dari Karen, wanita yang pernah menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Dan selama itu pula ia meyakini bahwa ia tidak pernah mencintai wanita itu meski ia tahu betapa besar cinta yang wanita itu miliki untuknya sehingga namanya pun di berikan untuk putra yang di lahirkannya. Putra yang tak pernah ia tahu kehadirannya, bahkan Karen tak pernah menikah meski ia menyadari perannya sebagai orangtua tunggal dan putranya tetap membutuhkan nama seseorang sebagai ayahnya. Karen bahkan tetap mencantumkan namanya sebagai ayah kandung Sammy di akta kelahiran anak itu.

Karen menatap Danny yang membelai rambut Sammy, ia tahu Danny adalah seorang ayah yang baik. Itu sudah terbukti bagaimana dia bisa mendidik Sharon selama ini, bahkan sepeninggal istrinya. Seandainya saja Danny tahu tentang Sammy dari dulu, mungkin.....

Karen segera menepis pikiran itu dengan menggelengkan kepala. Itu sangat egois, dan ia tak mau seperti itu. Bukan sepenuhnya salah Sarah dan Danny jika ia tak bisa bersama pria itu, tapi itu juga merupakan salah papanya. Ia senang karena Danny tak membencinya setelah tahu apa yang telah papanya lakukan terhadap ayah Danny dan juga Danny sendiri selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan saat itu. Berbagai macam cara di lakukan agar Danny bisa terbunuh secara bersih tanpa harus mengotori tangannya sendiri, tapi takdir berbicara lain. Danny selalu berhasil survive sehingga pada akhirnya justru mampu membongkar kebusukan papanya di balik jabatan yang di sandangnya selama ini. Ia hanya tak pernah berfikir akan di pertemukan kembali dalam keadaan seperti ini, mungkin itu sebabnya Tuhan memanggil Sarah lebih dulu agar dia tak tersakiti oleh keadaan ini jika saja masih hidup. Tapi apakah benar, Tuhan mengirimkan Sammy padanya agar dirinya bisa mendapatkan cinta Danny yang selama ini ia inginkan? Sebutir airmata menggelinding di pipinya. Danny menatapnya dari samping ranjang Sammy, perlahan ia melangkah ke arah Karen.

Wanita itu tidak sadar kalau Danny sudah berdiri di hadapannya, ia tersentak saat tangan pria itu menyentuh pipinya untuk menyeka cairan hangat yang membasahi pipinya. Tapi ia segera diam kembali ketika menemukan mata Danny di hadapannya. Membiarkan pria itu melanjutkan apa yang di lakukannya.

"Tak perlu takut, semua akan baik-baik saja!" desis Danny.
"Aku pikir......, kami akan kehilanganmu!"
"Itu tidak akan terjadi!" janjinya.

Buliran bening kembali meluncur, Karen segera merebahkan dirinya ke dada pria itu dan Danny pun menyambutnya. Memeluknya erat, merasakan cintanya yang masih sama besar seperti dulu. Ia merasakan sakit di dadanya, bagaimana bisa selama ini Karen bertahan dengan cinta yang di pendamnya selama belasan tahun. Cinta yang murni, yang tak pernah di baginya kepada pria lain. Danny mempererat dekapannya, seolah tak ingin melepasnya lagi untuk kesekian lainya.

*****

Danny masih terlelap ketika seseorang menubruk tubuhnya, ia membuka mata seketika. Dan tubuh Sharon sedang mendekapnya erat dengan linangan airmata.

"Hai pumpkin!" sapanya.
"Papa jahat, papa sudah sadar tapi kenapa tak bangunkan aku?" kesalnya, Danny membelai rambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi, "maafkan papa, bagaimana keadaanmu?"

Sharon melepas pelukannya, "buruk!" sahutnya, "papa membuatku takut setengah mati, aku pikir.....aku akan kehilangan papa!" tangisnya.
"Papa baik-baik saja, lihatlah!" Danny menyeka airmata yang membanjiri pipi putrinya, "putri papa kan gadis yang tangguh, jadi jangan menangis. Kalau cengeng bagaimana bisa mengendarai pesawat tempur!" cibirnya.

Sharon memukul perut Danny lembut, "auw!" rintih Danny dalam tawanya, lalu ia kembali memeluk putrinya. Dari punggung Sharon ia bisa melihat Sammy, iapun melepaskan pelukannya terhadap putrinya lalu bangkit duduk.

"Hai!" sapanya,
"Hai!" sahut Sammy, ia berjalan mendekat sementara Sharon sedikit menepikan dirinya sendiri untuk memberi ruang pada kakaknya. "terima kasih sudah menjaga adikmu?"

Sammy terdiam sejenak, semalam ia sempat ngobrol dengan Sharon tentang apa saja yang terjadi selama dirinya tidak sadarkan diri. "ucapkan saja terima kasih pada almarhum temanmu, dia yang menjaga Sharon dengan baik, jika tidak.....!"
"Saat itu kamu sedang dalam pengaruh buruk, jadi tidak usah di pikirkan lagi. Lagipula sekarang semua sudah membaik kan!" potong Sharon. Sammy menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya.

Kondisi Danny memang sudah membaik, tapi tetap saja ia masih membutuhkan waktu dua hari di rumah sakit sebelum kembali ke Jakarta untuk memastikan dirinya sudah tidak apa-apa. Mereka menumpangi jet kusus untuk kembali ke Jakarta, selama dalam penerbangan Danny dan Karen beberapa kali saling mencuri pandang layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Dua anak remaja yang duduk di samping orangtuanya masing-masing itu juga menyadari hal itu. Keduanya tersenyum bahagia menyaksikannya, sepertinya mereka akan menjadi keluarga yang utuh.

Begitu mendarat mereka segera mencari taksi, tapi begitu hendak naik taksi tiba-tiba Danny merasa kepalanya sakit. Ia memegang kepalanya dengan kedua tangannya, awalnya sakit biasa tapi perlahan berubah seperti di hujami ribuan pisau. Ia mengerang kesakitan seraya jatuh berlutut memegangi kepalanya membuat semua orang panik.

"Papa!" desis Sharon,
"Danny!" seru Karen,
"Dad!" itu suara Sammy,
"Papa, papa kenapa?" panik Sharon, "papa!" Danny masih meraung memegangi kepalanya sementara ketiga orang itu menyerukan panggilan masing-masing untuk dirinya dengan panik dan cemas.

*****

•A Danny Hatta Novel Trilogi ;

# Price of Blood (the last novel)

# Terima kasih untuk Admin dan sahabat K yang sudah menyimak Danny Hatta sampai sejauh ini, ikuti terus 3 episode terakhirnya ya kalau mau tahu apa yang terjadi pada Danny akhirnya. Terima kasih! Salam Fiksi.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun