Mohon tunggu...
Rendrawati
Rendrawati Mohon Tunggu... Freelancer - penulis lepas

Alumni Sejarah Universitas Diponegoro yang punya pengalaman menulis di beberapa media massa dan situs lainnya. silahkan baca tulisannya yang lain di Medium:@rendrawati dan Qureta: Rendrawati. Khusus Sastra seperti cerpen, silahkan ke akun Kompasiana: Renny DJ

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Hari-hari ketika Bapak Memperbolehkan Kita Menonton di Stadion

26 Oktober 2022   00:05 Diperbarui: 26 Oktober 2022   10:46 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena jumlah penonton lokal yang sedikit, kami yang datang jadi ikut tertib, tidak ada yang berebut sama sekali. Sama seperti sebelumnya, selesai acara ada yang mengumpulkan sampah dan ketika pertandingan pun, nyaris semuanya konsentrasi dengan permainan yang dimenangi oleh Timnas Korsel.

Setelah Asian Games selesai, Bapak kembali tidak memperbolehkan kami untuk pergi ke stadion untuk melihat pertandingan bola. Kenangan itu termasuk kenangan yang saya ingat sekali seumur hidup saya. 

Meskipun kalau dihitung-hitung, masih banyak sekali kekurangan seperti tidak semua stadion memiliki akses kendaraan umum yang baik, kualitas internet yang masih kurang lancar, fasilitas perbankan yang jauh di sekitar stadion. 

Stadion-stadion itu mungkin sudah bisa dipakai acara internasional, tapi kualitas fasilitas umumnya masih banyak yang bermasalah, misalnya ketika saya di Stadion Wibawa Mukti, saya malu sekali ketika mendapati kursi saya yang nyaris patah dan bunyi. Beberapa bangku harus kosong karena bentuknya yang sudah tidak layak diduduki.

Ketika mendengar Tragedi Kanjuruhan, hati saya sangat sedih karena menonton sepak bola seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan. Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi terparah dalam dunia sepak bola Indonesia dan hal ini sayangnya menjadi puncak dari segala kecarut-marutan dalam dunia sepak bola kita: 

Pertama, suportivitas penonton termasuk yang buruk. 

Suporter menyulut kemarahan di tengah lapangan sampai ke luar lapangan. Sayangnya, kekerasan fans sepak bola dianggap wajar.

Dari hasil debat di internet, banyak sekali fans sepak bola Indonesia yang menyalahkan aparat dan alih-alih menyalahkan suporter yang masuk ke lapangan, malah banyak yang menganggap suporter yang masuk ke lapangan adalah hal yang wajar. Padahal soal penonton masuk ke lapangan pun sudah diatur oleh FIFA, dan adanya suporter yang masuk ke lapangan berpotensi membawa kekacauan.

Kedua, kata introspeksi nampaknya tidak berlaku di dunia sepak bola Indonesia, Tragedi Kanjuruhan yang terjadi tanggal 1 Oktober kemarin adalah kejadian kedua setelah kejadian serupa pada tahun 2018. 

Laman Bola mencatat, kejadian di Kanjuruhan terjadi setelah laga Arema Malang vs Persebaya, Arema kalah dan penonton mengamuk. Suporter yang marah melempar flare, botol ke lapangan, sebelum akhirnya masuk ke lapangan.

Kondisi menjadi semakin mengerikan karena ada pemain yang terjebak dalam keramaian, gas air mata dimuntahkan, tapi yang meninggal hanya 1 orang dengan korban luka-luka yang tidak banyak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun