Di lapangan dekat aula, anak-anak ramai menonton basket. Apalagi ada kota yang datang dan ikut bermain. Anak itu sangat pandai bermain basket, anak-anak gadis di situ semua menonton. Selian jago bermain basket anak lelaki itu juga cukup ganteng. Rose berjalan ke sana dengan tongkatnya, penasaran dengan keramaian di lapangan ia pun ikut menonton. Matanya juga tertuju kepada anak lelaki itu.
Ada beberapa anak perempuan yang memperhatimannya, terus terang wajah Rose memang rupawan. Meski kakinya pincang tapi wajahnya tetap membuat mereka iri, merekapun menghampirinya. Salah satu dari anak itu menyenggolnya dengan kasar hingga Rose sedikit goyah dari tongkatnya. Ia menoleh ke arah 4 anak perempuan itu.
"Eh, pincang. Ngapain kamu di sini, pergi sana!" usir salah satunya.
"Kamu itu membuat pemandangan jadi nggak enak tahu nggak!" timpal yang satunya lagi, Rose terdiam menyadari keadaannya. Di sela-sela permainannya, anak lelaki itu melihat ada yang tak beres di kerumunan anak perempuan dia pinggir lapangan.
"Eh, kamu nggak punya telinga ya? Udah pincang, tuli lagi....jangan-jangan....kamu juga bisu. Ha....ha...!" seru anak yang berbaju merah yang menyenggolnya tadi. Tawa itu di ikuti oleh ketiga teman-temannya. Rose masih diam saja, "ayo pergi sana, di suruh pergi dari tadi juga!" seru yang berbaju biru seraya mendorongnya, tapi Rose masih mencoba bertahan di tongkatnya.
"Kamu nggak mau pergi!" seru si baju merah, karena kesal ia merebut tongkat Rose. Membuatnya harus terjatuh. Anak-anak itu tertawa riang, "dasar pincang, kamu itu nggak seharusnya ada di sini!" serunya membuang tongkat itu jauh dari jangkauan Rose. Karena jatuh kakinya jadi sedikit ngilu dan Rose pun merintih memegang lututnya.
"Nggak bisa jalan aja mau tebar pesona di sini, dasar nggak tahu diri!" maki yang lainnya.
"Jangan ganggu dia!" seru suara seorang anak lelaki. Semuanya menoleh ke arah suara itu dan tercengang. "jangan suka menganggu orang yang nggak berbuat salah sama kalian!" serunya seraya mendekat. "kalau kalian di posisi dia bagaimana?"
"Tapi kita nggak pincang, yang pincanv itu dia!" seru si baju merah.
"Lagian ngapain kamu belain dia!" tambah yang pake rok pink.
"Kalian pergi dari sini, atau aku lempar lumpur itu ke muka kalian!" serunya seraya menunjuk lumpur yang tak jauh dari kaki ke empat anak perempuan itu dengan dagunya. Dna nadanya yang cukup menakutkan membuat anak-anak perempuan itu pun berlari dari sana.
Rose merangkak perlahan ke arah tongkatnya, meringis menahan sakit. Tapi sebuah tangan sudah mendahuinya memungut tongkat itu, ia memandangnya. Anak lelaki itu berjalan ke arahnya, mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Rose menatap tangan itu dan perlahan merangkak naik ke wajahnya. Anak lelaki itu tersenyum padanya.
Perlahan ia pun menyambut tangan anak itu dan anak itu membantunya berdiri, lalu memapahnya ke pinggir lapangan. Mendudukan Rose di tepian batu, anak itu memperhatikan kakinya.
"Kaki kamu kenapa?" tanyanya, ia masih memegang tongkat itu. "aku jatuh ke sungai saat gempa!" sahutnya.
"Oh....,"
"Terima kasih ya, sudah membantuku!"
"Kenapa tadi kamu diem aja di jailin?"
"Terus aku harus gimana, emang mereka bener kok. Aku kan pincang, nggak seharusnya aku berkeliaran di sini!"
"Ini tempat umum, siapapun boleh kesini!"
Rose menunduk, "aku Dika, kamu siapa?" tanya anak itu seraya menyodorkan tangannya. Rose mengangkat kepalanya, memandang tangan itu kembali lalu menyambutnya, "Mawar!" jawabnya.
"Nama yang cantik, Mawar aja?"
"Mawar Putih!"
"Itu cocok sekali buatmu, pasti hati kamu juga seputih nama kamu!" puji Dika.
Rose hanya tersenyum hambar, "eh, kamu laper nggak. Cari makanan yuk!" ajak Dika, "eh....terima kasih. Tapi aku nggak laper!" tolaknya. "aku traktir deh!"
"Tapi aku belum lama makan!"
"Kamu takut di jailin kaya' tadi lagi. Nggak usah takut, ntar biar aku yang usir!"
"Bukan itu....., memangnya....kamu nggak malu jalan sama aku?"
"Kenapa mesti malu?"
"Karena aku pincang!"
Dika tertawa lembut, "udah, aku laper banget nih. Yuk!" katanya menyodorkan tongakt itu dan membantu Rose berdiri. Dika mengajaknya makan bakso, biasanya Rose selalu makan di rumah. Ia tak berani beli makanan di luar, lagipuka paman Fahri selalu membuat makanan kesukaannya, entah darimana pria itu tahu tapi sepertinya ia sudah tinggal dengannya selama ini.
Dalam perjalanan pulang Rose juga bercerita kalau sebenarnya dia juga suka banget main basket. "Mawar, kamu nggak boleh berfikir seperti itu. Kamu harus yakin kalau kamu bisa sembuh dan bisa main basket lagi!" seru Dika memberinya semangat.
"Aku nggak tahu, kata dokter....kakiku nggak akan pulih seperti semula!"
"Itu kan kata dokter, dan dokter bukan Tuhan. Jadi kamu harus percaya kalau Tuhan bakal nyembuhin kaki kamu. Gini aja deh...., kita taruhan.....kalau kaki kamu sudah sembuh nanti. Kita tanding basket, kalau kamu kalah....kamu jadi pacar aku!"
"A....pacar...., kamu itu ngomong apa?"
"He....becanda, ya udah...pokoknya kalau kamu udah sembuh kita tanding. Gimana?"
"Ehm.....ok!"
"Deal ya!"
"Deal!"
Keduanya menautkan kelingking seraya tersenyum. Tanpa terasa mereka sudah berada di depan rumah Mawar, "kamu tinggal di sini?"
"Iya, sepertinya paman Fahri nggak ada di rumah. Jadi kamu nggak boleh masuk!"
"Oh...nggak apa-apa. Kamu masuk aja, aku juga mau pulang!"
"Makasih ya!"
Dika tersenyum, "besok boleh kan aku ajak kamu main lagi?" tanyanya. Rose mengangguk pelan, Dika melebarkan senyumannya, "dah...!" katanya melambai lalu berbalik. Berjalan meninggalkan tempat itu. Sejak tinggal di sini, ini kali pertamanya ada anak yang mengajaknya bermain. Tapi anak itu bukanlah penduduk sini pula melainkan anak Jakarta pula yang sedang berlibur ke rumah neneknya. Dan apakah kalau anak itu kembali ke Jakarta dirinya akan kembali sendiri?
*****
Ricky sudah semakin akrab dengan Sharon dan keluarga pak Arga. Bahkan sekarang dia tidak ragu memanggil pak Arga dan istrinya dengan sebutna papa dan mama. Ia juga menganggap Sharon sebagai adiknya meski tetap saja ia masih menyebut nama Rose di setiap tidurnya.
Ricky juga selalu melindungi Sharon dari anak-anak jail di sekolah, setiap ada yang menjailinya ia pasti akan langsung turun tangan. Hal itu membuat Sharon semkain manja padanya karena sekarang ia memiliki kakak yang akan melindunginya kapanpun dan dimanapun. Hal itu sebenarnya selalu mengingatkannya pada Rose, ia sungguh masih tak bisa memaafkan dirinya karena hingga saat ini ia belum bisa menemukan adiknya. Tapi ia percaya bahwa adiknya masih hidup.
Ricky duduk di belakang rumah sambil memainkan harmonika yang dulu ia berikan pada Rose. Hanya dengan memainkan lagu kesukaan Rose, rasa rindunya sedikit terobati. Airmata mengalir di pipinya, alunan suara harmonika itu seolah memanggil tawa tawa Rose di telinganya. Orangtuanya terenggut akibat kecelakaan mobil yang menyebabkan sedikit trauma pada adiknya, dan ia tetap memaksa adiknya untuk kembali menaiki mobil meski adiknya sudah menolak dan takut kalau kecelakaan itu akan terulang. Dan kecelakaan itu benar terulang, kini bahkan memisahkannya dengan adiknya. Kematian orangtuanya bisa ia iklaskan tapi adiknya, hidup atau mati saja ia masih tak tahu. Bagaimana ia bisa mengiklaskannya? Sharon berjalan perlahan menghampiri Ricky yang masih asyik bermain harmonika. Dia duduk di sampingnya dan memperhatikannya.
Ricky menghentikan permaiannya ketika menyadari kehadiran Sharon. Lalu ia menunduk, "kak Ricky merindukan Rose ya?" tanyanya. Ricky hanya diam saja seraya menghapus airmatanya. Sharon menyentuh tangan Ricky dan berkata, "jangan sedih terus dong kak, kan di sini juga ada Sharon. Sekarang Sharon kan juga adiknya kak Ricky, kak Ricky boleh kok anggap aku sebagai Rose!" desis Sharon.
Ricky menoleh padanya dan tersenyum, "terima kasih ya, aku tahu. Maaf!" serunya lalu memeluk Sharon. Ia memang mulai menyayangi Sharon tapi tetap saja dia Sharon bukan Rose. Dan tidak akan pernah menjadi Rose.
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H