Untuk memulai sebuah esai singkat ini, tentunya ada kesadaran bahwa keterlambatan adalah sebuah keteledoran fatal dalam setiap hal, namun tentunya sebuah pemikiran subjektif terhadap Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November ini ada baiknya untuk tidak hanya menjadi hari nasional, namun juga semangat juang yang layak untuk terus diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai awalan dari penulisan ini, sekilas saya sempat melihat sebuah video amatir dari salah satu media sosial di dunia maya ini mengenai testimoni banyak orang tentang jawaban personal mereka yang berbunyi, “Siapakah Pahlawan bagi diri anda?”.
Kebanyakan jawaban koresponden itu sangatlah menarik dan inspiratif: “diri saya sendiri yang berjuang demi kesejahteraan keluarga” hingga “orang tua saya yang begitu tanpa pamrih telah berjasa merawat, membimbing serta membina kehidupan kita semua hingga hari ini”. Dari testimoni ini, saya mencoba menangkap beberapa esensi KEPAHLAWANAN, yakni sebuah jasa yang berkesinambungan, serta tanpa pamrih, dan yang kedua mungkin adalah tanggung jawab, serta kesadaran diri untuk mengambil sikap dan bertindak dengan tujuan yang jelas: memberi arti yang lebih pada kehidupan.
Dalam perspektif yang lebih besar, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara, maka siapapun memiliki hak dan kewajiban untuk menyumbangkan jasanya bagi kemajuan negeri serta persatuan bangsa. Namun dengan melihat berbagai polemik yang carut marut penuh intrik dan drama dalam perhelatan politik belakangan ini, hingga memuncak pada aksi rakyat yang demikian masif dari seluruh pelosok negeri pekan lalu, seolah pandangan serta pemikiran kita terfokus pada perdebatan opini dengan topik tunggal di berbagai media, saya pun bertanya-tanya: dimanakah sosok PAHLAWAN dalam salah satu penggalan kisah dalam negeri ini?
Tentunya tulisan ini bukanlah untuk membahas berbagai kompilasi kisah kisruh dalam negeri yang sedang banyak terjadi, melainkan sebuah upaya saya sebagai penulis amatir untuk menumpahkan opini subjektifnya dalam mendefinisikan kata PAHLAWAN, dengan pengetahuan yang terbatas menjabarkan unsur-unsur dalam KEPAHLAWANAN.
Unsur yang paling pertama dalam sosok seorang pahlawan tentunya adalah PERJUANGAN. Tentunya dalam setiap kisah kehidupan, akan selalu ada sesuatu yang kita perjuangkan, baik itu keluarga yang harmonis, kemakmuran serta kesejahteraan, hingga nilai-nilai kemanusiaan yang begitu variatif dalam dinamika kehidupan ini.
Dengan sebuah unsur tunggal ini, tentunya setiap insan yang sedang memperjuangkan hidupnya baik itu hanya untuk menafkahi keluarganya hingga menggapai puncak karier demi cita-cita, atau bahkan mereka yang secara fisik bertarung melawan penyakit mematikan di atas ranjang rumah sakit, mereka semua layak untuk diberikan emblem PAHLAWAN. Dengan unsur tunggal ini juga, tentunya kita semua, termasuk mereka yang mungkin hanya berjuang melawan keinginan hati untuk bermain demi lulus ujian di bangku sekolah, kita semua juga memiliki sisi KEPAHLAWANAN yang jarang kita sadari.
Unsur kedua mungkin adalah sebuah unsur SELFLESS dan didasari dengan Kepedulian, sebuah sisi kemanusiaan dari setiap pribadi kita untuk mendahulukan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan sendiri. Sebuah ego yang rela dipendam dalam setiap perjuangannya, apapun bentuknya untuk kepentingan yang lebih besar: keluarga, masyarakat sekitar, orang-orang yang menaruh harapan bahkan demi bangsa dan negara.
Hanya saja, unsur ini seringkali disalah artikan, baik dari subjek pribadinya maupun objek yang dilayaninya. Sebagai contoh: sebuah impian atau cita-cita tentunya lahir dari ego pribadi itu sendiri, terlepas dari pengaruh sosial, masyarakat ataupun keluarga. Apabila cita-cita itu adalah untuk menyatukan bangsa yang begitu jamak, ataupun menghijaukan lingkungan serta menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosialnya, maka sebenarnya perjuangan yang dilakukan seseorang itu sebenarnya melayani keinginan serta cita-citanya sendiri.
Pada segi Ego inilah yang mungkin menjadi salah satu penentu apakah seseorang ini hanya bergerak dan bertindak demi kenyamanan diri yang instan, atau harus melalui berbagai rintangan dan berbagai tebing terjal untuk menciptakan utopia yang diimpikannya. Letak sisi selfless itu akhirnya hanya dapat saya definisikan kepada mereka yang mengedepankan cita-citanya hingga rela mengorbankan kenyamanan diri-nya, karena kedua hal ini sama-sama lahir dari ego pribadi seseorang.
Sederhananya, apabila ada yang mengatakan tujuan dari tindakannya ini adalah “demi kebahagiaan orang banyak”, maka terjemahan harafiahnya yang tersembunyi adalah “jika usaha saya bisa membahagiakan banyak orang, maka saya pun pasti ikut berbahagia bersama mereka”. Analisa ini tentu bisa salah, karena terkesan menghakimi bahwa pada dasarnya “semua orang itu egois”. Kembali lagi, ini hanyalah sebuah opini pribadi, dan setiap orang bisa berpendapat lain, namun tentunya kita sebagai makhluk rasional, sisi egois kita akan selalu ada.
Unsur ketiga dan mungkin yang terpenting, tentunya adalah TANGGUNG JAWAB. Sebuah keinginan atau impian bahkan cita-cita, tanpa didampingi dengan TANGGUNG JAWAB tentunya hanyalah sebuah bualan kosong tanpa arti. Pada dasarnya, tanggung jawab selalu lahir dari konsekuensi akan apapun yang terjadi akibat sebuah perbuatan, apapun itu. Seperti hukum NEWTON dalam ilmu fisika: “di setiap aksi, selalu akan ada reaksi bertentangan yang sama kuatnya” (in every action, there is always an equal opposed reaction).
Dan tentunya hukum yang sama berlaku dalam setiap tindakan kita, sehingga tanggung jawab adalah sebuah esensi yang tidak akan terlepas dari setiap gerak gerik kita. Namun yang menarik adalah unsur dalam tanggung jawab itu sendiri yang memberikan sebuah kebebasan dalam mengambilnya. Tanggung jawab bukanlah karma melainkan pilihan. Kebebasan memilih inilah yang seringkali terabaikan hingga membawa petaka karena konsekuensi dari suatu perbuatan harus ditanggung oleh pihak lain.
Dengan menjadi sebuah pilihan-lah, mungkin TANGGUNG JAWAB menjadi unsur terbesar dalam esensi KEPAHLAWANAN, karena kemampuan seseorang untuk memilih pada dasarnya adalah hak asasi manusia yang paling hakiki. Tanggung jawab akibat memiliki keinginan atau cita-cita untuk diwujudkan juga berarti kemampuan untuk menanggung segala akibat dan konsekuensi yang murni lahir dari ego pribadinya, dan berdampak kepada orang banyak hingga lingkungan sekitarnya.
Unsur terakhir yang tentunya tidak akan pernah lepas dari KEPAHLAWANAN adalah KEBERANIAN. Sebuah keberanian dalam arti mengambil langkah tanpa paksaan dari pihak lain, keberanian yang murni lahir dari hati yang tulus tergerak untuk bertindak dengan segala konsekuensi yang harus dipertanggung-jawabkan, serta keberanian yang lahir dari rasa peduli akan berbagai macam kerunyaman hidup. Keberanian pada dasarnya adalah sebuah esensi kemanusiaan yang pada dasarnya secara insting alamiah takut akan perubahan.
Dengan unsur terakhir ini, tentunya ada sebuah dorongan besar dari setiap kita yang memiliki nurani: cinta kasih. Cinta kasih dalam kemanusiaan melahirkan kepedulian yang otomatis menciptakan keberanian diri untuk mengambil langkah, memulai sesuatu yang akan selalu mendapat perlawanan, serta menjadi motivasi terbesar ketika seseorang itu memilih, tanpa mengabaikan ego pribadinya.
Bagaimana dengan refleksi seluruh esensi kepahlawanan itu terhadap situasi negeri ini? Sedikit ulasan sejarah, mungkin, bahwa berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beserta semua ideologi dari para pencetus bangsa lebih dari 70 tahun silam, tentunya tidak terlepas dari berbagai perjuangan segenap rakyat yang disatukan para pahlawan pendiri bangsa ini.
Sisi kepahlawanan mereka akan senantiasa menjadi inspirasi bagi setiap generasi yang menganggap Indonesia adalah bangsa dan tanah airnya, serta mutlak untuk selalu diperingati. Mempersatukan kemajemukan tentu bukan perkara yang mudah, karena itu setiap upaya para leluhur kita sangatlah patut untuk mendapat apresiasi di sepanjang masa, terlebih dengan semua cita-cita luhur yang melahirkan PANCASILA serta Undang-Undang Dasar yang menjadi awal kedaulatan bangsa demi mewujudkan Nusantara yang utuh. Mungkin karena inilah, sebuah Hari Pahlawan diperingati, terlepas dari catatan kisah sejarah yang sudah menjadi pengetahuan umum di setiap kalangan masyarakat dalam negeri ini.
Hanya saja, walau hanya sebatas pandangan pribadi, sisi heroik yang seharusnya menjadi panutan perlahan mulai tergerus dalam berbagai lapisan masyarakat yang sudah terlena dengan kemajuan jaman, serta kenyamanan dari modernisasi, globalisasi hingga kapitalisme. Banyak yang seolah lupa dengan fakta bahwa sejak berabad-abad lalu hingga sekarang, negeri ini sudah menjadi komoditas yang diperebutkan banyak bangsa lain di luar sana karena kekayaan alamnya yang berlimpah, serta potensi geografis dan geologis yang sangat tak terbatas.
Sistem demokrasi yang dijalankan dalam dunia politik negeri dengan tujuan kebebasan yang bertanggung jawab, seolah disamakan dengan diperbolehkannya sebuah demonstrasi yang demikian masif hingga akhirnya dimanfaatkan banyak pihak yang tidak bertanggung jawab, aji mumpung, atau bahkan mereka yang memiliki agenda lain. Sebuah kesalahan kecil dari pernyataan seorang pelayan masyarakat yang seharusnya bisa diselesaikan dengan teguran dari pihak yang berwenang dengan didasari tenggang rasa seolah di besar-besarkan dengan sangat berlebihan.
Pertanyaan saya sebagai penulis kemudian berlanjut: dimanakah letak pengamalan Sila ke-4 (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan) dalam Pancasila untuk kasus ini, yang seharusnya menjadi salah satu asas utama dalam menyelesaikan masalah? Di manakah peran para pemimpin dalam menjalin musyawarah?
Tentunya saya sebagai penulis amatir tidak banyak mengerti mengenai dunia politik, sehingga setiap pemikiran subjektif ini mungkin bisa salah akibat keterbatasan pengetahuan. Hanya saja, sebuah esai singkat ini saya tulis sebagai sebuah karya yang lahir dengan tujuan untuk berbagi pendapat, mencoba menumpahkan pikiran dengan harapan bisa membantu membuka mata publik dalam merayakan Hari Pahlawan yang baru saja berlalu, tanpa melupakan esensi perjuangan yang sebenarnya kita lakukan setiap hari.
Akhir kata, mungkin saya ingin mencatat bahwa:
Pahlawan bukanlah mereka yang berhasil menggalang massa dengan jumlah yang besar dengan semangat perseteruan akibat perbedaan, tapi mereka adalah sosok-sosok yang mampu membimbing serta membina orang banyak untuk lebih bebas dan bertanggung jawab serta didasari pengetahuan dalam berbuat dan bertindak dengan tujuan yang mempersatukan.
Pahlawan tentunya bukanlah sosok yang mudah tersinggung akibat sebuah ketidak sengajaan, tapi mereka adalah orang-orang yang berani menegur serta menunjukkan jalan yang benar bagi mereka yang salah akibat kurangnya pengetahuan. Pahlawan tentunya juga memiliki kebesaran hati untuk dengan tulus memaafkan serta membimbing mereka yang tersandung untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sebagai catatan penutup juga, pahlawan tentunya bukanlah mereka yang terus aktif mencari perhatian bahkan berjuang dan berlomba-lomba menjadi sorotan, namun mereka adalah para pejuang sunyi (silent fighter) yang hanya bersuara dengan berbagai upaya dan tindakan nyata yang membawa perubahan, serta dengan tulus tersenyum ketika hasil perjuangan mereka telah terbayar dengan bukti bahwa upaya mereka, sekecil apapun itu, telah menjadi sumbangan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI