"Apa ini?"
Dino memandang sebuah undangan di tangannya yang baru saja ia pungut dari tangan Indira yang tadi menyodorkan benda itu padanya.
"Undangan!" sahut Indira.
Mata Dino tertuju ke tulisan paling atas, lalu ia melirik Indira. "Siapa yang mau kawin?" tanya Dino, "menikah bukan kawin, emangnya hewan!"
"Ya....apa bedanya, abis nikah kawin juga!" tambahnya seraya nyengir. Matanya menelusuri tulisan di bawahnya. Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak, darahnya pun tak lagi mengalir. Perlahan matanya kembali ke wajah gadis cantik di depannya yang sudah di kenalnya sejak SMP itu.
"Ini.....beneran?" tanyanya meyakinkan.
Indira yang sedang menyedot milkteanya pun mengangguk, "datang ya, jangan cuma datang bawa kado sekalian. Kalau perlu bantuin!"
Dino masih memandang sepasang nama di undangan itu, "Raka Adi Pratama, kok....aku nggak pernah tahu ya? Kamu curang, sejak kapan kamu kenal dia dan dimana. Kok tiba-tiba aja udah mau kawin?"
Indira menggigit bibir bawahnya, memutar bola matanya pula. "ehm...
sebelumnya aku minta maaf ya?"
"Ma-af, kenapa?"
"Pas aku jenguk nenek di Banjar Negara, aku ketemu sama dia. Kebetulan keluarganya masih kerabat jauh kakek. Entah kenapa, kami langsung akrab dan saling suka. Selain itu....kami memang di jodohkan sejak masih bayi!"
"Di jodohin?"
Indira mengangguk tanpa ragu, "dia itu....udah ganteng, baik, santun, ehmmm....pokoknya perfect deh!" pujinya. Dino meletakan undangan itu di meja dan menatap Indira, "kamu yakin dia sebaik itu?" tanyanya ragu.
"Ya, iyalah....secara selama di Banjar Negara aku kan tiap hari ketemu dia. Tahu nggak ternyata dia tinggal di sini juga lho....masih satu kompleks lagi sama rumahku. Tapi kok aku nggak pernah tahu ya?"
Indira masih saja nyerocos membicarakan calon suaminya yang bernama Raka itu, sementara Dino hanya diam menyimak. Ia tetap berusaha bersikap seperti biasa meski sebenarnya hatinya sakit. Betapa tidak, dia sudah memendam cinta terhadap gadis itu sejak sama-sama duduk di sekolah menengah pertama. Tapi karena hubungan mereka berstatus sahabat, makanya selama ini Dino hanya memendam perasaannya saja.
Dan sekarang tiba-tiba Indira memberikan undangan pernikahan yang sudah di depan mata, selama mereka bersama bahkan sampai di terima di perusahaan yang sama. Memang banyak pria yang mengincar Indira, tapi gadis itu selalu menolak semua pria yang mendekatinya dan selalu bilang kalau dirinya sudah punya pacar. Sama hal yang dengan Dino, ia juga menolak cinta beberapa wanita karena hatinya sudah di penuhi oleh Indi.
Pernah suatu waktu di saat jam istirahat kantor...
"Indi, aku dengar dari Randi katanya kamu sudah punya pacar. Kok aku nggak tahu sih, kita kan nggak pernah ada rahasia?" tanya Dino.
"Oh....itu, abis si Randi itu nggak kapok-kapok ngerayu aku. Ya, aku bilang aja kalau kita pacaran!"
Dino yang sedang meminum teh botol langsung kesedak, ia mencoba mengendalikan batuknya seraya berseru, "mak-sudnya....kita....aku dan kamu?" Indira mengangguk. "Siapa lagi, emangnya kamu nggak suka sama aku?" godanya.
Dino menelan ludah, "eh...., sebenarnya.....aku senang sih kamu bilang gitu?" desisnya. Sekarang giliran Indi yang melotot, "tapi....aku nggak mau ada yang berubah di antara kita. Sebenarnya aku juga suka sih sama kamu. Tapi aku nggak mau persahabatan kita jadi janggal kalau suatu saat kita ada masalah!"
"Maksudnya....?"
"Din, mantan pacar itu ada. Mantan suami itu ada, tapi mantan teman.....itu rasanya aneh bagiku. Kamu satu-satunya teman terbaik yang pernah aku miliki dan aku nggak mau hal itu berubah!"
"Indi, bukankah pacar juga bisa teman, suami juga bisa jadi teman....lalu apa yang salah dengan hal itu? Kita masihbisa berteman sampai kapanpun!"
"Kita tidak akan tahu apa yang terjadi besok kan, aku mau.....kamu tetap seperti ini....buat aku!"
Dino hanya memandangnya.
*****
Pernikahan Indira dan Raka berlangsung lancar, Dino berada di sana hingga acara selesai karwna dirinya sudah janji dengan Indira bahwa ia tidak akan meninggalkan tempat itu sampai acara selesai. Meski sebenarnya hatinya cukup sakit. Harus menyaksikan gadis pujaannya bersanding dengan pria lain
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, hubungan mereka masih sama. Tapi setelah Indira memutuskan untuk hengkang dari kantor dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja untuk suaminya. Komunikasi serasa terputus, saat Dino berkunjung ke rumah mereka. Mereka malah sudah pindah, Indira bahkan tak pernah menelpon atau mengirimnya sms lagi hanya untuk sekedar curhat. Bahkan nomornya pun sudah tak lagi bisa di hubungi.
Dino mencoba mencari tahu dari orangtua Indira, tapi tentu saja orang tuanya tak memberitahukannya karena takut akan mengganggu keharmonisan rumah tangga Indira. Karena memang kata orangtua Indi, Raka suaminya merasa cemburu atas kedekatan Indira dengan Dino. Itu sebabnya suaminya menyuruhnya hengkang dari kantor.
Setelah hampir dua tahun Indi hengkang dari kantor, Dino sama sekali tak pernah bersua dengan gadis itu. Sampai saat ini pun perasaannya tetap tak bisa berubah, ia masih sendiri. Masih belum bisa mengisi hatinya dengan kehadiran wanita lain.
*****
"Terima kasih pak!" seru Dino berjabat tangan dengan seorang pria, pria itu adalah salah satu kliennya. Mereka baru saja selesai meeting di sebuah restauran hotel berbintang 4. Dino berjalan ke arah mobilnya, baru saja ia menghempaskan diri ke belakang jok matanya menangkap sesuatu. Ia memperhatikan dengan jelas pria yang baru saja keluar dari lobi hotel itu. Dia bersama seorang wanita, mereka berangkulan dengan mesra. Sang wanita menggelayutkan kepalanya di bahu Raka, dan wanita itu bukanlah Indira.
Itu bukan kali pertama ia melihat Raka berada di hotel bersama wanita yang bukan istrinya, awalnya ia pikir mungkin mereka hanya rekan bisnis. Tapi sepertinya bukan, karena kali ini mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Dan wanita itu wanita yang berbeda dari yang tempo hari di lihatnya. Dino meremas setir dengan geram seolah hendak mematahkannya. Tapi ia tak menghampiri Raka dan menghajarnya, ia membiarkannya saja karena takut salah paham nantinya.
Dua hari setelah hari itu, Dino bertengger di dalam mobilnya. Tak jauh dari rumah Raka, dua hari lalu ia mengikuti pria itu hingga tahu kediamanmnya. Di lihatnya mobil Raka meninggalkan rumah, setelah mobil itu menghilang dari pandangan, ia pun turun dari mobilnya. Celingukan, kebetulan ada tukang sayur yang sedang lewat, berteriak memanggil para pelanggannya. Ia pun menghampiri tukang sayur itu, membisikan sesuatu. Lalu tukang sayur itu membawa sekantong plastik sayuran menuju rumah Indira. Wanita itu membuka pintu ketika ada yang mengetuk gerbang rumahnya dengan kencang.
"Eh...mang Darmin, ada apa mang?"
"Ini neng sayurannya!"
"Loh...saya kan nggak pesan sayur!"
Tukang sayur yang biasa di sapa mang Darmin itu tetap saja menaruh sekantong plastik itu di tangan Indira lalu pergi. "eh...mang!" tapi tukang sayur itu tak lagi menyahut. Indira menggeleng lalu memasuki rumahnya, ia membuka isi kantong itu. Ada secarik kertas yang ia temukan di sana.
"Kalau kamu bisa temui aku di taman kompleks Ndi, Dino!"
"Dino?" desis Indira, "darimana dia tahu aku tinggal di sini?" Indira masih diam, ia bingung apakah ia harus menemui Dino atau tidak. Tapi jujur, ia juga sangat merindukan pria itu. Pria yang selalu menjadi telinganya di setiap keluh kesahnya. Pria yang selalu menjadi tongkatnya saat dirinya tertatih. Akhirnya setelah berperang dengan hati dan otaknya, Indipun berhambur keluar. Sedikit berlari ke tempat dimana Dino menunggunya. Langkahnya terhenti ketika melihat pria itu duduk di kursi taman. Dino menoleh padanya, ia cukup tercengang melihat kondisi Indira.
Tubuhnya tak lagi sekal seperti dulu, sekarang boleh di katakan dia cukup kurus. Lesung pipit di salah satu pipinya semakin terlihat cekung, di matanya tak ada lagi keceriaan seperti dulu. Yang ada hanyalah awan mendung yang sepertinya sudah tak tahan lagi untuk menyirami bumi.
"Indi!" desis Dino.
"Dino!" sahut Indira yang tetap mencoba tersenyum meski ada butiran bening di sudut matanya yang membuatnya jadi berwarna merah.
Perlahan Dino melangkah ke arahnya, melihatnya seperti itu ingin rasanya ia segera meraihnya ke dalam pelukannya seperti dulu. Membiarkannya menangis di pelukannya, tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Wanita itu adalah istri orang lain.
"Kenapa kamu nggak pernah menghububgi aku lagi?" tanya Dino. "Dino...!" desis Indira, "kamu sendiri yang bilang, kalau kamu nggak mau hubungan kita berubah. Lalu sekarang apa ini, kamu bahkan mau melupakan persahabatan kita?"
"Maafkan aku!"
"Aku tidak akan memaafkanmu." potong Dino, "kamu bahkan tidak percaya lagi sama aku, sampai kamu memilih menghadapi semuanya sendirian?"
"Maksudmu apa Din?"
"Jangan bersikap bodoh, atau menganggapku bodoh!" seru Dino, "aku tahu....apa yang Raka lalukan di luar sana. Aku juga tahu....kalau kamu tahu itu, Indi....dulu kamu adalah gadis yang kuat yang nggak mau di tindas oleh siapapun tapi kenapa sekarang.....!"
"Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan!" potong Indira, ia memalingkan wajahnya. Membelakangi Dino, "rumah tangga kami baik-baik saja!" kilahnya.
"Melihat kondisimu....kalian tidak baik-baik saja!"
"Jangan campuri rumah tanggaku, Din. Kamu tidak tahu apa-apa!"
Sebutir airmata meleleh di pipi Indira, meski tak melihatnya tapi Dino tahu wanita itu menangis. Indira mencoba menyeka airmatanya, "aku pikir kamu cuma mau berkunjung," ia membalikan badan kembali dan memasang senyum di wajahnya.
"Kamu sendiri bagaimana, apa kau sudah menikah sekarang? Pasti wanita itu....sangat beruntung!"
"Bagaimana aku bisa menikah....jika masih tak bisa menghadirkan wanita lain di hidupku!"
"Dino....!"
"Kamu tahu Raka mengkhianatimu, kamu tahu Raka tak sebaik dugaanmu. Tapi kenapa kamu masih bertahan?"
"Cukup, aku masih banyak pekerjaan di rumah. Terima kasih sudah mengunjungiku!" serunya lalu berbalik dan mulai melangkah.
"Indi!"
Indira berhenti, "kalau kamu datang cuma mau mencampuri rumah tanggaku, lebih baik jangan temui aku lagi. Tapi kalau kamu datang sebagai teman, aku nggak akan keberatan!" potongnya lalu melanjutkan langkahnya. Dino memandang punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangannya.
*****
Dino mendatangi rumah orangtua Indira, dari perbincangan mereka. Sepertinya kedua orangtua Indi, sama sekali tidak tahu kondisi sesungguhnya rumah tangga putrinya. Yang mereka tahu kanker mulut rahim yang sempat membuat Indira harus kehilangan ovariumnya di meja operasi memang membuat Indira bersedih. Itu sebabnya berat badannya menurun, tapi sebenarnya bukan itu permasalahnya bukan?
Sejak itu Dino sering mengajak Indira bertemu di taman, dan mereka tak pernah membicarakan hubungan Indira dengan suaminya. Mereka hanya ngobrol, membiacarakan hal yang lain yang bisa membaut Indira tertawa. Tapi hal itu rupanya membuat Raka curiga dan harus mengetahui kalau Dino sering menemui istrinya.
"Tapi mas, aku nggak selingkuh!"
"Nggak selingkuh kamu bilang, lalu untuk apa setiap hari kamu tertawa bersama pria itu di Taman? Kamu sengaja mau...?"
"Dino itu teman aku mas!"
Plakk!
Sebuah tamparan melayang ke pipi Indira, "aku nggak peduli dia siapa, kalau kamu masih menemuinya....aku akan membunuhnya. Kamu ngerti!" serunya lalu keluar kamar, membanting pintu kamar itu dengan kencang dan berlari keluar rumah. Memasukan dirinya ke mobil dan mulai melalang buana lagi. Indira hanya duduk memegang pipinya di ranjang seraya tersedu.
*****
Dino duduk di tempat biasa, menunggu Indira datang. Ia tak ingin berusaha memasuki hubungan rumah tangga wanita itu, tapi ia ingin tetap seperti dulu. Menjadi temannya, menjadi sahabatnya yang bisa membuatnya tertawa. Tapi ketika ia menoleh, ia langsung tersungkur oleh hantaman tinju seseorang. Itu Raka,
"Raka, apa-apaan ini?" serunya berdiri, "itu karena kau berani menggoda istriku!" serunya. "menggoda, ha....apa aku tidak salah dengar? Jadi kau mengira aku dan Indira selingkuh, begitu?"
"Apa namanya kalau tidak selingkuh, kalian bertemu di sini setiap aku tidak ada di rumah!"
"Aku dan Indi hanya berteman, tidak lebih dari itu!"
"Bukankah kau mencintainya?"
"Ya, aku memang mencintainya. Itu sebabnya aku tak mau melihatnya menangis setiap malam oleh ulahmu!"
Raka melotot, "jangan salahkan Indi, dia tak pernah cerita apapun padaku. Tapi aku tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Aku melihatmu beberapa kali, kau menuduh istrimu selingkuh tapi kau sendiri meniduri banyak wanita di luar sana!" cibir Dino.
"Jangan banyak bicara kau!" seru Raka menyerangnya lagi. Mereka pun berkelahi di sana hingga keduanya babak belur. Indira yang merasa hatinya tak tenang menyusul ke tempat itu dan melerai keduanya. Ia berusaha menyingkirkan Dino yang sedang memukuli suaminya yang sudah tersungkur di tanah.
"Dino cukup, hentikan!" serunya mendorong tubuh Dino menjauh, "kamu nggak apa-apa mas?" cemasnya pada Raka, Dino diam memperhatikan wanita itu yang masih saja peduli dengan suami yang terus menyakitinya. Indira membantu Raka berdiri, lalu ia menoleh Dino.
"Kamu apa-apaan Din, kamu sengaja mau membunuh suamiku?"
"Indi, dia memang pantas untuk di hajar!"
"Cukup, aku sudah bilang kan. Jangan campuri urusan rumah tanggaku jika kamu masih menganggapku sebagai temanmu!"
"Indi....!"
"Lebih baik, mulai sekarang jangan temui aku lagi!" seru Indira lalu memapah Raka kembali ke rumah sementara Dino masih terpaku di sana.
*****
Indira meminta Dino untuk tak menemuinya lagi demi rumah tangganya. Ia bahkan meminta Dino untuk melupakannya dari hatinya, "aku akan baik-baik saja selama kamu tidak menemuiku, belakangan ini....sikap mas Raka sudah cukup baik padaku. Aku mohon Din, lupakan aku dari hatimu. Anggap saja kamu tidak pernah mencintaiku, anggap saja kita hanya sebagai teman. Itu akan jauh lebih baik!"
"Aku tidak yakin suamimu bersikap baik padamu?"
"Aku istrinya, aku lebih tahu dia. Pernikahan ini adalah pilihanku juga, aku menikahinya karena aku mencintainya!"
"Apa sedikitpun kamu nggak pernah mencintai aku?"
Indira menatapnya dalam, "apakah harus aku jawab, Dino....kita tidak bisa mencintai dua orang dalam satu waktu. Ada kalanya kita harus memilih, aku sudah memilih dan mungkin sekarang giliran kamu!"
Itu adalah percakapan terakhir mereka, sejak itu mereka tak pernah bertemu lagi meski Dino masih saja mengontrol keadaan Indira dari jauh. Mungkin benar, Raka mulai bisa bersikap sedikit baik pada Indira, tapi apakah itu akan bertahan lama?
*****
Beberapa tahun berlalu begitu saja, Akhirnya Dino bertemu dengan seorang wanita yang bisa ia cintai meski ia tetap tak bisa membuang cintanya pada Indira. Hari pernikahan sudah di tentukan, ia juga mengirim undangan untuk Indira, tapi ia titipkan ke rumah Indira. Meski ia tak yakin Indira akan bisa hadir atau tidak. Tapi jika hubungan mereka memang masih seperti dulu, masih sebagai sahabat mungkin Indi akan menyempatkan diri untuk hadir.
Suasana di tempat itu cukup ramai dengan para tamu undangan, acara ijab kabul dan resepsi di adakan dalam satu hari saja. Pagi ijab kabulnya, dan sorenya resepsinya. Sedari tadi Mata Dino menelusuri seluruh tamu undangan. Apakah Indira akan hadir? Ia memang tak yakin, tapi ia berharap wanita itu justru tidak akan ada di sana untuk melihat pernikahannya yang tak mungkin di batalkan.
"Kamu mencari aku?" tanya sebuah suara dari samping. Dino menoleh, "Indi!" antara girang dan perih ia berdesis. Indira melangkah ke arahnya melalui antrian panjang yang memberi ucapan selamat.
"Selamat ya, akhirnya....kamu menemukan wanita yang bisa mencintaimu dengan utuh!" senyum mengembang di bibirnya. Manis sekali, dan pedih!
Kenapa kamu harus datang, Ndi. Kenapa? Seandainya pernikahan ini bisa di batalkan? Tidak....itu tidak mungkin kan?
"Jangan menatapku seperti itu, aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja!" desis Indira. Tapi Dino tahu itu tidak benar. Ia tahu apa yang ada di balik senyuman itu. Ingin sekali ia memeluk wanita yang kini berdiri di hadapannya, tapi itu tidak mungkin kan? Sementara istrinya ada di sampingnya.
Baru kemarin Dino mendapat kabar dari orangtua Indira bahwa mungkin Indi tidak akan bisa datang di hari pernikahannya karena masih berkabung. Seminggu yang lalu, polisi menemukan mobil Raka yang ringsek di jalan tol akibat tabrakan dengan mobil lain. Raka di temukan tewas di dalam mobilnya bersama seorang wanita yang di duga sebagai kekasih gelapnya, keduanya di ketahui dalam pengaruh minuman keras malalui tes darah. Keduanya meninggal di TKP.
Hal itu cukup membuat Indira terpukul, bukan karena kematian suaminya. Tapi suaminya meninggal bersama wanita lain yang tak lain adalah selingkuhannya. Mereka seperti baru pulang dari pesta. Setelah mendapat kabar itu, Dino sempat shok. Ingin ia menemui Indira tapi wanita itu terus mengurung diri di dalam kamar setelah peristiwa tragis itu. Dino merasa harus menemuinya, menenangkannya, memberinya semangat. Jika ia bisa ia ingin membatalkan pernikahan itu dan kembali menjadi tongkat untuk Indira, tapi itu tidak mungkin. Pernikahannya saja hanya tinggal menunggu esok, ia juga tak mungkin menyakiti Rania dengan meninggalkannya begitu saja. Atau dirinya akan sama dengan Raka.
Dino menatap lekat wajah Indira yang masih mencoba memasang senyum kekuatan di wajahnya, senyuman yang sama sekali tak ada keceriaan dan kebahagiaan. Kecuali rasa sakit yang mengiris pedih, setelah Indira berlalu pun Dino masih menyisirkan matanya ke arah wanita itu yang sedang berjalan tanpa jiwa.
Di saat seperti ini, Indira sadar ia membutuhkan Dino. Membutuhkan bahunya, tapi ia juga cukup sadar dimana posisinya sekarang. Ia yang menginginkan hubungan mereka tak berubah, tapi ia juga yang meminta Dino melupakannya dari hatinya. Sekarang ia tak mungkin mengemis cintanya lagi, karena ada wanita lain yang jauh lebih pantas darinya.
Dino menatapnya menjauh, ingin sekali ia berlari dan mendekapnya erat. Menyeka lukanya, menyiraminya kembali dengan cinta. Tapi kini ia hanya bisa memandangnya terjatuh dan tak mampu melakukan apapun. Sekali lagi Indira menoleh padanya di antara kerumunan. Melemparkan senyum pedih ke arahnya, senyum yang mengatakan.
Aku akan baik-baik saja!
Tapi Dino tahu itu tidak benar, ia tahu apa yang tersimpan di dalam senyuman manis itu.
**********
Jakarta, 23 Maret 2015
Y. Airy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H