Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sayap-sayap Patah Sang Bidadari ~ Inheritance # Part 2

3 September 2014   12:28 Diperbarui: 9 Juli 2015   12:21 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mobil ambulans sudah nongkrong di tempat itu, beberapa perawat sedang mengobati luka Jaya, untungnya William tidak terluka. Liana sendiri hanya memar di wajah saja. Ia memutar-mutar bola matanya, terlihat beberapa orang yang cukup sibuk. E....sepertinya ia malah jadi kambing congek di situ. Nggak ada yang kenal, maka ia pun memutuskan untuk pergi saja.

Ia berjalan perlahan menjauh dari sana. "Hai, kau mau kemana?" sebuah suara menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang, seorang pria tua berdiri tak jauh darinya. Orang yang tadi ia selamatkan. Rupanya dia peduli juga!

 "Aku belum tahu namamu dan kau sudah mau pergi!" katanya lagi. "E...aku!" tunjuknya pada diri sendiri.

"Ya, siapa namamu nak?"

"Liana!" jawabnya,

"Nama yang cantik. Aku sangat berhutang budi padamu, jika kau tidak datang mungkin aku sudah mati!"

"Itu hanya kebetulan, jika orang lain yang datang pasti dia akan melakukan hal yang sama!"

 "Tak semua orang berfikir seperti itu, oya...!" seru Willy.

Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sejumpah uang, menyodorkannya pada Liana. Liana hanya memandang uang di tangan pria tua itu, lama ia tertegun. Ia memang membutuhkan uang itu, tapi...jika ia terima maka kebaikan yang ia lakukan tidak ada artinya. Percuma saja ia berbuat baik jika akhirnya ia menerima uang itu.

"Maaf kek, aku tak bisa menerimanya. Bukan untuk itu aku menolong kakek!" tolaknya. Bodoh kau Liana, kau membutuhkan uang itu, bisik hatinya. Tapi sepertinya William mengerti hal itu, jika ia menyodorkan uang kepada orang yang menyelamatkannya, sama saja ia membeli kebaikan orang itu.

"Baiklah!" katanya menaruh kembali uangnya di dompet. Ketika ia mendongak, gadis itu sudah berjalan jauh darinya. Liana berjalan gontai, ia masih terbayang uang yang di sodorkan pria tua itu. Sekarang harus kemana lagi ia mencari uang? Tak apalah....setidaknya hari ini ia melakukan satu kebaikan. Mungkin itu bisa sedikit mengurangi dosanya.

 Rupanya karena rasa penasaran, William menyuruh salah satu polisi untuk mengikuti gadis yang telah menyelamatkan nyawanya itu sampai ke rumah. Liana memang langsung pulang ke rumah, apa yang baru saja terjadi sedikit membuat hatinya bergetar. Ini memang bukan pertama kalinya ia melakukan sebuah kebaikan tapi entah kenapa ia jadi berfikir untuk berhenti mencopet. Tapi...ia harus cari uang bagaimana lagi. Banyak usaha yang ia lakukan tapi selalu gagal.

Nicky langsung pulang ke rumah saat mendapat kabar bahwa kakeknya baru saja menjadi korban percobaan pembunuhan. Sekarang William sudah ada di rumah. Nicky langsung berhambur masuk ke kamar kakeknya, duduk di tepi ranjang.

"Kek, kakek tidak apa-apa?" cemasnya.

"Kakek baik-baik saja! " jawab William yang sedang duduk di ranjang. "Makanya kakek kalau pergi bawa saja bodyguard, itu lebih aman!" sarannya. "Nicky, kakek tidak apa-apa!" "Tadi ada seorang gadis yang menyelamatkan nyawa kami, jika dia tidak datang mungkin kami berdua sudah mati!" jelas Jaya. Tangannya di balut perban dan penyangga lengan. "Kau terluka Jay?" "Sudah bisa di atasi tn. Muda!" "Ada yang menyelamatkan kakek?" "Kakek sudah menyuruh orang untuk mengikutinya, kakek belum sempat berterima kasih padanya!" "Lebih baik, sekarang kakek kurangi keluyuran keluar rumah. Ini pasti belum berakhir, apa pembunuhnya berhasil lolos?" "Ya!" jawab Jaya. "Kalau begitu dia pasti akan kembali!" terka Nicky. Liana duduk di dalam rumahnya, rumah kecil yang hanya ada tiga ruangan. Satu kamar tidur dengan dua kasur lantai yang di satukan, kelima adiknya tidur di sana. Satu ruang tamu yang biasa ia gunakan untuk tidur di sebuah kursi panjang keras tanpa alas, hanya dengan menggunakan bantal di kepala. Satu dapur dan kamar mandi sempit. Rumah kontrakan itu bahkan sudah menunggak dua bulan, untuk mencopet tak setiap hari dapat hasil. Kadang pulang dengan tangan kosong. Ia melamun di sana, suara Adit, anak yang paling kecil membuyarkan lamunannya. "Kak Liana kenapa?" "A.... Kakak...tidak apa-apa." "Dimana kedua kakakmu, Rudi dan Vina?" "Lagi main di belakang kak, aku lapar!" "Oya, ada makanan di meja. Kau ambil saja sendiri ya!" suruhnya. "Iya kak!" katanya lalu berjala ke dapur. Liana bangkit, ia keluar rumah dan berjalan memutar ke belakang, di lihatnya Rudi dan Vina dengan bermain dampu bersama. " Rudi, Vina. Kakak mau pergi, adikmu ada di dalam. Kalian awasi dia, jangan sampai keluar rumah sendiri!" pesannya. "Iya kak!" Liana tersenyum sebentar dan beranjak pergi. Satu hal yang ia khawatirkan adalah jika dirinya tertangkap dan di penjara, atau parah lagi di keroyok sampai mati. Siapa yang akan merawat mereka, siapa yang akan peduli pada mereka? Hal itu sering mengganggu pikirannya. Kini ia kembali pergi mencari tempat yang ramai. Nicky akhirnya kembali ke kantor, tapi di perjalanan ia mampir dulu di pertokoan ruko. Memarkir MBW X6 nya di tepian jalan. Ia hendak membeli sesuatu, sebuah kado untuk Ivana. Biasanya perempuan suka kado, kejutan kecil. Sejujurnya Nicky memang tipe pria yang romantis, meski ia terkesan cuek. Ia keluar dari mobilnya. Trotoar tempat orang berlalu - lalangpun cukup ramai, banyak pejalan kaki yang melintasinya. Awalnya Nicky ingin masuk ke toko tas wanita, Ivana suka mengoleksi tas branded limited edition. Tapi untuk soal itu, biasanya ia akan belanja online jika tak sempat keluar negeri langsung. Akhirnya Nicky berjalan mencari toko perhiasan, mungkin sebuah anting atau gelang akan lebih menarik, biasanya wanita suka perhiasan. Apalagi berlian. Liana berjalan berlawanan arah dengan Nicky, tepatnya mereka akan berpapasan. Kali ini Liana memakai kembali topinya, ia memang selalu memakai topi jika sedang beraksi. Berjalan sedikit menunduk tapi dengan mata mengawasi sana-sini, mencari target yang pantas. Mereka pun bertubrukan, " hei!" seru Nicky. "Sorry!" balas Liana lalu langsung kembali melanjutkan perjalanannya, ia mempecepat langkah kakinya. Nicky merasa ada yang aneh, ada yang tidak beres. Lalu ia meraba saku celananya, depan dan belakang dan...."dompetku!" desisnya. Ia menoleh ke arah gadis yang menabraknya, ia sudah cukup jauh. Nicky kembali memeriksa pakaiannya, " oh sial!" desisnya . Ia pun kembali menoleh, mencari orang yang menabraknya. Ia masih bisa melihatnya, tanpa berkata apapun ia berlari mengejar. Liana berbelok di tingkungan. "Hei!" seru seorang pria , Liana menoleh dan berhenti. Terlihat seorang pria sedang berlari ke arahnya. "hei, tunggu!" serunya. "Gawat, sepertinya dia tahu!" desisnya, Lianapun berlari menghindar. "Hei, tunggu!" seru Nicky lagi, ia pun berlari kencang mengejar orang yang menabraknya. Mereka jadi kejar-kejaran, berlari semakin jauh dan memasuki daerah yang sepi. Gila! Nih perempuan cepet juga larinya. Tapi ia terus mengejar, Liana semakin bingung mau lari kemana lagi. Ia pun berbelok di tingkungan, kebetulan ada tumpukan barang bekas. Ia masuk di antara barang-barang itu. Ada beberapa papan yang berdiri bersandar tembok, ia bersembunyi di baliknya. Nicky sampai juga ke sana, ia melihat gadis itu belok ke sini tapi dalam sekejap dia sudah tidak ada. Padahal untuk mencapai tikungan selanjutnya, jaraknya cukul jauh. Nicky akhirnya pergi saja, berbalik lagi ke arah ia datang. Liana mengintip orang yang mengejarnya, sudah tidak ada. Makanya ia keluar dan berjalan santai melanjutkan perjalanan. Tapi tiba-tiba ada yang meraih lengannya dan dengan kasar memutar tubuhnya. Mencengkeram erat lengannya. Mereka berpandangan, seperti pernah melihat? Ini kan, pria yang aku tubruk tadi pagi? Kok bisa sih! Aduh...aku jadi deg-degan lagi, ini karena aku tertangkap atau karena pandanganya? "Kembalikan barangku!" desis pria itu. "A...!" Nicky langsung mengambil dompetnya yang ada di tangan kiri Liana. "Dasar copet, rupanya tadi pagi kau di kejar warga karena mencopet, tahu begitu harusnya aku bantu mereka saja!" "E...aku...aku!" Nicky malah menyeretnya, Liana menahan diri. "Kau mau bawa aku kemana?" "Ke kantor polisi!" "Apa!" serunya, membuat Nicky berhenti dan menoleh ke arah gadis yang di seretnya. "Kau itu copet, jadi harus ku bawa ke penjara!" "Jangan, aku mohon. Jangan penjarakan kau!" pintanya. "Jangan!" desis Nicky,"jika di biarkan kau akan meraja lela. Jadi kau harus di buat jera!" Nicky berusaha menariknya lagi, sekali lagi Liana menahan sekuat tenaga. "Tidak, aku mohon. Jika kau penjarakan aku, akan ada anak - anak yang kelaparan dan putus sekolah!" pintanya memelas. "Kau pikir aku percaya! Jangan membodohiku!" "Aku tidak bohong. Aku mohon, kau pikir aku suka melakukan ini? Kalau bukan karena terpaksa aku tak mau melakukannya!" serunya, matanya mulai sembab. "aku mohon padamu, jangan penjarakan aku! Percayalah, kasihan anak-anak itu!" Nicky diam, sepertinya wanita ini tidak bohong. Matanya seperti mengatakan kejujuran. "Ok, aku akan melepaskanmu. Tapi...aku tidak mau melihatmu lagi, jika tanpa sengaja kita papasan kau harus menghindar lebih dulu agar kita tidak bertemu, kau mengerti!" serunya, "karena jika kita bertemu lagi, dan kau sedang mencopet lagi, aku tidak segan-segan membawamu ke penjara!" tambahnya melepaskan tangannya dari lengan gadis itu. Liana memegang lengannya, "iya, aku mengerti!" jawabnya sambil menahan rasa sakit. Pria itu mencengkeramnya kuat sekali, tulangnya seperti mau remuk. Nicky kembali ke tempat semula, dimana ia memarkir mobilnya. Sementara Liana malah tak tahu mau kemana lagi. Yang jelas mereka berlawanan arah saling memunggungi. Nicky menggerutu melihat jam di tangannya, gara-gara gadis itu ia tak akan sempat membeli kado untuk Ivana, setelah ini ia ada meeting dengan Mahesh group, dan ia hampir telat. Makanya ia langsung saja masuk ke mobilnya dan tancap gas. Liana mulai bingung lagi. Hari akan menjelang sore dan ia masih tak membawa hasil kecuali tadi pagi, itu pun tak banyak, tidak akan cukup untuk membayar sekolah kedua adiknya. Mana bu Mirah yang punya kontrakan sudah nagih mulu. Kepalanya serasa mau pecah jadinya memikirkan hal itu. Ia memegang kepalanya sambil menggaruk, memberantaki rambutnya, "Aduh...bagaimana ini? Kemana lagi aku harus mencari uang." keluhnya.

*********

Part 3

( Trilogi ) Sayap-sayap Patah sang Bidadari ~ Inheritance ( first novel ) Tayang ; Senin, Rabu, & Jum'at Cast ; 1. Liana 2. Nicky ( Nicholas Harris ) 3. Willy ( William Harris ) 4. Jaya Saputra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun