Part 26
Prosesi evakuasi berjalan lancar, setelah mendengar kabar Karen langsung terbang ke Aceh bersama Frans. Setibanya di rumah sakit ia melihat Sharon duduk di depan ICU menunggui kakaknya yang masih dalam penanganan dokter. Gadis remaja itu terlihat sangat kacau,
"Sharon!" desisnya,
Sharon mengangkat wajahnya perlahan, menatap wanita itu. Seketika airmatanya kembali mengalir, Karen pun segera meraihnya ke dalam pelukannya, menyatukan airmata mereka. Untuk beberapa saat Sharon hanya bisa menangis tanpa mengucap apapun.
Karen berbicara dengan dokter setelah dokter keluar dari ruangan ICU, ia bisa bernafas lega karena rupanya Sammy tak mengalami trauma serius di kepalanya. Bahkan kondisinya pun akan segera pulih, tapi masih belum ada perkembangan dari kondisi Danny sendiri.
Para dokter ahli sedang mencoba untuk membersihkan darahnya dari zat beracun yang di hirupnya, ia beruntung karena mampu bertahan dengan jumlah racun yang cukup tinggi tapi dokter sendiri masih belum tahu sejauh mana dia akan bisa bertahan.
Serum penawar yang bercampur di dalam darah Ferian sudah di ambil dan di teliti di lab, bahkan serumnya sedang berusaha di kembangkan sebagai obat penawarnya. Beberapa prajurit yang mengevakuasi Danny saat itu tetap terkontaminasi, meski dalam jumlah yang kecil tapi zat beracun itu tetaplah berbahaya. Sementara Ferian dan Anton kini di tahan, terutama Ferian. Dia bahkan terjerat pasal berlapis dan kasusnya akan langsung di tangani oleh kepolisian pusat.
"Belum ada perkembangan dari kondisi Danny, dia terlalu banyak menghirup gas beracun itu!" seru Frans saat berbicara dengan Menteri Pertahanan melalui telepon, "seharusnya kita tidak membiarkannya pergi sendiri saat itu!"
"Pak, meskipun saat itu kita melarangnya dia tetap akan pergi. Aku berharap......, dia masih bisa bersama kita!" ada nada keputus asaan dari kalimat Frans. Selama ini ia selalu percaya sahabatnya akan selalu mendapatkan uluran tangan Tuhan, tapi kali ini entah kenapa.....ada perasaan tidak enak soal kondisi Danny.
"Mungkin akan lebih baik jika dia di pindahkan kemari saja!"
"Untuk itu kita harus menunggu!"
Sementara Sharon berbicara melalui telepon dengan Alicya, "kami masih belum tahu!" tangisnya, "Sharon....., andai aku bisa ke sana sekarang!" beberapa tahun terakhir hubungan mereka memang cukup dekat. Danny sering menitipkan Sharon pada Alicya jika sedang dalam tugas jauh, meski gadis itu tidak mau tinggal di rumah Alicya. Alicya jadi ingat pembicaraannya dengan Danny tempo hari saat Danny mendatanginya di kantor, jadi itukah arti firasat Danny selama ini? Dan itu benar-benar akan menjadi nyata?
"Tante, aku nggak mau papa pergi!"
"Sharon, jangan khawatir. Kau tahu papamu kan, dia pasti akan baik-baik saja!" Alicya mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri juga cukup shok. Tapi gadis 12 tahun itu malah semakin terisak, membuat telinga Alicya tak kuasa menahannya. Frans berjalan ke arahnya, ia duduk di samping Sharon. Memeluknya dan memungut hp di tangan gadis itu, ia meletakan benda itu di telinganya.
"Alicya!" desisnya,
"Frans, bagaimana?"
"Kami masih menunggu!"
"Ya Tuhan....., seburuk itukah?"
*****
Karen menghampiri Sammy yang sudah sadarkan diri, anak lelaki itu berpelukan dengan sang Ibu. "Mom, how about Sharon?" tanyanya.
"Dia baik-baik saja, hanya.....dia masih sangat shok!"
"And Dad?"
Karen terdiam, menatap putranya. Sammy tahu ada yang tidak beres, "Mom, what happened?" desisnya mulai cemas. Karen mencoba tersenyum, "kau pulihkan kondisimu dulu ya, semua akan baik-baik saja!"
"Don't lie to me!" pintanya, "Mom, please!" Karen meneteskan airmata, "kami masih belum tahu kondisinya sekarang, Danny menghirup gas beracun dari kebocoran tabung itu dalam jumlah yang tinggi!"
"No!" desis Sammy.
Ia mencoba mengingat apasaja yang terjadi, tapi ada beberapa bagian yang dia tak ingat. Setelah ia pingsan akibat suntikan yang di berikan anak buah Ferian, lalu saat ia sadar ia melihat Sharon hampir tertembak sampai mereka berusaha keluar dari tempat itu dan harus berakhir dengan kepalanya yang kembali seperti di hantam palu. Setelah itu ia tak ingat apapun lagi kecuali bangun di ruangan itu melihat ibunya di sampingnya.
Sammy melepas infus di telapak tangannya dan meluncur dari ranjang, "sammy, kau mau kemana?" panik Karen, "aku harus melihat Sharon!" sahutnya. "tapi kondisimu masih lemah!" larang Karen. Sammy tak peduli akan hal itu, "Mom!" desisnya menatap ibunya. Dan Karen mengerti tatapan itu, sama seperti saat dulu Danny bersikeras menemui Sarah meski keadaannya masih kritis. Ia pun menuntun putranya keluar dari ruangan menuju ruangan Danny berada, Sharon duduk di kursi tunggu bersama Frans.
Sammy duduk di sampingnya, menatap gadis itu. Perlahan Sharon mengangkat wajahnya, membalas tatapan sang kakak. Lalu keduanya berpelukan, Sammy mencoba bersikap tenang untuk memberikan kekuatan pada adiknya padahal ia sendiripun merasakan hal yang sama. Takut kehilangan ayah yang baru saja ia temui, yang baru saja bisa di panggilnya Daddy.
Dokter akhirnya keluar dari ruangan itu, membuka maskernya. Semuanya langsung berdiri, "dokter, bagaimana?" tanya Frans mewakili semuanya. "saat ini kami berhasil membersihkan racun dari dalam darahnya dengan serum yang telah kita dapatkan, tapi masih perlu beberapa proses lagi untuk membersihkan beberapa organ yang juga terkontaminasi, terutama paru-paru dan otaknya!"
"Tapi dia bisa selamat kan dok?"
"Kami masih belum bisa memastikan hal itu!"
"Apa kami boleh menemuinya?"
"Untuk saat ini pasien belum boleh di temui sampai benar-benar bersih, tapi secara mental....tidak ada yang perlu di khawatirkan. Dia memiliki keinginan kuat untuk tetap hidup!"
Ada sedikit kelegaan setelah mendengar kalimat terakhir dokter, meski itu belum menjamin apakah Danny akan selamat atau tidak. Sharon berjalan perlahan ke pintu, mengintip dari kaca di sana. Sebutir airmata kembali menggelinding.
Papa harus hidup, papa sudah janji padaku tidak akan meninggalkan aku sendirian. Papa harus hidup untuk janji itu! Harus.
*****
Karena ruangan Danny tak boleh di kunjungi maka Sharon ikut menunggui Sammy di ruangannya. Ia tertidur di sofa setelah Karen membelai rambutnya di pangkuannya. Sudah lama sekali sejak Sarah meninggal ia tidak pernah mendapatkan belaian seperti itu dari sosok seorang ibu yang bisa membuatnya tenang ketika ia membutuhkan. Karen juga menyayangi gadis itu sejak mereka terlibat perbincangan di rumahnya sembari menyiapkan makan malam. Ia benar-benar bisa melihat sosok Sarah dalam diri gadis remaja itu, pantas saja Danny bisa jatuh cinta pada Sarah hanya dalam hitungan hari. Bahkan mungkin hitungan menit setelah mereka bertemu. Gadis remaja itu bahkan mampu melayani ayahnya layaknya gadis dewasa, seperti memasak dan menyiapkan pakaian untuk sang ayah. Dan Danny terlihat mampu menjadi ayah yang baik selama ini, bahkan setelah Sarah meninggal ia tetap bisa membagi perannya sebagai seorang single parent. Karen merasa sangat iri terhadap Sarah, karena Sarah yang menjadi istri pria itu bukan dirinya. Meski begitu ia tetap bersyukur karena Tuhan menghadirkan Sammy dalam hidupnya yang bagaikan jelmaan Danny.
Karen menyelimuti tubuh Sharon kemudian menghampiri putranya, "ini sudah larut, sebaiknya kau juga tidur!" suruhnya, "kau harus memulihkan kondisimu!"
Sammy melirik Sharon yang terlihat sangat lelah, "apakah dia akan hidup?" desisnya, Karen tahu siapa yang dimaksudkan putranya. "kita berdoa semoga dia baik-baik saja!" sahutnya. "bagaimana jika tidak, apa yang akan terjadi pada Sharon?"
"Kita tidak boleh putus asa, dia selalu bisa lolos dari maut. Terakhir aku melihatnya......, dia berhasil hidup setelah menerima beberapa peluru dan bahkan mendapat tusukan yang cukup dalam di perutnya. Mungkin jika orang lain saat itu....sudah tidak tertolong!"
"Aku baru bertemu dengannya, aku.....ingin bisa bersamanya lebih lama. Mungkin.....bisa memanggilnya ayah secara utuh!"
Karen menatap putranya, ia tahu maksud anak itu. Ia jadi ingat pesan yang Danny tinggalkan sebelum pergi ke kota ini, Danny meminangnya. Memintanya menjadi ibu dari anak-anaknya secara sah, dan apakah pinangan itu masih berlaku sekarang? Ia melirik Sharon yang terlelap. Sharon adalah adik Sammy, saudara sedarah. Meskipun akhirnya Danny harus pergi dan mereka tak sempat menjadi keluarga yang utuh tapi ia tak keberatan untuk menjaga Sharon seumur hidupnya, seperti ia menjaga Sammy selama ini. Sebutir airmata menggelinding melewati pipinya, tapi ia ingin.....ia ingin bisa menjadi istri Danny sesungguhnya. Karena cinta yang ia miliki untuk pria itu tak pernah berkurang, justru kini semakin dalam.
Danny menggerakan jemarinya di dalam ruangannya, tak ada siapapun di sana. Bola matanya terlihat bergerak dalam pejam, mulutnya mendesiskan sebuah nama. Pelan dan lemah.
"Sarah!"
A Danny Hatta Novel Trilogi ;
# Price of Blood (the last novel)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H