Mohon tunggu...
Humaniora

Mencari Sosok Pahlawan

12 November 2016   23:35 Diperbarui: 13 November 2016   00:21 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dan tentunya hukum yang sama berlaku dalam setiap tindakan kita, sehingga tanggung jawab adalah sebuah esensi yang tidak akan terlepas dari setiap gerak gerik kita. Namun yang menarik adalah unsur dalam tanggung jawab itu sendiri yang memberikan sebuah kebebasan dalam mengambilnya. Tanggung jawab bukanlah karma melainkan pilihan. Kebebasan memilih inilah yang seringkali terabaikan hingga membawa petaka karena konsekuensi dari suatu perbuatan harus ditanggung oleh pihak lain. 

Dengan menjadi sebuah pilihan-lah, mungkin TANGGUNG JAWAB menjadi unsur terbesar dalam esensi KEPAHLAWANAN, karena kemampuan seseorang untuk memilih pada dasarnya adalah hak asasi manusia yang paling hakiki. Tanggung jawab akibat memiliki keinginan atau cita-cita untuk diwujudkan juga berarti kemampuan untuk menanggung segala akibat dan konsekuensi yang murni lahir dari ego pribadinya, dan berdampak kepada orang banyak hingga lingkungan sekitarnya. 

Unsur terakhir yang tentunya tidak akan pernah lepas dari KEPAHLAWANAN adalah KEBERANIAN. Sebuah keberanian dalam arti mengambil langkah tanpa paksaan dari pihak lain, keberanian yang murni lahir dari hati yang tulus tergerak untuk bertindak  dengan segala konsekuensi yang harus dipertanggung-jawabkan, serta keberanian yang lahir dari rasa peduli akan berbagai macam kerunyaman hidup. Keberanian pada dasarnya adalah sebuah esensi kemanusiaan yang pada dasarnya secara insting alamiah takut akan perubahan. 

Dengan unsur terakhir ini, tentunya ada sebuah dorongan besar dari setiap kita yang memiliki nurani: cinta kasih. Cinta kasih dalam kemanusiaan melahirkan kepedulian yang otomatis menciptakan keberanian diri untuk mengambil langkah, memulai sesuatu yang akan selalu mendapat perlawanan, serta menjadi motivasi terbesar ketika seseorang itu memilih, tanpa mengabaikan ego pribadinya. 

Bagaimana dengan refleksi seluruh esensi kepahlawanan itu terhadap situasi negeri ini? Sedikit ulasan sejarah, mungkin, bahwa berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beserta semua ideologi dari para pencetus bangsa lebih dari 70 tahun silam, tentunya tidak terlepas dari berbagai perjuangan segenap rakyat yang disatukan para pahlawan pendiri bangsa ini. 

Sisi kepahlawanan mereka akan senantiasa menjadi inspirasi bagi setiap generasi yang menganggap Indonesia adalah bangsa dan tanah airnya, serta mutlak untuk selalu diperingati. Mempersatukan kemajemukan tentu bukan perkara yang mudah, karena itu setiap upaya para leluhur kita sangatlah patut untuk mendapat apresiasi di sepanjang masa, terlebih dengan semua cita-cita luhur yang melahirkan PANCASILA serta Undang-Undang Dasar yang menjadi awal kedaulatan bangsa demi mewujudkan Nusantara yang utuh. Mungkin karena inilah, sebuah Hari Pahlawan diperingati, terlepas dari catatan kisah sejarah yang sudah menjadi pengetahuan umum di setiap kalangan masyarakat dalam negeri ini. 

Hanya saja, walau hanya sebatas pandangan pribadi, sisi heroik yang seharusnya menjadi panutan perlahan mulai tergerus dalam berbagai lapisan masyarakat yang sudah terlena dengan kemajuan jaman, serta kenyamanan dari modernisasi, globalisasi hingga kapitalisme. Banyak yang seolah lupa dengan fakta bahwa sejak berabad-abad lalu hingga sekarang, negeri ini sudah menjadi komoditas yang diperebutkan banyak bangsa lain di luar sana karena kekayaan alamnya yang berlimpah, serta potensi geografis dan geologis yang sangat tak terbatas. 

Sistem demokrasi yang dijalankan dalam dunia politik negeri dengan tujuan kebebasan yang bertanggung jawab, seolah disamakan dengan diperbolehkannya sebuah demonstrasi yang demikian masif hingga akhirnya dimanfaatkan banyak pihak yang tidak bertanggung jawab, aji mumpung, atau bahkan mereka yang memiliki agenda lain. Sebuah kesalahan kecil dari pernyataan seorang pelayan masyarakat yang seharusnya bisa diselesaikan dengan teguran dari pihak yang berwenang dengan didasari tenggang rasa seolah di besar-besarkan dengan sangat berlebihan. 

Pertanyaan saya sebagai penulis kemudian berlanjut: dimanakah letak pengamalan Sila ke-4 (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan) dalam Pancasila untuk kasus ini, yang seharusnya menjadi salah satu asas utama dalam menyelesaikan masalah? Di manakah peran para pemimpin dalam menjalin musyawarah?

Tentunya saya sebagai penulis amatir tidak banyak mengerti mengenai dunia politik, sehingga setiap pemikiran subjektif ini mungkin bisa salah akibat keterbatasan pengetahuan. Hanya saja, sebuah esai singkat ini saya tulis sebagai sebuah karya yang lahir dengan tujuan untuk berbagi pendapat, mencoba menumpahkan pikiran dengan harapan bisa membantu membuka mata publik dalam merayakan Hari Pahlawan yang baru saja berlalu, tanpa melupakan esensi perjuangan yang sebenarnya kita lakukan setiap hari. 

Akhir kata, mungkin saya ingin mencatat bahwa:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun