Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Price of Blood #Part 20

16 April 2015   09:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Part 20


"Oh....shit!" maki Budi.

Ia menoleh Danny sejenak lalu kembali menatap kotak berisi beberapa senjata lengkap di bagasi mobil itu, "apakah kita akan perang?"

"Mungkin!" sahut Danny, "yang jelas aku memelurkan beberapa di antara mereka!" Danny memungut sebuah senjata api lalu menyelipkannya di salah satu sepatunya, ia juga memungut dua yang lainnya dan menyelipkannya di pinggang. Tak lupa beberapa amunisi juga ia kantongi, sementara Budi hanya memungut dua yang menurutnya pantas untuk dirinya.

"Di sini apa tugasku?"
"Menemaniku, apalagi?" Danny menutup bagasi lalu keduanya menutupi badan mobil itu dengan dedauan dan ranting pohon yang mereka pangkas.

Sammy dan Sharon berjalan di giring oleh beberapa orang, tangan mereka amsih terikat kencang di belakang dan kepala mereka di tutupi dengan kain hingga mereka tak bisa melihat kemana orang-orang itu membawa mereka. Saat mereka tiba di suatu ruangan, penutup kepala mereka di buka. Lega rasanya bisa kembali bernafas dengan leluasa, keduanya memutarkan bola matanya ke seisi ruangan. Seseorang mendorong mereka lalu keluar dan menutup pintunya, menguncinya dari luar. Meninggalkan keduanya di sana.

"Dimana kita?" desis Sharon.
"I don't know!"

Sammy melangkahkan kakinya beberapa langkah seraya mengamati setiap sisi ruangan itu, sama sekali tak ada celah yang berlubang kecuali ventilasi kecil yang cukup tinggi untuk udara. Sharon merapat ke tembok lalu mendudukan dirinya di sana.

"Menurutmu papa akan menemukan kita di sini?"
"He shall found us!"
Anton menemui Ferian di ruangan pribadinya.

"Sebenarnya untuk apa kau menginginkan anak-anak itu hidup?" seru Anton, "aku memerlukan mereka untuk bisa mendapatkan Danny Hatta!"
"Kita bisa langsung saja menghabisinya!"
"Tidak, aku punya urusan yang belum selesai dengannya. Dan aku akan segera menyelesaikan itu, apa kau sudah menghubungi para calon pembeli?"
"Mereka akan datang besok!" sahut Anton meneguk minuman yang tadi di sodorkan temannya, "dengar, aku tidak peduli dengan urusan masalalu kalian. Yang jelas, aku tidak mau hal itu menghalangi tujuan kita!"
"Jangan khawatirkan itu, aku mau bertemu mereka!" seru Ferian membuka pintu lalu menghilang di baliknya.

*****

"Danny mematikan handphonenya!" seru Frans seraya menaruh telepon ke tempatnya, Karen memandangnya dengan kesal, "tapi kata Jendreal Jonan, dia datang sendiri ke sana!" tambahnya.

"Kemana?"
"Ke tempat dimana ada kemungkinan Sharon berada, tapi Jendral Jonan sudah menyiapkan beberapa anggotanya untuk siaga. Mungkin Danny akan menghubunginya untuk minta bantuan jika waktunya sudah tepat!"

"Dan kita hanya berdiam diri di sini?" kesal Karen seraya bangkit dari kursinya, "kekhawatiranmu berlebihan Karen, cobalah untuk sedikit tenang!" bujuk Vincent, "kau sudah gila jika kau pikie aku bisa bersikap tenang!" balasnya.

"Kita sedang melakukan menyidikan tentang siapa saja yang terlibat, mungkin saja saudara Anton terlibat. Dan mungkin juga dia bisa memberitahu kita apa yang sebenarnya ada di sana!" seru Frans. "kita juga sedang mengembangkan serum penawar untuk racun itu, semoga itu akan berhasil!"

Karen memandang Frans penuh arti, "kenapa kau bicara seperti itu, apa menurutmu.....ada kemungkinan anak-anak bisa mengalami apa yang di alami MayJend Rizky?"
"Hanya untuk berjaga-jaga!"
"Oh Tuhan!" desis Karen memegang kepalanya, mendadak ia jadi merasa sedikit pusing. Bagaimana kalau itu benar terjadi? Ia kembali duduk di kursi dengan lemas.

Danny dan Budi mengendap di antara semak-semak, ada beberapa orang yang berada beberapa meter di depan mereka. Ada juga sebuah menara tempat mereka berjaga, di atasnya juga ada seseorang yang selalu siaga.

"Aku akan kesana, kau tahu tugasmu!" serunya pada Budi, pria itu mengangguk. Danny mulai melangkah perlahan sementara Budi bersiaga dengan senjatanya untuk melindungi Danny. Dua orang yang sedang berjaga di sana dengan senjata lengkap di tubuhnya sedang sedikit bersantai sambil mengisap rokok. Meski matanya tetap menyisir ke sekitarnya, Danny bersembunyi di balik semak tak jauh dari salah satunya.

"Sial!" maki salah satunya, "kenapa kau?" tanya temannya, "biasa, apakah kita akan selalu buang air di semak-semak? Sebenarnya perutku juga sedikit melilit!" serunya membuang puntung rokok itu dan menginjaknya, temannya hanya tersenyum mencibir. Sementara orang itu melangkah sedikit menjauh untuk buang air kecil. Ia menepikan senjatanya ke punggung dan menghadap semak yang tinggi, mulai membuka resleting celananya. Danny melangkah super hati-hati, sedikit memutar. Orang itu seperti mendengar ada pergerakan, ia terdiam sejenak tapi setelah itu ia menepikan kecurigaannya, yang penting ia mau melegakan perutnya dulu. Danny berdiri di belakangnya, orang itu kembali merapatkan resleting celananya seraya berbalik tapi seketika ia diam terpaku. Danny meninju wajah orang itu sebelum orang itu bereaksi hingga terpental, ia juga tak membuang waktu. Segera saja ia memungut kepala orang itu dan mematahkan lehernya sebelum orang itu sempat melawan. Ia pun melempar orang itu dari tangannya begitu saja, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.

Ia pun segera melangkah menuju menara, sementara salah satu penjaga itu mulai resah karena temannya tak kunjung kembali.

"Kenapa dia lama sekali?" keluhnya, Danny mendekatinya seraca perlahan. Orang itu celingukan seraya menggaruk lehernya, sedikit berjalan untuk memantau. Ia melihat pergerakan di antara semak belukar, ia terdiam sejenak lalu mendekatinya dengan mengangkat senjatanya. Matanya melirik kanan-kiri secara hati-hati. Tapi Danny sudah berada di bawah menara sementara orang itu menjauh ke semak, Danny menaiki menara itu. Sementara Budi merasa tak tahan hanya memantau iapun berjalan mendekat ke arah orang yang sedang berjalan ke semak itu. Ia tak mengendap-endap seperti Danny tapi langsung saja berjalan cepat hingga menimbulkan suara bergesekan sesama semak yang tinggi. Orang bersenjata itu merasakan pergerakannya, ia pun melontarkan tembakan ke arah suara. Seketika hal itu membuat Danny dan orang yang berada di atas menara terkejut, orang itu melongo untuk melihat apa yang terjadi. Untungnya dari sisi yang berlawanan dari tempat Danny memanjat, orang itu justru melihat pergerakan Budi hingga harus membidiknya, tapi meleset. Budi segera menghindar, sementara orang yang di semak itu juga melihatnya dan melemparkan tembakan kembali. Dari pos di depannya yang berada puluhan meter dari pos pertsma juga mendengar suara tembakan itu.

"Ada apa itu, apa ada penyusup?" seru salah satunya, mereka segera melihat dari teropong dan bersiaga. Sementara Budi sedang berkelahi dengan orang yang ada di bawah, Danny berhasil naik ketika orang di atas menara itu sedang mencoba mengunci lawan temannya.

"Hai kawan!" sapa Danny, orang itu menoleh tapi Danny segera memberi bogem mentah di wajahnya hingga terpental dan senjatanya jatuh. Orang itu melawan, terjadi perkelahian juga tapi tapi terlalu lama. Danny menjatuhkan orang itu ke bawah, dalam prises jatuhnya orang itu Danny menghadiahinya sebuah peluru tepat di dadanya hingga orang itu tak lagi bernafas ketika sampai ke bumi. Danny melihat dari teropong ke depan, ternyata di depan penjagaan lebih ketat. Lalu ia melongok ke tempat Budi sedang menghajar salah satunya hingga mati pula, pria itu masih sama kejamnya dengan dulu.

Danny turun dan menghampiri Budi, "kita harus waspada, di depan lebih banyak cecunguk!" serunya mulai melangkah, Budi mengikutinya. "bukankah kau sudah biasa dengan mereka?"

"Yang aku khawatirkan justru ketika kita sampai di dalam!" keduanya melangkah ke depan, sementara orang-orang yang ada di pos berikut beberapa mulai turun untuk menghadang keduanya.

Ferian membuka pintu ruangan dimana Sharon dan Sammy berada, kedua anak itu langsung berdiri. Tangan mereka masih terikat, Ferian mendekat. Mengamati keduanya, "kalian sangat mirip.....dengannya!" desisnya.

"Kami tidak takut padamu!" seru sharon,
"Ya....aku suka anak yang pemberani!" sahutnya memandang Sharon lalu matanya berputar ke arah Sammy, "kau.....anak haramnya Danny Hatta!"

Sammy hanya memandangnya terpaku sementara Sharon melotot, "aku punya seorang putra, dia sangat tampan. Aku baru melihatnya beberapa hari sejak dia lahir, dan seseorang.....merenggutnya dariku!" serunya berjalan sedikit menjauh kemudian menoleh kepada dua anak remaja itu. "aku ingin putraku kembali, tapi dia tidak mungkin hidup lagi kan?"

Ferian kembali melangkah ke arah Sammy, memungut wajahnya dan sedikit mengamatinya. "kau memang lebih muda darinya, tapi tak apa. Aku suka sorot matamu yang tak memiliki rasa takut!" ia memandang Sammy dalam, lalu melepaskan wajahnya. Setelah itu ia beralih ke Sharon.

"Dan kau.....gadis manis, pasti akan banyak pria yang menyukaimu. Sayang sekali jika aku harus membunuh kalian berdua, itu sebabnya aku jadi berubah pikiran. Kita bisa bekerja sama, iya kan!" seru Ferian lalu tertawa. Ia lebih mendekat pada Sharon, "don't you touch her!" ancam Sammy geram. Tapi Ferian hanya meliriknya saja, ia sedikit mendorong Sammy hingga menjauh lalu meraih lengan Sharon. Menariknya berjalan keluar.

"Sharon!" seru Sammy berusaha mendekat tapi Ferian malah menamparnya hingga jatuh ke lantai, ia segera membawa Sharon bersamanya meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya. Sammy mendengar Sharon berteriak memanggil namanya, Sammy bangkit dan menuju pintu tapi pintu itu sudah rapat. Ia memutar tubuhnya, meraihkan tangannya ke gagang pintu lalu menendang pintunya dengan kaki kuat-kuat.

"Sharon!" teriaknya.

Sharon masih meronta dan berteriak ketika Ferian menariknya, "lepaskan aku!" rontanya, tapi Ferian tak memperdulikan teriaknya. Ia membawa Sharon ke ruangan lain, memasukannya ke sana dan mengurungnya. Sharon mendekat ke pintu, ada kaca kecil di tengah pintu itu hingga ia bisa melihat keluar.

"Lepaskan aku, lepaskan!" teriaknya. Tapi percuma saja dirinya berteriak, tidak akan ada yang mendengarnya di dalam ruangan yang berdinding tebal itu. Ia menyandarkan diri di pintu, melihat sekeliling. Ada kursi, meja dan sebuah ranjang kecil. Sepertinya itu sebuah kamar, ia pun berjalan ke ranjang dan duduk di sana. Mencoba melepaskan ikatannya, tapi tak bisa. Ia terdiam beberapa saat, lalu iapun merasa punya ide. Ia mencoba memindahkan tangannya yang terikat di belakang ke depan melalui kakinya.

Sementara Danny dan Budi sekarang terlibat perkelahian dan adu tembak di jalan menuju pos kedua.

**********

The Danny Hatta Course Trilogi ;

# Price of Blood ( the last novel )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun