"Coklat atau kopi? Tapi kalau kita minum kopi, kita mungkin akan mengobrol sampai pagi. Jam berapa kau harus ke penampungan besok? Bolehkah aku ikut?" tanyaku sambil memperhatikan isi lemariku.
"Kopi kalau begitu. Tiap pagi aku harus berangkat jam lima... mungkin harus lebih pagi lagi kalau dari apartemen noona... dan ya, kami boleh mengajak orang lain untuk membantu... tunggu noona, apa benar aku boleh mengantar noona pulang mulai dari sekarang?"
"Min Donghyun. Kenapa sih kau jadi cerewet sekali? Ataukah aku yang lupa kalau kau memang sangat cerewet?"
"Kurasa noona lupa kalau aku memang cerewet."
"Tunggulah aku disana," hardikku, "aku mau buat kopinya dulu."
Kami menghempaskan diri di sofa dengan lelah, tapi secangkir kopi di masing-masing tangan kami tampaknya bisa mengobati sedikit kelelahan itu. Sekarang sudah jam satu pagi, tapi aku tidak mengantuk. Aku memandangi jendela, dan salju masih turun dengan cukup deras. Di sebelah kiriku, Donghyun memandangiku.
"Pasti kau ingin bertanya tentang banyak hal kan?"
"Ya. Bolehkah aku mulai bertanya?"
"Kurasa aku tau apa yang mau kau tanyakan. Aku berusaha makan dengan teratur, tapi susah sekali menemukan kembali seleraku. Tapi aku berusaha. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkanku. Dan ya... aku merasa kehilanganmu. Maafkan aku ya, aku sempat cuek padamu, tak mau menemuimu dan tak mau membalas pesanmu."
"Tidak, aku tak mau memaafkan noona. Noona jahat sekali padaku."
Aku meletakkan cangkir kopiku dan meraih lengannya.