Tiba-tiba ia ingat semalam Jesie kan pergi ke telaga pas ada masalah, siapa tahu sekarang dia juga ada di sana. Axel segera mengayuh sepedanya ke telaga. Jesie memang di sana, duduk menghadap telaga, sedang menghapus airmatanya. Memunguti batu-batu kecil dan melemparnya ke telaga. Axel menaruh sepedanya di dekat pohon dan menghampiri Jesie.
"Mewek lagi loe!" serunya duduk di sampingnya. Jesie menoleh sejenak lalu kembali menghadap air telaga.
"Gue emang suka usil, tapi bukan gue yang nulis semua itu. Gue nggak suka buka aib orang dengan cara pengecut kaya' gitu. Loe tenang aja gue lagi cari orangnya kok!"
Jesie diam. Sepertinya Axel berkata jujur.
"Nggak usah di pikirin, itu cuma anak iseng!"
"Terkadang gue benci sama diri gue sendiri karena punya nyokap kaya' gitu!" serunya, "kenapa ada perempuan yang rela ninggalin anaknya cuma karena harta?"
"Kalau begitu loe nggak usah pikirin lagi dong, cuek aja. Yang penting loe masih punya bokap yang sayang sama loe!"
Jesie menoleh, menatap Axel. Axel juga menatapnya dalam. Mereka kembali berpandangan, berbicara lewat bahasa mata. Yang Jesie heran, setiap dirinya sedih Axel selalu muncul. Saat dirinya butuh pertolongan kaya waktu di kroyok preman Axel yang muncul. Rasanya selalu Axel yang selalu ada buatnya. Kini mereka malah hanyut dalam tatapan itu. Tapi Axel mengalihkan pandangannya lebih dulu, menatap ke air telaga. Jesie juga melepas pandangannya perlahan.
"Udah jangan sedih mulu. Gue tahu, cara buat ngilangin sedih!"
"Ha, apaan!"
"Balap sepeda, berani nggak loe!" tantang Axel.
"Siapa takut, tapi....!"
"Tapi apa?"
"Gue udah nggak punya sepeda."
Axel mendesah.
"Bego'!" makinya menyeret tangan Jesie sambil berdiri dan berjalan meninggalkan telaga. Jesie hanya menurut saja saat Axel menyeretnya ke arah dua sepeda yang nangkring di bawah pohon.
"Ini sepeda siapa?"
"Kita!"
"Heah... Kita!"
"Satu punya gue, satu punya loe!"
"Maksud loe?"
"Aduh...telmi banget sih. Gue kan pernah bakar sepeda loe, so...nggak ada salahnya kan gue ganti. Sama persis kan!"
Jesie mengamati sepedanya, itu memang sama persis. Sepeda United warna hitam-merah.
"Siapa bilang persis, sepeda gue udah nemenin gue 3 tahun terakhir ini, nah ini...gue belum kenal!"
"Pake kenalan segala, loe pikir orang!"
"Anyway...thanks ya!" desis Jesie sedikit malu, "Tapi...!"
"Tapi?"
"Gantiinnya kelamaan tahu nggak!" ketusnya.
"Yang penting kan udah gue ganti dari pada nggak!"
Jesie naik sepedanya.
"Ok, kita balapan. Lets go....!" katanya sambil mengayuh.
"Eh.... Jangan curang dong!" seru Axel yang langsung naik sepedanya dan menyusul Jesie, mengejarnya.
"Awasnya loe main curang!" kesalnya.
Mereka kejar-kejaran dengan sepeda, baik Jesie maupun Axel terlihat sangat behagia. Mereka memutar telaga hingga sampai ke tempat semula. Jesie sampai lebih dulu. Ia menghentikan sepedanya,
"Ye....gue menang!" girangnya. Axel menyusul di belakangnya.
"Loe curang, ini nggak fear!" protes Axel.
"Bodo, yang penting gue sampe duluan. Cowo brengsek kaya' loe sekali-kali di curangin juga nggak apa-apa!"
"Sekali lagi loe bilang gue brengsek, gue cium loe!" ancamnya.
"Coba aja kalau berani, wuek...!" balas Jesie menjulurkan lidahnya dan mengayuh sepedanya lagi. Axel menggerutu, "ok!" sahutnya mengejar lagi. Kali ini Axel mengayuh sepedanya lebih kencang hingga bisa mendahului Jesie.
"Sekarang siapa yang jadi pecundang?" serunya sambil menoleh Jesie yangbdi belakangnya. Jesie cemberut karena Axel berhasil mendahuluinya. Tapi tiba-tiba muncul ide buat ngerjain Axel, kebetulan di depan turunannya nggak rata.