Chapther 12
Alisa termenung di dalam kamarnya, sudah beberapa hari ia tak masuk sanggar ataupun membuka toko bakerynya. Hampir tiap hari Nadine datang menemaninya sepulang dari sanggar, Saat Ridwan menjemput Nadine mereka hanya saling mencuri pandang saja. Di acara tujuh harian meninggalnya Sinta, Ridwan ikut datang. Bukan hanya semata atas permintaan Nadine, tapi karena ia juga merasa pernah dekat dengan mereka.
Setelah semua warga sekitar bubar, Ridwan duduk di depan teras bersama Alisa. Di dalam rumah Alisa masih ada beberapa tetangga wanita yang cukup dekat dengan mamanya, tak ketinggalan Ita dan Fitri juga ikut terlibat.
"Maaf, jika selama beberapa hari.....aku....!"
"Tak apa-apa, aku mengerti!" potong Alisa. "aku sudah cukup senang kamu bersedia datang malam ini, terima kasih ya!" katanya mencoba memasang senyum. "apa kamu bisa kembali ke sangar lagi besok?" tanya Ridwan.
Alisa menatapnya, "kenapa?" tanyanya. Ridwan menghela nafas, "bukankah sebentar lagi kalian ada pementasan penting, aku ingin sekali melihatmu.....menari lagi!" jujurnya. Alisa tertegun, memandang pria itu semakin dalam. Apakah yang ia dengar itu nyata? Dulu Ridwan memang tak pernah mengosongkan kursi di pementasannya, dia akan selalu datang dan memberi tepukan paling meriah.
"Minggu depan juga ada pementasan, memang tidak akan sebesar kontes nanti tapi....aku juga akan menari meski hanya....sebagai penari....!"
"Aku yakin kamu pasti akan tampil sempurna, meski bukan lagi sebagai penari utama. Atau....pementasan itu bukan konser tunggalmu. Tapi kamu pasti akan tampil hebat!"
Alisa mengembangkan senyum indah di wajahnya, Ridwan sangat menikmati senyuman itu. "lebih hebat mana dengan Nadine?" pancing Alisa, Ridwan terdiam. Kenapa di saat seperti ini Alisa malah menyinggung soal Nadine? Kenapa dia selalu ingin membandingkan dirinya dengan Nadine? Alisa menatap Ridwan, menunggu jawaban pria itu.
Ada sedikit canggung yang ia lihat di mata Ridwan, ia tahu pria di sampingnya itu tidak akan mampu menjawab pertanyaannya. Ia sendiri mengakui, Nadine memang tak bisa di hindari. Buktinya dirinya saja merasa sangat senang bersahabat dengan wanita itu.
"Kamu akan datang kan minggu depan?" tanya Alisa, Ridwan sedikit memutar matanya. "aku tebak, pasti kamu akan duduk di bangku paling depan seperti biasa. Masihkah di kursi yang sama?" tanya Alisa lagi, membuat Ridwan kembali terbungkam. "tapi mungkin....kali ini tepukan tanganmu bukan untukku!" sambung Alisa, Ridwan makin merasa lidahnya jadi tambah kaku. Ia hanya mampu menatap wanita itu, mengaguminya diam-diam.
Alisa menurunkan pandangannya ke pangkuannya sendiri. Menghela nafas dalam secara perlahan, "sudah malam, sebaiknya kamu pulang. Bukannya aku mengusir, tapi tidak enak dengan tetangga!"
"Oh....iya, tentu saja. Ini memang sudah malam!" sahut Ridwan dengan senyum kecil, padahal ia belum rela beranjak dari sana.
Ridwan berdiri dari kursinya, Alisa ikut berdiri. Mereka berpandangan sejenak, "aku....., aku....., aku pamit pulang!" sebenarnya bukan itu yang ingin Ridwan ucapkan, tapi saat ini hanya itu yang mampu terlontar. Alisa mengangguk.
"Assalammu alaikum!"
"Waalaikum salam!"
Mereka masih berpandangan untuk beberapa detik sebelum akhirnya pria itu melangkahkan kaki menuju mobilnya. Alisa memandang mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Suara dering dari handphonenya membuat Ridwan sedikit tersentak, ia memungut hpnya yang sengaja ia tinggalkan di mobil sejak tadi.
Nama Nadine terpampang di layar, ia pun mengangkat panggilan itu. "hallo assalamu alaikum!" jawabnya. "waalaikum salam, memangnya baru bubar ya. Aku telepon berkali-keli nggak di angkat?" protesnya.
"Maaf, tadi hpnya sengaja aku tinggal di mobil takut mengganggu acara. Kamu tahu sendiri terkadang banyak telepon masuk dari klien!"
"Oh....terus, sekarang kamu dimana?"
"Dalam perjalanan pulang!"
"Kamu....sempat ngobrol nggak sama Alisa?"
Ridwan tak langsung menjawab, ia mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "dia....besok dia bakal masuk ke sanggar kan?"
"Oh....iya, katanya...dia akan masuk!"
"Hem....kamu lesu gitu. Cape ya?"
"Jujur....iya!"
"Jujur banget sih," protes Nadine, "ya udah, kamu cepat pulang dan istirahat. Besok pagi aku berangkat sama sopir saja, mau jemput Alisa pula. Jadi kamu nggak perlu ninggalin jam kerja kamu!"
Ridwan mengeluarkan tawa kecil, "ok, siap tuan putri. Lagipula besok aku akan super sibuk, jadi mungkin juga nggak bisa jemput!"
"Oh...gitu, nggak apa-apa deh. Jadi aku punya banyak waktu sama Alisa, biasa wanita....!"
Ridwan hanya tertawa. Mereka masih ngobrol beberapa menit hingga Nadine mulai mengantuk, baru telepon terputus.
*****
Semuanya sedang melakukan pemanasan di ruang latihan saat Miss. Anna memasuki ruangan itu. "morning gilrs!" sapanya, "morning miss!" sahut semuanya serempak seraya menghentikan kegiatan mereka.
Miss. Anna menatap Alisa, "Alisa, senang sudah kembali lagi!" sapanya, "terima kasih Miss!" jawabnya. "ok, kita mulai latihannya. Mungkin pementasan minggu ini hanya pementasan bulanan tapi...kita tetap harus maksimal. Jadi berlatihlah dengan baik!"
Meski Alisa baru saja di rundung musibah tapi dia masih bisa fokus dan berlatih dengan baik, pujian yang miss. Anna berikan padanya membuat Cheryl makin cemburu. Nadine saja susah sekali ia kalahkan, sekarang di tambah Alisa lagi. Lama tak bertemu ia tak menyangka kalau Alisa malah jauh lebih baik dari dulu, ia pikir akan mudah baginya saat ini menyingkirkan Alisa. Tapi nampaknya justru akan semakin sulit, kalau begini terus bagaimana dirinya bisa kembali berjaya. Ia mulai berfikir keras untuk bisa mencapai posisi utama kembali.
"Alisa, tadi itu hebat sekali!" puji Nadine, "aku saja jadi minder rasanya!" sambungnya merendah, "kamu bisa saja, kamu juga sangat hebat. Aku malahan jadi takut bersaing denganmu!" balas Alisa. Nadine tertawa, "ya sudah, kita cari makan saja dulu. Aku sudah lapar!" alih Nadine. Alisa menyambutnya dengan senyuman.
"Oya, Alisa....bagaimana kalau pulang dari sanggar nanti kamu main ke rumah aku?"
"Ke rumahmu?"
"Iya, kan aku sering ke rumahmu. Masa' kamu belum pernah ke rumahku!" keluhnya dengan sedikit manyun, "ehm....!" Alisa mengangkat sendoknya hingga ke dagu untuk berfikir sambil mengunyah, "ayolah!" bujuk Nadine menyenggol lengannya.
Alisa tersenyum, "ok, tapi mamamu tidak galak kan?" godanya, "beres....., mamaku memang tidak selembut tante Sinta, tapi mama juga termasuk mama terbaik di dunia!" sahut Nadine, "kalau begitu aku tidak perlu khawatir kan!" gurau Alisa. Keduanya tertawa bersama.
*****
Seperti yang sudah di rencanakan, Alisa bermain ke rumah Nadine. Ratna, mamanya Nadine juga terlihat menyukainya meski merasa ada yang mengganjal di hati.
"Maaf ya, tante belum sempat berbela sungkawa ke rumahmu. Habis....Nadine tak memberitahu tante sih kalau yang meninggal itu pemilik toko langganannya. Maklum dia memang sedikit pikun!"
"Ih mama, masa' aku di katain pikun!" protes Nadine, Ratna dan Alisa hanya tertawa kecil. Nadine keluar dari dapur seraya membawa tiga gelas minunan segar dan menaruhnya di meja, lalu ia pun ikut duduk.
"Tidak apa-apa tante, lagipula hampir tiap hari Nadine datang untuk menemaniku!"
"Jarang sekali loh Nadine itu cepat akrab dengan teman baru. Nyatanya dua tahun begabung di sanggar baru kamu teman dekatnya!"
Alisa hanya tersenyum. Sementara Ridwan sedang ada meeting di kantor tempat Ryan masih terikat kontrak, mereka bahkan sedang meeting bersama. Ridwan meninggalkan ruangan meeting setelah menyalami ketiga orang rekan bisnisnya. Tapi sebuah suara menghentikannya di depan lift.
"Pak Ridwan!" panggilnya, Ridwan menoleh ke arah anak muda yang berjalan bergegas ke arahnya itu. "iya!" sahut Ridwan. Ryan tersenyum lebar, "anda yang sering datang ke sanggar Madam Selfie untuk menjemput salah satu balerina di sana kan?"
"I-ya!" jawab Ridwan sedikit mengernyitkan dahi, "saya juga sering kesana dengan tujuan yang sama, tak di sangka ternyata kita sama-sama jatuh cinta pada seorang balerina di sanggar yang sama. Untungnya mereka wanita yang berbeda!"
"Oh....maaf, aku tidak terlalu memperhatikan siapa saja yang kesana, jadi...!"
"Tak apa, aku juga begitu. Hanya....karena aku sering melihat anda saja jadi aku ingat!"
"Oh, begitu!"
"Aku sangat senang karena kita bisa bekerja sama!"
"Aku yang merasa begitu, ku akui rancanganmu memang hebat. Kau sangat berbakat!"
"Ah, biasa saja!"
"Tapi maaf, aku sedikit terburu-buru!"
"Ou...tidak apa-apa, aku yang minta maaf karena telah mengganggu waktu anda!"
Cheryl memarkir mobilnya di basement, Ryan memintanya datang ke kantor entah untuk apa. Tapi katanya sangat penting, ia berjalan dengan anggun menyusuri tempat itu seraya mengarahkan pandangannya ke sekeliling dan menemukan sesuatu. Ia menghentikan langkahnya untuk meyakinkan apa yang di lihatnya.
"Ridwan!" desisnya, "untuk apa dia di sini?" sambungnya pada diri sendiri. Ridwan sedang berjalan menuju mobilnya, Cheryl pun bergegas menghampirinya.
"Ridwan!" sapanya lembut, Pria itu menoleh ke arah suara yang cukup di kenalinya. Ia membelalakan matanya meski tidak terkejut. Cheryl berhenti di hadapannya, "kamu di sini?" tanyanya.
"Bukan urusanmu!"
"Ayolah Wan, jangan selalu acuh begitu padaku!"
"Maaf, aku buru-buru!" seru Ridwan membalikan tubuh, "bagaimana perasaanmu setelah Alisa kembali?" pertanyaan Cheryl membuat Ridwan harus berdiri terpaku.
"Kamu senang, atau.....justru mulai khawatir?" pancing Cheryl. Ridwan menoleh padanya, "jangan menatapku seperti itu, aku tahu.....kalian masih saling menyukai kan! Lalu....apakah Nadine tahu siapa Alisa bagimu?"
Pertanyaan Cheryl membuat rahang Ridwan mengeras, "ku tebak, kalian belum memberitahukan Nadine tentang hubungan kalian di masalalu bukan!" Cheryl sangat menikmati ekspresi pria di hadapannya.
"Jangan khawatir, aku bisa menjaga rahasia asalkan.....kita bisa....!" Cheryl makin mendekat, ia merangkakkan tangannya ke dasi Ridwan dan menelusurinya ke atas, mendekatkan wajahnya dan mencoba meraih pria itu. Sayangnya Ridwan malah mendorongnya menjauh.
"Jangan mengancamku!" hardik Ridwan. Cheryl menggerutu mendapat penolakan itu, "kenapa?" desis Cheryl, "kenapa kamu tidak bisa menyukaiku, wan?" tanya Cheryl. Ridwan melebarkan bola matanya.
"Dulu Alisa, sekarang Nadine.....kenapa harus mereka? Apa kamu tidak bisa melihatku? Lihatlah....bukankah aku lebih cantik dari mereka?" seru Cheryl meraba wajahnya sendiri. "aku jauh lebih sempurna, tapi kenapa kamu tidak bisa memilihku?" teriaknya.
"Kenapa kamu tanyakan padaku, tanyakan saja pada dirimu sendiri! Cinta itu tidak bisa di paksakan!"
"Tidak bisa kamu bilang....., aku terpaksa menerima cinta dari pria yang tidak aku cintai, aku bisa lakukan itu?"
"Tapi aku tidak!" potong Ridwan.
Cheryl mencoba mengatur nafasnya, "apa kamu tahu....?" sebutir airmata menggelinding dari pelupuknya, "sampai detik ini....aku juga masih mencintaimu, aku masih mencintaimu seperti dulu. Cintaku bahkan lebih besar dari cinta Alisa tapi kenapa kamu tidak bisa melihat itu?" tangisnya.
"Cukup Cheryl, kamu tahu aku tidak mungkin bisa mencintaimu lalu kamu mau apalagi, seharusnya kamu bisa membuang perasaanmu jauh-jauh!"
Cheryl menggeleng, "tidak, kali ini aku tidak akan membiarkannya. Aku akan buktikan kalau ...aku...bisa lebih baik dari mereka. Aku harus mendapatkanmu!"
"Kamu gila Cheryl!"
"Aku gila karena kamu!" serunya melangkah ke arah Ridwan, melingkarkan kedua lengannya ke leher pria itu dan hendak menciumnya. Tapi Ridwan menghindar dan mendorongnya menjauh hingga tubuh Cheryl memantul ke badan mobil di belakangnya. "kamu sudah tidak waras, seharusnya kamu masuk rumah sakit jiwa!" seru Ridwan membalikan tubuhnya dan berjalan cepat ke mobilnya.
Cheryl terpaku menatapnya, menangis. Lalu ia membanting tasnya ke lantai dengan kesal seraya berteriak. Ia menyandarkan diri di mobil itu dengan isak tangis, tapi tak berlangsung lama ia segera menyeka airmatanya sendiri. Menggerutu, "aku...tidak akan membiarkannya. Akan ku hancurkan siapapun yang berusaha memilikimu, baik Alisa...ataupun Nadine!" geramnya lirih.
Mobil Ridwan sudah melaju menuju pintu exit, di antara sela deretan mobil Ryan berdiri terpaku. Tadinya ia pikir Cheryl tidak akan datang itu sebabnya ia memutuskan untuk menjemputnya saja tapi ia malah menemukan wanita itu di sana sedang berbicara dengan Ridwan. Terlibat pertengkaran, ia bahkan mendengar semua percakapan mereka. Ia tahu selama ini Cheryl memang belum bisa mencintainya, tapi ia tak mengira kalau ternyata wanita itu masih menyimpan cinta yang begitu besar terhadap pria itu. Pria yang ternyata adalah teman bisnisnya. Ia mengepalkan tinjunya dengan geram.
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H