BK: Orang menyerobot di tikungan dalam injury time itu sudah merupakan riwayat Babad Tanah Jawi maupun The Prince nya Niccolo Machiavelli. Â Jadi tenang saja. Orang dan elite Indonesia itu di mulut bicara konstitusional dan taat hukum, tapi dalam prakteknya ya gemar melakukan operasi kudeta senyap ganti presiden, padahal kan secara konstitusional sudah ada prosedurenya ya suksesi melalui pemilihan presiden, Â bukan kudeta model 3 Juli 1946, 17 Oktober 1952, 11 Maret 1966 dan 21 Mei 1998 dan seterusnya Gus Dur menelikung Megawati 1999.Â
Sebetulnya sejak 2004 kan sudah sepakat pemilihan presiden langsung ya sudah semua orang boleh bersiap kampanya mau jadi presiden. Tapi riwayat masa lalu rekam ; apa ada kriminal; apa terlibat "pemberontakan"; pelanggaran HAM berat, penghilangan orang, korupsi atau pidana kriminal lainnya seperti pembunuhan, penculikan dst dsb. Itu semua kan merupakan bagian dari perang urat syaraf yang mestinya diselesaikan secara "hukum".Â
Nah kalau hukumnya hanya berani kepada pecundang, dan pihak yang kalah, maka yang terjadi di negara ini adalah pelestarian machstaat, dimana elite yang menguasai opini publik dan berada pada jalur "machstaat" punya power di executif, legislatif ataupun judikatif bahkan di Komisi independen yang bertiwikrama jadi "superpower".Â
Machstaat lawan machstaat, rechstaatnya Cuma jadi pajangan atau bahkan "anak bawang maka yang terjadi ialah pelestarian "kudeta senyap" model 1966 dan 1998. Debat tentang ganti presiden harus diletakkan pada proporsi bahwa telah terjadi penyelewengan moral dan etika berpolitik, bernegara dan berbangsa.Â
Mau kampanye pilih presiden dengan menghormati pilihan rakyat pemilih atau memaksakan "kudeta senyap ganti presiden model 1966- 1998" dengan isu sara yang kental dan membahayakan eksistensi RI.Â
Presiden Jokowi dan seluruh elite harus tegas menyatakan bahwa Indonesia ini negara konstitusional yang memakai pemilihan umum sebagai pola rekrutment politik yang terhormat, beradab dan beretika. Bukan negara pelestari "kudeta senyap suksesi berdarah ganti presiden" yang liar, tidak bermoral dan mencerminkan derajat kepremanan elite politik Nusantara primitif.
CW: Wah kalau ini terlalu filosofis tinggi, malah tidak nyampai ke rakyat pak.
BK: Ya bagian tertentu WIBK memang untuk negarawan, bukan untuk "preman".
Selamat naik kelas jadi nation state demokratis dengan rekrutment presiden lewat suksesi pemilu dan bukan lewat kudeta senyap ganti presiden model 1966-1998. Kalau tidak Indonesia akan mengalami konstipasi politik serius mundur ke pra demokrasi dan pra reformasi, iklim intel misterius tidak jelas mana preman mana penguasa era 1966 - Â 1998. Semoga Tuhan masih rela menyelamatkan Indonesia dari "premanisme politik 1966/1998 permanen".
Jakarta Senin 27 Agustus 2018. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H