Airin dan Vida keluar memakai pakaian santai, udara masih sangat segar. Baru jam 6 pagi mereka keluar dari resort tapi rupanya semua temannya juga sudah bekumpul di luar.
"Wah...., sepertinya kami yang paling lambat!" seru Vida mendekat ke kerumunan.
"Kami juga baru keluar!" sahut Vena.
"Rencana mau ngapain nih pagi-pagi gini?" tanya Vida seraya menggandeng lengan Pandu.
"Bagaimana kalau jogging saja dulu, mumpung matahari baru muncul!" sahut Arjuna yang baru muncul di belakang Airin. Semuanya menoleh,
"Boleh juga," tambah Rado.
Semua pun akhirnya jogging bersama-sama. Juna berada di barisan paling belakang, Airin di depannya. Yang lain berpasangan, Rado ikut rombongan Vena. Sepertinya semuanya memang memberi Juna peluang untuk lebih dekat dengan Airin.
Perlahan Juna mulai bersebelahan dengan Airin, tapi mereka sama sekali tak berbicara satu sama lain. Bahkan hingga kembali ke tempat semula, akhirnya Juna juga mengusulkan untuk bermain voli. Tapi hanya para Pria saja yang bermain, sedang para wanita yang jadi penonton sekaligus menyemangat.
Suasanya memang cukup akrab dan hangat, Arjuna memang orang yang easygoing dan komunikatif sebenarnya. Ia bisa berbaur akrab dengan para anak buahnya.
Vida mendekatkan kepalanya pada Airin, "menurutku pak Juna boleh juga. Dia juga baik, nyatanya biaya resortnya dia yang tanggung semua!"
"Lalu?"
"Ayolah Rin, tak ada salahnya memberinya kesempatan. Jelas sekali dia menyukaimu, memangnya kau mau menunggu Randi sampai kapan, Sampai keriput? Orangtuamu nanti pasti malah akan menjodohkanmu!"
"Kau pikir menjalin hubungan seperti itu semudah membalik kertas?"
"Aku baik-baik saja tuh sama Pandu, meski dulu orangtuaku juga tak setuju. Tapi kan sekarang orangtuaku yang justru meminta Pandu cepat menikahiku!"
"Kamu bunting duluan kali!" kelakar Airin.
"Enak aja, kalau aku bunting duluan bisa di gorok sama papa!"
"Iya Rin, usia kamu juga sudah cukup matang untuk menikah. Untung kamu bermukim di Jakarta, coba kalau tetap tinggal di kampung sama orangtuamu, pasti kamu sudah di bilang perawan tua!" samber Vena,
"Ya biarin aja, toh bukan para tetangga yang kasih makan aku. Peduli amat sama gosip mereka,"
"Tapi orangtuamu pasti peduli!"
"Udah ah, kalian ini. Semangat banget deh mau ngejodohin orang!"
Usia Vena dua tahun lebih muda dari Airin dan sekarang dia lagi hamil muda oleh suaminya, sedang Vida yang setahun di bawah Airin juga dua bulan lagi akan segera melangsungkan akad nikah. Diam-diam Airin juga memperhatikan Juna yang sedang asyik bermain voli satu tim dengan Rado. Dia piawai juga di olahraga itu, lagi-lagi hal itu mengingatkannya pada Randi. Dulu merrka juga sering main Voli bersama, dan Randi memang jago di bidang olahraga itu.
*****
Selesai mandi dan Sholat dzuhur Airin mencari teman-temannya dan tak menemukan mereka. Sepertinya dirinya memang sengaja di tinggalkan padahal kan tadi sudah janji mau makan siang bareng.
Ia keluar dari resort dan malah bertemu Arjuna di pintu keluar, pria itu juga terlihat sedang mencari seseorang. Tapi ia langsung tersenyum ketika melihat Airin, dan langsung menghampirinya.
"Hai," sapanya.
"Hai," jawab Airin.
"Kau melihat semuanya?" tanya Arjuna, Airin sedikit mengernyit karena kurang mengerti dengan pertanyaannya.
"Maksudku teman-temanmu, aku mencari mereka tapi tak menemukan satupun. Padahal aku sudah janji akan mentraktir mereka!"
"Saya juga sedang mencari mereka, Pak!"
Arjuna mendesah panjang,
"Sudah ku bilang jangan panggil Pak di luar kantor, kita sedang liburan kan?"
"Saya tidak akan memanggil anda Pak, jika itu berlaku untuk yang lain juga!" jawab Airin memberi syarat.
"Tak masalah, mereka sudah mulai akrab denganku di luar kantor. Cuma kau saja yang masih bicara formal!"
"Oh..., begitu kah. Aku tidak tahu!"
"Begitu lebih enak. Bagaimana kalau kita jalan berdua,"
Airin memandangnya.
"Maksudku...., kita jalan sambil mencari mereka sekaligus mencari makan siang!"
Airin mengangguk.
Mereka akhirnya berjalan berdampingan, masih diam untuk beberapa saat.
"Apa kau sudah lapat?" tanya Juna.
"Aku tak terlalu lapar, tadi sarapannya sedikit kesiangan soalnya!"
Airin meliriknya, ia melihat ada kamera yang tergantung di leher pria itu.
"Apa kau suka fotografi?" tanya Airin, mulai kepo dia rupanya.
"Ya, itu memberi kepuasan tersendiri!"
Satu hal lagi kesamaan Arjuna dengan Randi. Sama-sama menyukai fotografi, dan juga jawaban yang sama. Seperti ada sesuatu yang mendesir di jiwa Airin, suatu rasa yang lama hilang dari hidupnya. Tapi kenapa semua yang ada pada diri Arjuna selalu mengingatkannya pada Randi? Apakah mereka saudara, atau mungkin teman? Padahal ia justru berharap, jika suatu saat muncul orang lain yang mampu menggetarkan hatinya kembali, orang itu adalah orang yang berbeda. Orang yang tidak akan mendekatkannya pada masalalunya.
"Lalu...., kenapa tak jadi fotografer saja?"
Ada tawa ringan yang merdu yang keluar dari mulut pria itu ketika menjawab pertanyaannya, "karena mungkin takdir berkata lain. Terkadang...., apa yang kita jalani tak seperti yang kita inginkan. Dan itu sering terjadi,"
Mereka berjalan di bibir pantai, sesekali air laut akan membasahi kaki mereka. Arjuna mulai mengangkat kameranya dan mengarahkannya ke laut, menangkap beberapa gambar. Ada sekumpulan burung yang sepertinya juga menarik perhatiannya. Ia mulai merjalan lebih cepat mendahului Airin, perlahan membalik tubuhnya dan berjalan mundur sambil mengambil beberapa gambar.
"Kau sendiri, kegiatan apa yang paling kau sukai?"
"Ehm...., sebenarnya aku suka menulis novel. Tapi karena sibuk bekerja, paling hanya sesekali membuat puisi di note pribadi."
"Ada website pribadi?"
"Aku tak membuat satupun, hanya untuk koleksi sendiri!"
Diam-diam Arjuna mengambil gambar gadis itu beberapa kali, awalnya Airin tak menyadari tapi akhirnya ia curiga juga karena kamera pria itu mengarah padanya.
"Bisakah kau minta ijin dulu kalau mau mengambil gambar seseorang?" tanyanya.
Juna tertawa tapi ia tak menurunkan kameranya, "Jika aku minta ijin kau pasti akan menolak!"
Airin ikut mengeluarkan tawa kecil sambil mengarahkan telapak tangannya ke kamera Juna untuk menutup lensanya. Tapi Juna malah menggeser posisinya untuk mengambil gambarnya lagi. Airin masih mencoba menghindar.
"Hentikan!" pintanya masih dengan senyuman.
Juna melihat hasil fotonya, masih berjalan mundur. Perlahan ia membalik tubuhnya kembali dan berjalan ke depan di samping Airin. Airin melirik, pria itu tampak senyum-senyum memandangi foto wanita yang ada di layar kamera.
"Bisakah kau hapus itu?"
"Boleh aku menyimpanya?"
"Tidak!"
"Aku tidak peduli, aku akan menyimpannya!" godanya,
Airin melirik sekali lagi lalu mencoba menggapai kamera itu, dengan sigap Juna menjauhkannya. Meliriknya dengan senyuman melihat ekspresi kecewa gadis itu karena tak berhasil merebut kameranya. Airin mencoba lagi seraya berseru,
"Berikan padaku!"
"Tidak!" jawabnya menjauhkannya lagi.
"Kau tahu, itu sangat tidak sopan. Aku tidak mengijinkanmu menyimpannya!"
Arjuna tertawa lagi, "tapi aku sudah memilikinya!" katanya melonjat maju dan berbalik ke arah Airin. "aku tidak akan menghapusnya!" sekali lagi ia mengambil gambar sang gadis.
Itu membuat Airin geram lalu melangkah, tapi pria itu malah lari. Airin pun mengejarnya, dalam keadaan itu Juna masih sempat berbalik dan memotretnya lagi.
"Hentikan itu!" seru Airin masih terus mengejar. Tapi Juna malah semakin asyik berlari mundur sambil memotretnya lagi berulang-ulang. Masih ada tawa di sana, dalam hati Juna merasa senang karena berhasil membuat gadis itu tertawa bersamanya. Dan nampak ekspresi bahagia di wajah gadis itu. Tapi tiba-tiba Airin tersandung batu kecil di antara pasir putih itu hingga membuatnya terjatuh tersungkur.
Seketika tawa Juna menghilang, ia melepas kameranya dan menghampiri gadis itu.
"Airin, kau tak apa?"
Airin hanya menggeleng sambil merintih memegang lututnya, Juna membuka tangan Airin yang menutupi lututnya sendiri. Rupanya ada parut di lutut itu dan pergelangan kakinya seperti sedikit terkilir.
"Maaf, aku membuatmu terjatuh!" desis Juna.
"Tidak, aku saja yang tidak hati-hati," sahutnya, "lagipula ini hanya luka kecil!"
Arjuna membantunya berdiri, tapi Airin hampir terjatuh lagi dan merintih karena kakinya tak bisa ia gunakan untuk berjalan.
"Sepertinya kakimu terkilir!" seru Juna. Ia kembali mendudukan Airin di atas pasir lalu mengamati pergelangan kaki gadis itu. Juna mulai mencari titik terkilirnya, jemarinya bergerak perlahan di kulit Airin. Sedikit memijatnya, lalu ia sedikit memutarnya untuk mengembalikan urat yang tergeser,
"Auw!" Airin menjerit pelan.
"Maaf, bagaimana sekarang?"
Airin mencoba memutarnya, rasa sakitnya memang sudah mendingan,
"Lumayan!"
Arjuna beralih ke sisi Airin dan hendak mengangkat tubuhnya. Tapi Airin menghentikannya, "Kau mau apa?"
"Membawamu kembali ke resort,"
"Aku bisa jalan!"
"Ku rasa belum,"
"Tapi....,"
Arjuna tak mau berargumen lagi, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya dan membawanya kembali ke resort. Pria itu berjalan cukup cepat di bawah terik matahari. Terlihat keringatnya menetes dari wajahnya, dan bau parfumnya justru semakin semerbak mengelilinginya. Ia terus menagamati wajah pria itu selama perjalanan ke resort.
Sesampainya di sana, ternyata yang lainnya sedang bercanda santai di ruangan terbuka. Mereka merasa heran kenapa bosnya menggendong temannya seperti itu. Vida lengsung berlari menghampiri.
"Ada apa?"
"Tadi aku terjatuh!"
"Lalu bagaimana?"
"Sudah tidak apa-apa!" tambah Airin.
"Kakinya terkilir," sahut Juna.
"Hah...., Rin. Terus kaki kamu gimana?" panik Vida.
"Udah nggak apa-apa kok!"
"Ya udah, sebaiknya kamu istirahat aja ya di dalam!" seru Vida.
Arjuna membawanya ke dalam kamar Airin dan menaruhnya perlahan di ranjang.
"Apa perlu ku panggilkan dokter atau tukang pijit? Siapa tahu di sini ada!" tawar Vida,
"Tak perlu, ku rasa sudah membaik sekarang!" tolaknya.
"Maaf ya, membuat kakimu seperti itu!" desis Juna.
"Ini karena kecerobohanku saja, tak perlu merasa bersalah!"
Vida melihat sudah ada keakrapan di antara keduanya. Ia pun berniat menyingkir, "kalau begitu, aku keluar dulu!" seru Vida,
"Tunggu, ku rasa akan lebih baik jika kau saja yang menemaninya, kalian kan satu kamar!" katanya seraya berdiri.
Vida mengangguk saja, Arjuna keluar dari sana. Setelah pintu tertutup rapat, ia segera menghampiri temannya, memperhatikan kaki Airin dan menekannya dengan telunjuknya. Seketika Airin menjerit pelan.
"Auw! kamu ini apa-apaan, sakit tahu!"
Vida tertawa ringan sambil meringis, "maat, sakit beneran ya?"
"Ya iyalah, emang kamu pikir aku pura-pura?"
"Ya kali aja buat dapetin perhatiannya bos Juna!" timpalnya dengan tawa kecil.
"Emangnya kamu!" balas Airin. "eh, kenapa tadi kalian ninggalin aku? Kan aku sudah bilang, tungguin aku selesai dzhuran dulu!" kesalnya.
"Ehm...., ini idenya Rado. Kita emang sengaja ninggalin kalian berdua!"
"Rado?" heran Airin.
Bukannya selama ini justru Rado mencoba mendekatinya, tumben sekarang malah ikutan nyomblangin juga.
"Ngomong-ngomong....., tadi kemana aja?"
"Nggak kemana-mana!"
"Ah, yang bener?"
"Apaan sih. Please deh!" kesal Airin.
Vida hanya tersenyum, tapi ia senang dengan kedekatan dua orang itu. Dan sepertinya dengan cederanya Airin. Juna akan semakin perhatian dan Airin akan semakin sulit menghindar. Itu bagus untuk membuka sebuah hubungan. Jujur, Vida melihat Arjuna memang orang yang baik dan sopan. Dia pasti bisa menjaga perasaan temannya, dan juga bisa memahaminya.
**********
Terima kasih bagi sahabat yang sudah menyimak, cerbung ini bersambung sewaktu-waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H