Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stigmatisasi Gender dalam Sebatang Rokok

17 Januari 2025   11:35 Diperbarui: 17 Januari 2025   11:34 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dian Sastrowardoyo dalam serial Gadis Kretek (Kredit: pajak.com) 

Gender terbentuk melalui tindakan repetitif seperti gestur, gerakan, dan pilihan pakaian (Butler 2004). Penampilan yang tidak memenuhi norma gender tidak dapat diterima secara budaya dan akan mengakibatkan seseorang terkena sanksi sosial.  Perempuan yang merokok sering dianggap tidak sesuai dengan peran gender mereka dan stigma ini digunakan untuk menekan mereka agar kembali ke dalam norma feminitas yang seharusnya (Alexander et al. 2010; Woo 2018). Fenomena ini mencerminkan bagaimana konstruksi sosial terhadap gender tidak hanya dibentuk oleh ekspektasi budaya, tetapi juga diperkuat melalui mekanisme pengawasan yang mempertahankan dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam (David et al. 2023) stigmatisasi terhadap kebiasaan merokok pada perempuan bukan hanya bagian dari logika neoliberal tentang tanggung jawab individu terhadap kesehatan, melainkan juga bagian dari dinamika patriarki yang lebih luas mengenai kontrol sosial atas tubuh perempuan. Kendati demikian, stigmatisasi terhadap perempuan yang merokok tidak hanya memperkuat narasi bahwa kesehatan adalah tanggung jawab individu semata. Namun, hal ini juga berfungsi sebagai alat kontrol yang mengukuhkan dominasi patriarki. Dengan menempatkan tubuh perempuan di bawah pengawasan moral dan kesehatan publik, masyarakat memaksakan batasan-batasan gender yang kaku, sehingga mengekang kebebasan perempuan dalam menentukan pilihan hidup mereka. 

Perempuan selalu dikonstruksikan oleh peran reproduksinya seperti hamil dan memiliki anak sekalipun ia sudah sukses berkarier. Semata-mata peran perempuan dikonstruksikan dari segi kesehatan hingga sosial untuk memenuhi peran reproduksinya atau menjemput fitrahnya sebagai seorang ibu. Dalam konteks ini, perempuan yang merokok sering kali dipandang telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma sosial, yakni mengharuskan mereka untuk menjaga tubuhnya selalu utuh dan "suci". Dengan kata lain, tubuh perempuan dilihat sebagai milik publik dan bukan milik pribadi karena selalu ada pelanggengan konstruksi bahwa tubuh perempuan harus dijaga kesehatannya untuk memenuhi peran reproduksinya.

Konstruksi Perempuan Orde Baru: Ketaatan yang Dilanggengkan

Ideologi gender pada masa Orde Baru mengisyaratkan perempuan dari peran reproduksinya, yaitu sebagai ibu rumah tangga yang pasif dan patuh. Hal ini tentu saja dilandaskan oleh latar belakang adat patriarki budaya tradisional Jawa yang dipegang teguh Soeharto. Konsepsi akan perempuan dalam struktur pemerintah, khususnya politik, diadaptasi dari budaya Jawa dan nilai-nilai Islam. Peran dan status perempuan diturunkan dari tradisional budaya kerajaan, yaitu perempuan harus setia kepada laki-laki dan menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu ideal bagi anak-anaknya.

Pemerintah Orde Baru mengonstruksi perempuan menjadi tiga konsep: ibu rumah tangga, ibu negara, dan ibu dengan konsep Islam. Sementara itu, pengertian "ibu" ditekankan menjadi konsep yang didominasi konstruksi budaya Jawa. Negara menggunakan istilah Ibu hanya dalam ranah biologis yang terbatas (Suryakusumah dalam Ida 1996). Pandangan ini tidak hanya mengekang kebebasan perempuan dalam hal partisipasi sosial dan ekonomi, tetapi juga memperkuat stereotip yang membatasi ekspresi identitas dan aspirasi mereka. 

Meskipun ada tanda-tanda bahwa stigma terhadap perempuan yang merokok mulai melemah seiring dengan perubahan norma sosial dan persepsi tentang identitas perempuan (Rosemary & Werder 2023), hal ini tidak berarti bahwa kontrol sosial terhadap tubuh perempuan telah berakhir. Opini para aktivis kesehatan di Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan jumlah perokok perempuan mungkin disebabkan oleh melemahnya stigma dan pengaruh budaya Barat (Barraclough 1999). Namun, meski stigma ini tampak memudar, kenyataannya, negara masih secara aktif mereproduksi sistem patriarki yang terus-menerus menempatkan tubuh perempuan di bawah pengawasan dan kontrol. 

Sistem patriarki yang mengakar dalam masyarakat Indonesia tetap memandang perempuan sebagai penjaga moralitas keluarga, sehingga perokok perempuan sering kali dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma-norma gender yang berlaku. Meskipun ada pergeseran dalam persepsi dan pengaruh budaya Barat yang semakin kuat, kontrol sosial melalui stigma tetap berfungsi untuk membatasi kebebasan perempuan dalam mengekspresikan identitas mereka. Hal ini menciptakan dilema bagi perokok perempuan yang harus menghadapi tekanan dari dua arah. Di satu sisi, mereka mungkin merasa terdorong untuk merokok sebagai bentuk pemberontakan atau ekspresi diri, tetapi di sisi lain, mereka tetap terperangkap dalam norma-norma patriarki yang mengutuk perilaku tersebut.

Dengan demikian, perempuan yang melanggar batas-batas konstruksi yang telah diciptakan rezim, seperti merokok atau mengekspresikan diri di luar peran tradisional, sering kali dihadapkan pada kritik keras dari masyarakat yang masih berpegang pada nilai-nilai Orde Baru. Konstruksi semacam ini tidak hanya memengaruhi bagaimana perempuan dilihat dan diperlakukan. Namun, hal ini juga membatasi pilihan hidup perempuan dan memaksa mereka untuk terus-menerus berada di dualisme ketidaksetaraan, yakni antara tekanan sosial normatif dan keinginan mendapatkan kebebasan yang hakiki. Pada akhirnya, ajaran patriarki yang mengakar tersebut membuat perempuan mempertanyakan posisinya yang kini dalam dualisme stigma dan standar sosial.

Stigma dan Standar Ganda dalam Hembusan Asap Rokok

Wacana tentang feminitas dan maskulinitas diintegrasikan pada semua bidang kehidupan sosial, termasuk di lembaga-lembaga seperti agama, media, pendidikan, dan pekerjaan (Walby 1989). Secara sosiologis, patriarki dibagi menjadi dua: publik dan privat. Patriarki privat adalah sistem ketika perempuan sebagian besar dikecualikan dari kehidupan sosial di luar rumah, dengan seorang pria yang mengendalikan peran dan tugas mereka secara langsung di dalam rumah tangga. Sebaliknya, patriarki publik tidak membatasi keberadaan perempuan di tempat-tempat tertentu, tetapi menempatkan mereka dalam posisi yang lebih rendah di semua tempat tersebut. 

Stigmatisasi dan pemberian standar ganda pada perokok perempuan merupakan contoh nyata patriarki publik yang menunjukkan bagaimana perempuan sering kali dinilai secara berbeda dibandingkan laki-laki dalam konteks yang sama. Dalam masyarakat patriarki, perempuan yang merokok lebih mungkin menghadapi stigma sosial yang lebih besar dibandingkan laki-laki karena perilaku tersebut dianggap tidak sesuai dengan norma feminitas yang diharapkan. Di sisi lain, laki-laki yang merokok mungkin lebih diterima atau bahkan dianggap sebagai simbol maskulinitas. Akibatnya, perempuan yang merokok sering kali merasa perlu menyembunyikan kebiasaan mereka untuk menghindari penilaian negatif dari masyarakat, seperti merokok dalam kamar mandi, kamar kos, atau ruang lainnya yang terlihat "aman".

Dalam lingkungan kerja, perempuan yang merokok bisa dianggap kurang profesional atau tidak memiliki kapabilitas yang tinggi, sementara laki-laki yang merokok mungkin tidak menghadapi penilaian yang sama. Hal ini menunjukkan bagaimana standar ganda beroperasi dalam kehidupan sehari-hari dan memperkuat struktur patriarki yang ada. Laki-laki kerap mengharapkan perempuan untuk tidak melakukan tindakan yang selama ini diperuntukkan bagi mereka atau disimbolkan secara maskulin (Coser 1977). Maksudnya, perempuan tidak dibiarkan melakukan tindakan yang diklaim hanya milik laki-laki belaka karena adanya konstruksi antara maskulin dan feminin yang kabur.

Dilansir dari theconversation.com terdapat tekanan dua arah yang dirasakan perempuan berhijab sebagai perokok aktif. Dari satu sisi, mereka diharapkan untuk mematuhi norma-norma religius yang menekankan kesopanan dan kepatuhan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Namun, dari sisi lain, mereka juga menghadapi stigma sosial yang lebih liar terkait identitas hijabnya sebagai perokok perempuan. Hal ini menciptakan dilema yang kompleks, yakni perempuan berhijab yang merokok harus merekonstruksi ulang posisinya di antara dualitas identitas religius dan keinginan untuk kebebasan personal.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana konstruksi sosial dan budaya dapat memperkuat standar ganda yang membatasi kebebasan individu. Perokok perempuan di Indonesia dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap norma-norma yang mengekang. Namun, hal ini juga menegaskan bahwa ketidaksetaraan gender di negara ini turut dilanggengkan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih besar untuk mengubah persepsi dan norma sosial yang membatasi peran dan kebebasan perempuan.

Daftar Pustaka

Alexander, Stephanie A.C., Katherine L. Frohlich, Blake D. Poland, Rebecca J. Haines, and Catherine Maule. 2010. "I'm a Young Student, I'm a Girl ... and for Some Reason They Are Hard on Me for Smoking: The Role of Gender and Social Context for Smoking Behaviour." Critical Public Health 20 (3): 323--38. https://doi.org/10.1080/09581590903410197. 

Barraclough, S. 1999. "Women and Tobacco in Indonesia." Tobacco Control 8 (3): 327--32. https://doi.org/10.1136/tc.8.3.327. 

Butler, Judith. 2004. Undoing Gender. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203499627. 

Coser A., Lewis. 1977. "Georg Simmel's Neglected Contributions to the Sociology of Women." Signs: Journal of Women in Culture and Society 2, no. 4 (1977): 869-876. https://www.jstor.org/stable/3173216. 

David, Jean-Charles, David Fonte, Anne-Laure Sutter Dallay, Marc Auriacombe, Fuschia Serre, Nicole Rascle, and D Loyal. 2024. "The Stigma of Smoking among Women: A Systematic Review." Social Science & Medicine 340 (January): 116491--91. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2023.116491. 

Rosemary, Rizanna. 2024. "Riset: Stigma Negatif Perempuan Perokok Di Indonesia Halangi Usaha Pengendalian Tembakau." The Conversation. May 29, 2024. https://theconversation.com/riset-stigma-negatif-perempuan-perokok-di-indonesia-halangi-usaha-pengendalian-tembakau-224280. 

Rosemary, Rizanna, and Olaf Werder. 2023. "'To Smoke or Not to Smoke': Indonesian Women Contesting and Negotiating the Taboo." Journal of Substance Use, April, 1--7. https://doi.org/10.1080/14659891.2023.2202743. 

Walby, Sylvia. 1989. "Theorising Patriarchy." Sociology 23 (2): 213--34. https://doi.org/10.1177/0038038589023002004. 

Woo, Juhee. 2018. "Gendered Stigma Management among Young Adult Women Smokers in South Korea." Sociological Perspectives 61 (3): 487--508. https://doi.org/10.1177/0731121417751377. 


pajak.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun