Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Price of Blood #Part 12

24 Februari 2015   13:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:37 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 12


"Kau membunuh orang di sekitar rumahku, apa kau tidak bisa berfikir jernih dulu sebelum melakukannya?" kesal Karen. "mereka mengikutimu!" sahut Danny.

Karen menyilakan rambutnya dengan jari-jarinya, menoleh Danny sambil salah satu tangannya memegang meja. "setidaknya kau bisa menangkap mereka hidup-hidup!" timpalnya, Danny membalas tatapan itu, "kau pikir aku tak berniat begitu? Saat aku berjalan mendekat mereka menyerangku dengan senjata api, lalu kau pikir aku harus biarkan mereka menembakku!" jawab Danny. Karen mengalihkan pandangannya ke luar jendela, terlihat di kejauhan beberapa polisi sedang memeriksa ketiga mayat yang terkapar di jalanan.

"Aku rasa....., ada yang mengawasi kalian!" terka Danny, "kami baru saja pindah kemari, apa kau pikir aku sudah mencetak musuh?"
"Mungkin bukan musuhmu," sahutnya. Karen kembali menatapnya, ia mengerti apa maksud pria di depannya itu.
"Lalu apa hubungannya denganku, dengan kami?"
"Beberapa pria yang menyerangku tempo hari, mereka memiliki foto Sharon. Kemungkinannya.... Sharon sedang di awasi, dan belakangan Sharon begitu dekat dengan Sammy. Tentu itu berhubungan, malam itu saat mereka pergi bersama, aku melihat ada memar di wajah Sammy. Mungkin saja dia berkelahi dengan salah satunya yang mengikuti Sharon!"

Karen terdiam, itu memang masuk akal. Sammy sudah berjanji tidak akan berkelahi di dalam sekolah, dan di sekolah barunya identitasnya juga ia tutupi. Tak mungkin ada anak yang usil, Karen memegang kepalanya.

"Jadi orang-orang itu memang mengawasi kami, tapi apa untuk apa?"
"Aku tidak tahu, aku masih mencari tahu!"

Danny mendekat padanya, "setelah sekian lama, kenapa kau baru kembali sekarang?" tanya Danny, Karen mengangkat kepalanya untuk menemukan mata Danny. "dan kenapa kau menyembunyikan Sammy dariku?"

"Kau bertanya seperti itu seolah kau punya hak, kau bukan suamiku Danny!" jawab Karen, Danny terdiam dengan jawaban wanita itu. "tapi kau tidak pernah menikah kan, lalu kenapa kau bohong padaku tempo hari?"

Karen membuang muka, "karena hubungan kita sudah berakhir!" jawab Karen, ia menghela nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, "kau masih mencintaiku?" desis Danny.

"Tidak!" jawab Karen kembali memandangnya, "jika ku berikan namamu pada Sammy, bukan berarti itu ku lakukan karena aku masih mencintaimu. Itu karena kau memang ayah biologisnya, tidak lebih!"

"Kau bukan pembohong yang handal," potong Danny, "aku cukup mengenalmu, Karen!" tambah Danny, "Karen yang kau kenal hanyalah gadis manja yang tidak bisa melakukan apapun, itu sebabnya kau jatuh cinta pada Sarah yang lebih dewasa!" marahnya, tapi ia segera sadar dengan yang di ucapkannya. Perlahan ia menutup mulutnya dengan satu tangan dan berbaik memunggungi Danny. Danny tertegun dengan kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu.

"Kau masih cemburu dengan Sarah?" desisnya, airmata menggenangi pipi Karen. "kau masih mencintaiku, Karen!" tambahnya, "pergi!" usir Karen. "kau tidak bisa membohongi hatimu!"

"Ku bilang pergi dari rumahku!" ulangnya tanpa menoleh, "Karen!" desis Danny sekali lagi, tapi wanita itu malah berlari masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat-rapat dan bersandar di baliknya. Ia menangis di sana.

Ya, aku masih mencintaimu. Tapi aku tidak akan mengemis cintamu lagi seperti yang dulu ku lakukan? Karena kau tidak pernah mencintaiku, Danny. Kau tidak pernah mencintaiku!

Danny menatap pintu kamar yang berjarak beberapa meter darinya itu, ia seperti bisa merasakan tangisan Karen. Betapa kejam dirinya ternyata, dulu ia mengabaikan cinta wanita itu dan sekarang ia memaksanya untuk mengakui kalau wanita itu masih mencintainya? Apa haknya? Dan apa yang akan ia lakukan jika memang Karen masih mencintainya?

Perlahan ia melangkah keluar dari rumah itu, di jalanan ketiga mayat itu sudah di masukan ke kantong mayat dan di pindahkan ke mobil jenazah. Beberapa polisi masih di sana menanyai beberapa saksi. Letnan Heru melihat Danny berjalan gontai ke arah mereka. Ia pun menghampirinya.

"Danny!" sapanya, Danny menatapnya. "Bisakah kau ikut aku ke kantor polisi, ada beberapa pertanyaan untukmu!" pintanya,

*****

"Papamu tidak menjemputmu?" tanya Sammy, "dia papamu juga!" sahut Sharon. Sammy tersenyum, "itu jika dia mengakuiku!"

"Papa bukan orang sekejam itu, mungkin jika dia tahu dulu Karen hamil dia tidak akan meninggalkannya!"
"Lalu bagaimana dengan mamamu, apa menurutmu dia yang akan di abaikan. Kalau begitu kamu tidak akan pernah ada?"
"Entahlah.....,"
"Kenapa kamu tak menelponnya?"
"Sudah ku hubungi tapi tak di angkat, biar ku coba lagi!" katanya memungut hpnya kembali dari saku bajunya. Ia menekan nomor Danny dan menunggu jawaban.

"Papa, papa dimana?" tanyanya.
"Maaf sayang, papa di kantor polisi. Papa lupa menjemputmu, bagaimana kalau papa suruh paman Toni saja yang menjemputmu?" tawarnya.
"Tidak perlu, aku akan pulang bersama Sammy saja!" tolaknya,
"Sammy!" desis Danny. Ia terdiam sejenak. "ya sudah, kalian naik taksi saja jangan naik bis!" suruhnya. Sharon sedikit heran karena papanya tak melarangnya, tapi....baguslah kalau begitu.

"Bagaimana?" tanya Sammy setelah Sharon menutup hpnya. "papa sedang di kantor polisi, sepertinya ada masalah. Aku bilang aku akan pulang bersamamu, bagaimana kalau kita ke rumahmu saja!" pintanya.
"Ke rumahku?"
"Ya, aku....aku ingin bertemu mamamu lagi!" desisnya. Sammy menatapnya, "seumur hidup aku baru bertemu langsung dengannya cuma sekali, boleh kan jika aku bertemu dengannya lagi?" pinta Sharon, Sammy melihat ada sebuah kerinduan di mata gadis itu. Kerinduannya pada sosok seorang ibu, Sharon kehilangan mamanya saat usianya 6 tahun, tentu ia sangat merindukan mamanya sama seperti dirinya yang juga merindukan ayahnya yang bahkan tak pernah memeluknya. Sammy tersenyum, "of course!" sahutnya.

Keduanya keluar gerbang untuk mencari taksi.

"Kau bilang orang ketiga menembak kepalanya sendiri?" seru Letnan Heru, "seperti waktu orang itu menggorok lehernya sendiri, mereka tidak mau di tangkap hidup-hidup!" jawabnya.

"Good, sepertinya kasusmu ini tidak akan terungkap. Tapi kenapa mereka mengikuti mantan kekasihmu, kau masih punya hubungan dengannya?"
"Apakah masalah pribadiku harus di sangkut pautkan?"
"Jika memang berhubungan, kau sendiri yang bilang kalau orang-orang itu mengikuti Karen. Itu artinya ada kaitannya!"
"Terus terang, sebenarnya aku tak mau dia terlibat!"
"Dia sudah terlibat, Danny. Dia sudah terlibat sejak kalian bertemu lagi. Para penjahat itu, jika target utamanya adalah dirimu, mereka akan mencari siapa saja yang berhubungan denganmu, orang-orang terdekatmu. Itulah cara musuh melemahkanmu!"

"Kalau begitu mungkin aku harus meminta bantuanmu, bisakah kau jaga kediaman Karen?"
"Jika dia tak keberatan, itu memang penting!"
"Ku rasa dia tidak akan suka,"
"Bukankah dulu dia selalu di buntuti para bodyguard ayahnya?"
"Itu sebabnya dia selalu memintaku membawanya menyelinap dari mereka, dia tak suka di kawal!"

Letnan Heru memandangnya dengan nakal, "sepertinya kau menikmati mengenang masa-masa itu?" sindirnya, Danny sedikit melotot. "Tutup mulutmu, lakukan saja tugasmu!" kesal Danny seraya bangkit dari duduknya, "aku harus ke rumah sakit untuk menjenguk mantan seniorku, keadaannya memburuk!" tambahnya.
"Memang sudah seharusnya kau ke sana, ku rasa istrinya butuh penghiburan!" sahutnya.

Danny pergi ke rumah sakit, sementara Sammy mengajak Sharon ke rumahnya. Mereka tercengang melihat ada garis polisi di jalanan. Dan ada tanda bekas mayat di badan jalan, "apa yang terjadi di sini?" desis Sharon.

"Di lihat dari noda darahnya, ini belum lama terjadi!" sahut Sammy, "we should ask to my Mom!" ajaknya berjalan ke rumahnya.

Sammy memang membawa kunci cadangan, ia mencoba membuka pintu tapi sepertinya di lubang kunci bagian dalam masih tergantung kunci lain. Apakah ibunya ada di rumah? Ia pun menekan bell.

"Mom, are you home?" teriaknya.

Mendengar suara putranya, Karen langsung berlari untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka ia tertegun karena Sammy tak pulang sendiri. Lama ia memandangi gadis yang usianya tak jauh dari putranya itu. Gadis itu nampak mirip dengan Danny maupun Sarah, ada perpaduan yang klop di wajah dan perilakunya.

"Hai Tante, bolehkah aku main di rumahmu?" sapanya.
"E,....e....iya...iya!" jawabnya sedikit gugup. Sammy masuk di ikuti Sharon, Karen menatapnya memasuki rumahnya lalu iapun menutup pintunya.

"Kami melihat ada garis polisi di jalan, apa yang terjadi?" tanya Sharon.
"Itu...., tadi....ada beberapa orang yang membuat kerusuhan!" jawabnya.
"Ada tiga mayat di sana, siapa yang membunuh mereka?" tanya Sammy. Karen terdiam, ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, "kalian bisa melihatnya di berita tv nanti!" jawabnya.

Sharon menaruh tasnya dan duduk di ruang tamu, Sammy melempar tasnya dan berjalan ke dapur untuk mengambil menuman segar. Karen mengikutinya, ia menarik lengan putranya yang sedang menuang jus orange ke dua gelas, "Sammy, kenapa kau membawanya ke sini?"
"Memangnya salah, dia mau bermain di sini. Katanya....dia ingin bertemu denganmu!"
"Apa?"

Sammy menaruh kembali jar berisi jus ke dalam kulkas lalu memungut dua gelas orange jus itu ke ruang tamu menyodorkannya segelas untuk Sharon seraya meminum miliknya sendiri.

"Thanks!" seru Sharon menerima gelasnya dan meminumnya lalu menaruhnya di meja. Karen menghampiri mereka dan duduk di depan Sharon.

"Kalian naik apa ke sini?" tanyanya.
"Taksi!" jawab Sharon menatapnya, lama mereka diam saling memandang. Sammy hanya memperhatikan keduanya, Karen merasa sedang berhadapan dengan Sarah. Jujur, ia tak mengenal Sarah dengan baik. Ia bahkan tak pernah bertatap muka secara langsung seperti itu, tapi memandang Sharon membuatnya seperti sedang bertatapan dengan Sarah.

"Kau....cukup mirip dengan mamamu!" desis Karen, "apa tante mengenalnya dengan baik?" tanya Sharon. Karen menggeleng pelan, "aku bahkan tak pernah bertemu dengannya sedekat ini!" jawabnya.

"She's knew everything!" seru Sammy, Karen langsung menoleh putranya. "Sharon mencari tahu sendiri sejak bertemu denganmu kemarin!" tambahnya, Karen kembali memandang gadis di depannya. Tatapan Sharon semakin dalam padanya.

**********

The Danny Hatta Course Trilogi ;

# Price of Justice
# Price of Honor
# Price of Blood

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun