Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terjebak di Hotel Kumuh

8 Januari 2015   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bangkok, Thailand


"Gimana, jadi ikut nggak?" bujuk Indira padaku, sedari tadi dia terus membujukku. Aku yang masih asyik menyantap seafood Tomyam yang masih setengah porsi hanya memutar bola mataku saja.
"Ayolah, Nad!" lanjutnya sambil menyenggol lenganku lembut, Nih anak kalau ada maunya nggak bosan-bosannya menjadi setan penggoda.
"Aduh Indi.....kamu kan tahu aku nggak suka masuk klub, bau alkoholnya aja udah bikin aku mau muntah, apalagi kalau sampe nenggak. Bisa keracunan!"
"Itu klub malam berkelas, kamu jangan khawatir nggak bakal keracunan kaya oplosan yang lagi heboh di negera kita!"
"Lebih baik kita jalan ke tempat lain, pasar malam kek!"
"Ih, kaya' anak kecil aja. Udah nggak jaman kali pasar malam. Lagian si Tien bakal bawa temen-temennya!"
"Nah...., itu yang bahaya!" sahutku, ku dekatkan mulutku ke telinganya, " di Bangkok ini banyak bandar narkotikanya, siapa tahu si Tien mu salah satunya!"
"Ngawur kamu, jangan negatif thinking muku deh!" balasanya,
"Jaga-jaga dudul!"

Indira emang nggak bisa lihat cowo mentereng dikit, langsung di embat. Dasar player! Tapi jujur ya, cowo yang bernama Tien yang duduk di depan kami itu emang mirip Toni Jaa....nggak heran sih kalau Indira sampe kecantol. Untungnya dia nggak bisa bahasa Indonesia, jadi masih aman tadi aku omongin.

Akhirnya karena bujukan setannya lebih kuat aku ikut juga, lagian nggak mungkin aku biarin Indi pergi sendiri bersama rombongan cowo nggak di kenal. Kami di sini sudah hampir dua minggu, ada urusan pekerjaan, dah kelar sih. Lusa kita udah harus balik ke Jakarta.

Kami berdua memasuki klub itu yang memang sudah penuh di jam segini. Ada seorang penari streptease yang sedang beraksi di panggungnya, sepertinya Indi sudah menemukan kelompok Tien. Kami segera menghampiri mereka, ada empat orang pria di sana satu di antaranya sudah menggandeng seorang wanita. Entah pacarnya atau hanya bookingan, aku tak peduli. Indira langsung cipika-cipiki sama Tien, tak ada pengenalan antara kami. Kedua teman Tien itu aku belum tahu, salah satunya aku sudah tahu, nama panggilannya Akang. Nama panjangnya, ah...susah. Dari tampangnya dia sama berkelasnya dengan Tien, satunya lagi....bertampang layaknya preman. Satu lagi....berwajah lebih lembut, dengan sorot mata yang tajam. Ya....sedikit mirip orang Indo lah....., kami bercanda dan ngobrol, tentu pakai bahasa Inggris. Aku nggak tahu bahasa Thai, dan merrka sepertinya emang nggak tahu bahasa Indonesia. Lalu kami melakukan permaianan, yang kalah harus memilih tantangan atau minum. Wah....pasti tantangannya gila, minum aja deh. Meski aku nggak tahu sejauh mana aku bisa kuat dengan setetes wine.

Sialnya, aku selalu kalah. Entah sudah berapa gelas yang masuk ke dalam perutku. Rasanya perutku hendak terbakar, kepalaku pusing 90 keliling dan kepalaku tak mampu lagi ku tegakkan.

*****

Ku buka mataku perlahan, kepalaku masih pening sekali. Aku mencium bau yang tak biasa di kasur itu, biasanya saat aku terbangun tidur, aku mencium aroma segar di kamar hotel. Lah....ini, baunya kaya' kandang babi, spontan aku langsung bangkit dan melihat sekeliling. Aku berada di sebuah ruangan yang.....huh....acak-acakan, semua dinding dan langit-langitnya terlihat sudah pudar. Banyak barang dan pakaian berserakan.

"Oh My God!" desisku, dimana aku? Perutku langsung ingin meluncurkan semua isinya, aku meloncat dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Sialnya lagi....aku terpeleset entah apa, dan membuatku terjatuh. Seketika aku mencium bau busuk di hidungku, ku tengok apa yang berada di lantai yang sekarang berhadapan dengan mukaku. Kaos kaki....wuok....entah berapa lama tak bertatapan dengan air dan sabun. Aku langsung bangkit, kembali berlari ke kamar mandi. Belum juga sampai di pintu, pintu kamar mandi itu pun terbuka. Seorang pria muncul di ambang pintu hanya mengenakan celana kolor warna putih.

"Aaa.........!" lengkingan panjang langsung keluar dari mulutku, dan dia malah ikut berteriak meski sebentar. Lalu menaruh telunjuknya di depan mulutnya sendiri sambil berdesis, "ssssttt!"

Aku berhenti berteriak, lalu aku berlari kembali ke ranjang dan berdiri merapat tembok. "siapa kau, kenapa ada di sini dan kenapa aku juga ada di sini?" teriakku.
"Jangan berteriak-teriak, aku tidak tuli!" sahutnya. Aku tertegun menatapnya, "semalam kan kita minum bersama, kau sudah lupa!" tambahnya.

Ku perhatikan dia secara seksama, ya Tuhan....dia kan teman Tien yang punya mata yang indah itu! Bagaimana....aku bisa bersamanya di sini?

"Kau....kau bisa bahasaku?" desisku, "kenapa, aku orang Indo!" sahutnya dengan tenang seraya berjalan ke arah kursi dan memungut sepotong kaos warna merah, memasukan tubuhnya ke dalam kaos itu. Pas sekali, kulitnya yang agak coklat dan sangat maskulin berpasangan dengan kaos merah itu.
"Oh....!" desisku, aku melihat diriku sendiri yang ternyata hanya mengenakan tank - top warna hijau milo dan celana pendek setengah paha. Aku terkejut.....mulutku membentuk huruf o melihat diriku sendiri, lalu aku segera mencari sesuatu. Ku temukan sebuah kemeja, langsung ku kenakan saja, wangi! Tak berbau busuk seperti yang lainnya yang berserakan di mana-mana. Dimana jaket dan celana jeansku? Aku tak melihatnya satupun.

Rasa mual kembali menyerang perutku, aku pun berlari ke kamar mandi untuk muntah....wuok...wuok...., tapi justru bau kamar mandi itu yang membuat perutku bertambah teraduk-aduk. Apakah tempat ini tak pernah di bersihkan? Segera aku berkumur dan mencuci muka lalu kabur dari kamar mandi itu.

Ku lihat pria itu sedang mengotak-atik pintu, "apa yang kau lakukan?" tanyaku pasaran, "sepertinya pintunya terkunci!" jawabnya tanpa menoleh padaku, ia berusaha memutar-mutar gagang pintu dan menariknya beberapa kali. "ya cari kuncinya!"
"Aku sudah mencarinya, tak ada dimanapun!"
"Apa!" seruku seraya mendekat, "jangan bilang padaku, kita terkunci dari luar!"
"Sepertinya memang begitu,"

Ku pandang dia, seolah dialah yang bersalah karena aku terjebak di tempat menjijikan ini bersamanya. Dari gesturnya, caranya berbicara....caranya berpakaian....rasanya..., tak mungkin yang menempati ruangan ini adalah dia.

"Tempat ini milik siapa?" tanyaku lantang, "oh....ini, seingatku A phao yang menampatinya!" jawabnya sambil duduk di kursi, "siapa dia?"
"Teman Tien, dia ada di antara kita semalam!"
"Oh....yang bertampang preman itu? Pantas saja....tempatnya berantakan, sama dengan orangnya. Kalau begitu, lakukanlah sesuatu agar kita bisa keluar dari sini, aku sudah tidak tahan!" seruku...."eh, tunggu!" ku tatap dia...., "kita berdua terbangun di sini, saat kau membuka mata kau terbaring dimana?"
"Di sampingmu!"
"A...pa!" teriakku keras, dia sampai sedikit meringis dengan teriakanku, "kau....kau tidur di sampingku....oh...oh Tuhan!"
"Aku juga tidak tahu kenapa kita bisa di satu ranjang, jangan menatapku seperti itu. Aku tidak memperkosamu!"
"Mana aku tahu apa yang kau lakukan, semalam kan kita mabuk!"
"Memangnya kau merasakan sesuatu?"

Aku terdiam, memang benar....aku tak merasakan apapun. Semoga saja memang tak terjadi sesuatu, lagipula memang tak ada bagian yang sakit. Semoga saja aku memang masih Virgin, aku berjalan menuju tasku yang tergeletak tak jauh dari ranjang. Ku aduk isinya untuk menemukan hpku, langsung ku buk dan....oh Tuhan mati total, semalam aku lupa mengisi batrenya. Sial, "kau bawa hp?" tanyaku.

"Seingatku semalam aku membawanya, tapi aku tak menemukannya sekarang!"

Kami duduk terdiam cukup lama, mungkin ada berjam-jam. Mana perutku keroncongan, lagi! Lain kali tidak lagi terjadi seperti ini, pokoknya kapok deh di bujuk Indi buat ikut ke klub. Biarin aja di bilang kampungan yang penting selamat dunia akhirat. Aku mulai gila rasanya kalau tak segera keluar dari tempat ini.

"Ini gila, aku bisa kena SARS lama-lama di sini. Ya Tuhan....tolong bukakan pintu itu!" akhirnya ku buka mulutku kembali setelah lama diam.
"Kau berisik sekali, apa kau tak bisa diam?"
"Tidak, sebelum keluar dari kandang ini!" jawabku ketus, aku mulai mencari sesuatu. Pakaianku, dimana? Aku tak menemukannya, ku rasakan dia memperhatikan aku.
"Kau cari apa?"
"Jeansku, aku tak mungkin keluyuran hanya dengan kemeja ini!"
"Semalam kau muntah, ku rasa jeansmu ada di kamar mandi!" jawabnya, aku tercenung sejenak lalu ku toleh dia, sepertinya dia tahu apa yang akan terlontar dari mulutku. Aku segera ke kamar mandi kembali, benar...ada di keranjang pakaian. Bercampur dengan....entah pakaian siapa. Aku keluar kembali, "siapa yang membukanya?"
"Aku tak ingat!"
"Dan jaketku?"
"Entahlah....mungkin juga ada di sana!"

Aku mendesah panjang...., ada suara klik di pintu. Baik aku maupun dia langsung berlari ke pintu. Pintu terbuka lebar dan Indira bersama dua pria masuk ke sana. Itu Thien dan....mungjin A Phao, yang tinggal di sini.

"Kau, kau sengaja mengunciku di sini!" seruku pada sahabatku, "tunggu dulu, jangan marah. Bukan aku, aku malahan baru tahu kau di sini!"
"Lalu....,"
"ku bawakan kau pakaian, kata A phao kau muntah-muntah dan pakaianmu kotor!"

Tanpa berkata ku rebut saja bag baju di tangan Indi, pergi ke kamar mandi dan memakainya. Setelah itu aku langsung pergi dari sana dengan marah.

*****

Aku duduk di dekat jendela, penerbangan Bangkok - Jakarta ini cukup sepi. Banyak kursi kosong, kebetulan Indi sebangku dengan pak Arga dan aku duduk sendiri. Tiba-tiba seseorang seseorang duduk di sampingku, aku menoleh spontan.

"Kau!"
"Jangan keras-keras, memangnya kau tak bisa bicara pelan!"
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Pulang ke Jakarta, kemarin aku menengok nenek yang memang orang Thai, kau masih marah?"

Aku tak menjawab,
"Ayolah, ini hanya kesalahpahaman. A Phao pikir, kita memang berkencan. Karena semalam di klub kita cukup akrab, hotel itu yang paling dekat dengan klub makanya dia membantuku memapahmu ke sana. Karena dia pikir kita pacaran itu sebabnya dia meninggalkan kita berdua!"
"Dan harus mengunci kita? Ya....setidaknya taruhlah aku di hotel yang sedikit bersih. Kenapa harus di tempatnya!"
"Dia mana punya pikiran seperti itu, Indira dan Thien pergi ke kamar lain. Ku rasa...memang aku yang membuka jaketmu!"
"A-apa!"
"Itu hanya jaket dan jeans, aku tak melakukan apapun. Ok...aku minta maaf, tapi kita sedang mabuk kan."

Aku mendesah saja, ya...aku tak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Kemarin aku juga terlalu mabuk hingga tak ingat apapun.
"Sudah, lupakan saja dan anggap itu nggak pernah terjadi!" seruku, dia hanya mengangguk. "aku belum tahu namamu, aku Dave!"
"Nada!" jawabku tanpa ku jabat tangannya. Ku dengar ia menguap, "aku ngantuk, mau tidur sebentar...jika sudah mendarat tolong bangunkan aku ya?"
"Apa!"

Tak ku dengar lagi suaranya, ia malah menempelkan kepalanya di pundakku dan ku dengar nafasnya yang teratur. Dia beneran tidur? Baru beberapa detik lalu dia bersuara, sekarang sudah di buai mimpi. Kok bisa?

Aku hanya diam sambil mendesah panjang.

**********

Jakarta, 8 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun