Dia tersenyum, tapi senyum yang sedih. Aku terlambat untuk mengetahui isi hatiku sendiri bahwa memang aku hanya mencintai Chungdae seorang. Mendadak aku merasa ada air yang menetesi puncak kepalaku. Hujan di musim panas.
"Aku tidak akan memaksamu. Tapi jangan paksa aku untuk melupakanmu atau bahkan membencimu. Kau tau aku tak bisa melakukan itu."
"Donghyun..." panggilku sedih, "aku tak pantas menerima cintamu yang begini."
"Jika noona tak pantas, siapa lagi yang pantas?" dia tertawa, tawa yang tak mengandung kebahagiaan.
Hujan turun semakin deras, tapi aku dan dia tetap berdiri terpaku saling menatap. Hatiku pedih, bukan karena Donghyun terlihat sedih, tapi lebih karena aku merasa muak pada diriku sendiri karena sudah menyakitinya. Dan kelebatan kenanganku bersama Donghyun terlintas di benakku... satu persatu... semua tawa itu, semua kekonyolan yang kami lakukan, ketika maut nyaris memisahkan kami... senyumnya, sentuhannya, pelukannya...
"Aku hanya punya satu permintaan."
"Apa itu?"
"Bisakah kau tidak mengundurkan diri? Tak adakah jalan yang lain? Aku akan menerima kalian jika memang itu pilihan noona. Aku akan bahagia melihat noona bahagia. Tapi aku tak akan sanggup jika aku tak bisa melihatmu di sekolah."
"Donghyun, aku sungguh tak punya pilihan lain."
"Baiklah, aku mengerti..."
Donghyun memberikan surat itu padaku.