Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Cinta yang Terlarang # 7 ; Kepercayaan yang Ternoda

19 September 2014   00:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:17 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antony duduk di ruang komputer, ia teringat percakapannya dengan Axel sebelum berkelahi. Itu memang kesalahannya, sebuah kesalahan yang fatal. Yang membuat persahabatannya dengan Axel harus berakhir dengan permusuhan.


Dulu persahabatan mereka sangatlah erat bahkan sudah seperyi saudara sendiri. Mereka selalu bersama, bermain, sekolah, mendukung pertandingan masing-masing. Hingga Axel pacaran dengan Amanda. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja, hingga Amanda mulai curhat soal sifat Axel yang gampang marah dan emosional pada Antony. Akhirnya mereka berdua malah menjalin affair di belakang Axel hingga Amanda hamil. Dan dari sanalah semua bermula.


"Gue tahu Man, tapi....gue belum siap buat nikah!" seru Antony.

"Lalu gimana sama bayi yang ada dalam perut gue Ton?" tangisnya.

Antony menghampiri Amanda yang duduk di sofa sambil menangis.

"Man, gue...gue belum bisa nikahin loe. Kita masih terlalu muda buat nikah!"

"Terus loe mau Axel yang nikahin gue, Ton. Bayi ini bayi loe bukan Axel, gue nggak mau dia nanggung dosa kita!"

"Bukan gitu Man, tapi...!"

"Tapi apa.....loe pengecut Ton, kalau loe nggak siap harusnya loe nggak tidurin Amanda!" seru Axel yang baru datang. Kebetulan otangtua Amanda dua-duanya sedang ada di kantor dan belum tahu masalah itu.

Antony dan Amanda menoleh. Axel menghampirinya dan langsung meninju Antony.

"Loe bener-bener brengsek!" maki Axel.

"Xel, maafin gue!" seru Antony menahan pukulan susulan Axel, Axel memandangnya dengan kecewa. Lalu pandangannya beralih ke Amanda. Dua orang yang paling ia sayangi dan ia percaya menusuknya dari belakang dengan cara yang kejam. Itu sangat menyakitkan. Axel menurunkan tinjunya.

"Gue nggak nyangka kalian tega sama gue!"


Amanda berdiri,

"Xel, maafin gue....!"

"Loe Ton, gue sangat percaya sama loe. Tapi apa....loe khianatin kepercayaan gue, loe tega!" geramnya.

"Xel, ini terjadi begitu aja. Gue juga nggak berfikir sebelumnya kalau gue dan Amanda bisa saling suka, dan....!"

"Kalian nggak saling suka, kalian itu cuma gila. Man...loe udah denger sendiri kan, Antony nggak mau nikahin loe!"

"Tapi Xel, anak ini anaknya bukan anak loe. Gue nggak mau loe nanggung aib yang nggak pernah loe lakuin!"

"Gue sayang banget sama loe, dan gue rela ngelakuin apapun. Termasuk nikajiin loe!" tegasnya. Mendengar itu airmata Amanda semakin deras, rasa bersalahnya terhadap Axel juga semakin dalam. Axel begitu mencintainya tapi ia malah selingkuh dengan sahabatnya. Lalu apa yang harus ia lakukan? Menyesal tidak akan berguna sekarang, ia telah mgkhianati cinta yang begitu tulus yang Axel berikan padanya. Amanda menghampiri Antony,

"Loe harus nikahin gue!"serunya memegang lengan Antony dan mengguncangnya, "Loe harus nikahin gue Ton, loe harus tanggung jawab!" serunya dalam tangis.


"Man...kita nggak harus nikah kalau bayi itu nggak ada. Nggak sekarang!" jawab Antony. Mendengar itu Amanda melepaskan pegangannya perlahan.

"Apa maksud loe? Loe....loe mau gue gugurin bayi ini? Ton.....!" lirih Amanda sambil menggeleng pelan. "loe...loe tega Ton!" tangisnya.

"Man, please!" desis antony.

Amanda berlari ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam. Sementara sekali lagi Axel meninju Antony hingga terjerembat di lantai.


"Loe pengecut Ton, nggak seharusnya berfikir seperti itu!"

"Xel, gue nggak bermaksud kaya' gitu, gue cuma....!"

"Diam!" hardik Axel sambil menudingnya, "mulai detik ini persahabatan kita usai, gue....benci sama loe!" katanya lalu pergi.

Ia berniat datang ke rumah Amanda berniat untuk mengutarakan bahwa dirinya siap menikahinya meski itu bukan anaknya dna usia mereka masih dini. Tapi Amanda tetap tak mau, ia tetap ingin Antony yang menikahinya karena anak itu anak Antony yang sudah jelas tak siap menikahinya. Axel melangkah dengan rasa kecewa yang double, sahabatnya dan gadis yang di cintainya. Dua-duanya...menikam kepercayaannya, menikam hatinya.


"Xel!" seru Antony mengejarnya.


Di dalam kamar Amanda berkaca di deoan cermin riasnya, memegang perutnya. Ia memungut sebotol obat penenang, menuang isinya ke tangan dan menelan semuanya. Mendorongnya dengan segelas air putih, ia berharap ia segera mati. Tapi belum ada reaksi, sementara ia sudah tak tahan lagi menahan semuanya. Ia pun berlari ke teras atas. Memanjat dindingnya, berdiri di atasnya. Ia mengenang masa indahnya bersama Axel. Ia memang bodoh, kenapa ia bisa berkhianat, kenapa ia bisa selingkuh.


"Maafin gue Xel, maafin gue...!" tangisnya, ia memejamkan mata dan membiarkan dirinya terjatuh ke bawah. Tepat saat Axel melangkah ke teras, ia melihat tubuh Amanda jatuh di depan matanya, menghentikan langkahnya seketika.

Axel begitu terkejut begitu pun Antony yang ada di belakangnya. Darah mengalir dari kepalanya karena dahinya terbentur keras. Axel langsung berlari dan membalikan tubuhnya.

"Man, Manda...!" tangisnya.

Amanda masih bernafas, tapi sepertinya ia sudah tak mampu lagi bertahan. Ia mencoba membuka mulutnya untuk mengucap kata maaf sekali lagi buat Axel, tapi ia tak mengeluarkan suara sedikitpun. Dan....tubuhnya terkulai lemas, rohnya melepaskan diri dari jasadnya, seketika tubuhnya jadi dingin.

"Manda....Man...!" bisik Axel, tapi gadis itu sudah tak bernyawa lagi. Axel memeluknya erat dalam tangis.


Antony hanya diam terpaku, airmatanya mengalir deras. Itu kesalahannya, Amanda melompat pasti karena dirinya tak siap menikahinya dan malah berfikir untuk menggugurkan bayi itu. Lalu sekarang apa? Amanda memilih untuk mati demi rasa bersalahnya pada Axel.


*****


"Amanda...!" teriaknya bangkit dari sandaran kursi. Antony melihat sekeliling, ia masih di ruang komputer, dan untungnya tak ada seorang pun di sana. Nafasnya tampak tak teratur, keringat dingin membasahi tubuhnya.


Ia menyeka wajahnya lalu keluar dari ruang komputer.


Selesai jam olahraga untuk kelas Jesie, ia berjalan ke arah lokernya bersama Reta. Tapi ia terkejut karena dari luar lokernya nampak seperti basah. Ia pun maju dan membukanya. Alangkah terkejutnya ia melihat baju seragam dan sepatu gantinya basah kuyup dan bau comberan.


"Siapa yang ngelakuin ini?" desis Reta.

Apakah Axel....tapi...nggak mungkin, Tadi pagi setelah perkelahian itu....nggak mungkin Axel.


Jesie menutup kembali lokernya. Menggerutu. Dan beranjak pergi.


Di dalam kelas, saat mata pelajaran terakhir. Pak Edon masuk ke dalam kelas.

"Putra, tolong bagikan kertas ini!" perintahnya. Putra sang ketua kelas langsung berdiri maju dan memungut kertas yang di sodorkan pak Edon dan mulai membagikanya.


"Jesie, kenapa tak ganti seragam?"

"A...anu pak. Tadi...seragamnya basah!" jawabnya.

"Lain kali hati-hati, jika tak pake seragam lagi bapak hukum!"

"Iya pak!"


Sara meliriknya.

Sial, kenapa nggak di hukum sih? Mentang-mentang murid baru! Kesalnya dalam hati.


"Itu adalah undangan untuk acara besok lusa, kita kan memperingati hari Ibu dengan menggelar berbagai acara. Salah satunya baca puisi dan juga drama yang sudah di persiapkan kelas lain sejak minggu lalu. Kalian yang dapat tugas sudah buat persiapan bukan. Jangan lupa agar orang tua kalian datang!" jelas pak Edon.


Jesie tertunduk. Selama ini ia selalu tak masuk sekolah setiap hari ibu tiba. Apa kali ini ia juga kan membolos?

Pulang sekolah Jesie duduk di taman samping dengan Reta, ia menceritakan tentang Ibunya. Saat itu Sara memang mendengarkan percakapan mereka di balik tiang tembok.


"Oh, jadi gitu ya. Dan sampai sekarang bahkan loe nggak tahu muka nyokap loe dong!"

"Gue nggak peduli, gue berharap nggak pernah ketemu dia!"

"Tapi Jes...!"

"Selama ini gue bisa hidup dengan Ayah, meski banyak temen-temen gue yang ngolok-ngolok soal hal itu!"

"Ya udah, lusa kan acara bebas. Para guru nggak bakalan tahu kok kalau nyokap loe nggak ada. Lagian semua juga tahu loe cuma hidup sama bokap loe doang. Jadi nggak usah di pikirin!" Reta mencoba menghiburnya. Jesie tersenyum padanya, Reta membalas senyuman itu dengan lebih lembut. Menatapnya dalam.


Jesie memutuskan pulang sendiri padahal Reta menawari buat mengantarnya pulang. Jesie menolak karena arah rumah mereka berlawanan. Ia menelusuri jalanan dengan gontai, tapi lamunannya di buyarkan dengan kedatangan seseorang dengan motornya di sampingnya. Jesie menoleh, ia tahu siapa cowo itu.

Axel membuka helmnya, memeluknya di perut dan tersenyum.

"Kenapa loe senyum-senyum? Seneng lihat gue jalan kaki sekarang?" jutek Jesie.

"Kan jadi lebih sehat, olahraga!" jawabnya.

Jesie mendesah.

"Eh, gue mau nanya. Loe yang ngguyur loker gue pake air comberan?"

"Apa, loker loe?" desisnya kaget.

"Ya, soalnya yang jail sama gue tuh loe doang deh perasaan!"

"Ok, gue emang bakar sepeda loe, tapi soal loker gue nggak tahu!"

"Terus siapa dong?"

"Ya mana gue tahu, cari aja sendiri!"

Jesie jadi cemberut.

"Mau gue anter?" tawar Axel tiba-tiba, membuat Jesie melotot dan tertawa geli. Apa dunia ini udah kebalik, Atau telinganya yang udah rusak?

"Nggak salah nih!"

"Ya...itung-itung, sebagai permintaan maaf gue karena tadi pagi gue udah ninju muka loe!"Serius Axel. Jesie terdiam, jika melihat sikapnya sepertinya memang bukan Axel pelakunya.

"Ehm...nggak deh. Rumah gue deket kok, gue bisa jalan!" tolaknya.

"Bener nih, ntar kalau ada preman lagi gue nggak bisa nolongin ya!"

"Yee...lagian siapa yang ngarep loe nolongin gue!" balasnya.

"Ya udah!" katanya menaruh helmnya di atas spion. "Eh, loe masih punya utang loh sama gue!" desis Axel,

"Utang!"

"Sore itu."


Aduh, mati! Dia masih inget aja sih.

"E....soal itu....gue rasa kita impas!"

"Impas?"

"Tadi pagi loe mukul gue, jadi gue nggak punya utang!"

"Itu urusan lain!"

"Lain gimana? Nggak." katanya berlalu tapi Axel menarik pergelangan tangannya. Menahannya. Beberapa anak yang sedang menunggu angkot dan berjalan kaki memperhatikan mereka.

"Lepasin!"

"Nggak, bayar dulu!"

"Xel.... Kita di lihatin banyak anak!"

"Biarin aja, peduli apa sama mereka." cueknya. Jesie mencoba meronta tapi tangannya malah terasa mau putus, tangan cowo itu kuat sekali.

"Xel, please lepasin gue!" pintanya.

"Gue bakal lepasin loe kalau loe mau gue anterin pulang!" tawarnya.

"Gue nggak mau!" tolaknya lagi.

"Oh, loe mau gue cium loe di sini!" godanya dengan senyum.

Jesie membulatkan biji matanya, ternganga. Axel memegangnya erat sekali, ia tak mungkin bisa lepas. Cowo ini bisa saja menariknya dan menciumnya langsung. Ih.... Jesie menggelengkan kepalanya.

"Ok, gue ikut loe!" katanya setuju.

Senyum Axel mengembang lebar, tapi ia masih menggegam tangan Jesie erat. Takut Jesie akan lari.


Ya ampun.....senyumnya manis sekali! Itu membuat Jesie mati kutu, yang tadinya mau marah jadi nggak bisa. Dan malah berhenti meronta, menatapnya dengan lembut. Mobil Antony berhenti di gerbang, ia berniat mau mengantar Jesie tapi ia malah melihat Axel sedang memegang tangan Jesie, dan keduanya bertatapan lembut. Axel tersenyum, senyum yang sudah lama sekali tak pernah Antony lihat sejak kematian Amanda. Hatinya memang perih tapi ia juga senang bisa melihat Axel tersenyum seperti itu lagi. Kini ia tahu Axel memang menyukai Jesie, dia menjailinya bukan karena iseng atau benci, tapi untuk mendapatkan perhatian gadis itu.


**********

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun