Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bayang-bayang Wanita Ciptaan Bapak Pembangunan

31 Desember 2023   02:30 Diperbarui: 31 Desember 2023   16:36 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi ilustrasi: seorang wanita yang tunduk akan perintah pria dan merasa dirinya terkurung.

Impresi terhadap perempuan di Indonesia didasari oleh agama, suku, dan struktur politik. Dengan tiga aspek ini, konsepsi akan perempuan selalu dijerumuskan dalam tekanan yang tak berujung. Kehadiran perempuan dalam dunia politik sangatlah penting karena menunjukkan sisi pluralitas dan sistematika yang lebih baik untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Sebagai negara demokrasi, masyarakat Indonesia memiliki hak fundamental bebas berpendapat sebagaimana yang telah diatur oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun, dalam konteks Orde Baru kebebasan ini harus dibinasakan oleh kepemimpinan politik otoriter Soeharto

Bukan hanya membungkam mulut-mulut masyarakat yang menyuarakan keadilan, melainkan juga menjadikan representasi wanita sebagai sosok “ibu” dengan pandangan Islam—qudra atau kodrat. Dalam kekuasaannya, Soeharto menciptakan Islam dan Jawa sebagai representasi bangsa Indonesia. Agama dijadikan komponen utama dalam struktur ideologi negara yang otoriter. Hal ini sangat terlihat jelas dengan bagaimana Orde Baru menjadi kombinasi dari Negara Islam dan Masyarakat Islam. Dengan kata lain, persepsi wanita di Indonesia pun kerap mengikuti perpaduan Islam dan Jawa yang dimanfaatkan kekuatan politik otoriter untuk menjadi bayangan-bayangan. Maksudnya, Soeharto sengaja meletakkan wanita sebagai subjek dan objek pembangunan ekonomi tanpa menunjukkan keadilan dan kepedulian yang setimpal dengan hak-hak asasi manusia. 

Program industrialisasi di era ini kemudian menyeret wanita untuk memiliki banyak peran. Tidak hanya menjadi seorang ibu sesuai dengan syariat Islam, tetapi juga menjadi wanita karier yang juga ikut menghidupi dirinya dan keluarga. Selain itu, banyaknya peraturan dan organisasi mengatasnamakan wanita ternyata hanya menjadi kambing hitam demi kepentingan pria dan urusan politik.

Dalam dinamika politik Orde Baru, untuk dapat bisa dekat dengan Soeharto akses pertama yang harus dimiliki adalah kesamaan budaya, yaitu Jawa. Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang otentik dan tidak bisa berubah. Legitimasi kebudayaan dipakai oleh rezim politik Orde Baru untuk me-reframe politik dan pembangunan, terutama yang berbasis pada budaya Jawa. Nasionalisme Soeharto yang didominasi nilai budaya Jawa nan kuat ini menganggap budaya non-Jawa seperti artefak dan harus dikonservasi.

Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang statis. Seolah-olah perubahan dan pergerakan atas budaya tersebut dianggap haram melanggar kaidah syariat yang dipercayai Soeharto. Semua hal berbau politik pada saat itu dijawanisasi untuk melanggengkan nafas kekuasaannya dan menarik keluarga serta kroni-kroninya ke dalam dunia politik. Apapun dibingkai dan distrukturkan dengan budaya Jawa, misalnya saja konsep sopan santun dan komunikasi politik yang hanya didefinisikan pada perspektif Jawa. Penyampaian aspirasi pun sangat diketatkan. 

Soeharto berhasil mengaplikasikan budaya Jawa dalam pemerintahan Orde Baru, sehingga masyarakat menjadi tunduk dan merasa takut dengannya sebagai pemimpin. Bahkan, ketika masyarakat waktu itu sudah menunjukkan ketidakberpihakkannya dengan rezim yang ia pimpin, Soeharto mengatakan bahwa ia siap untuk lengser keprabon atau meninggalkan “tahta”. Frasa tersebut menjadi perbincangan dan dimintai kelanjutannya sebab kata lengser mengartikan kepergian pemimpin dari kekuasaan bersifat sukarela, terhormat, dan mungkin hanya sementara (Woodward, 2010).

Konstruksi Perempuan Indonesia pada Orde Baru

Ideologi gender pada masa Orde Baru mensyaratkan bahwa perempuan didefinisikan berdasarkan peran reproduksinya, sebagai ibu rumah tangga yang pasif dan patuh. Hal ini tentu saja dilandaskan oleh latar belakang adat patriarki budaya tradisional Jawa yang dipegang teguh presiden kedua kita. Konsepsi akan perempuan dalam struktur pemerintah khususnya politik diadaptasi dari budaya Jawa dan nilai-nilai Islam. Peran dan status perempuan diturunkan dari tradisional budaya kerajaan di mana perempuan harus setia kepada laki-laki dan menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu ideal bagi anak-anaknya.

Pemerintah Orde Baru mengonstruksi perempuan menjadi tiga konsep: ibu rumah tangga, ibu negara, dan ibu dengan konsep Islam. Sementara itu, pengertian “ibu” ditekankan menjadi konsep yang didominasi konstruksi budaya Jawa. Negara menggunakan istilah Ibu hanya dalam ranah biologis yang terbatas (Suryakusumah dalam Ida, 1996). Konstruksi pada pekerjaan ibu rumah tangga di Orde Baru hanya dilihat sebagai perempuan yang pasif dan tidak berkontribusi dalam ekonomi rumah tangga. Perempuan dilihat hanya sebatas menggantungkan hidupnya di tangan laki-laki.

Konsep ibu rumah tangga yang pasif ini hanya dialami perempuan-perempuan yang stabilitas ekonominya sudah tercukupi dengan status sosial menengah ke atas. Pasalnya, hiruk-pikuk industrialisasi pada masa ini pun menyeret perempuan untuk tunduk kepada Bapak Pembangunan dan proyek kapitalismenya yang memojokkan hak asasi manusia warga negaranya. Perempuan yang berasal dari kelas bawah tidak bisa mengikuti framing adat Jawa yang hanya dilihat kepasifannya dalam bidang ekonomi. Mereka harus banting tulang sebagai buruh yang dibayar dengan upah minimum. Sayangnya, dari zaman kakek kolonial hingga bapak pascakolonial—Belanda dan Soeharto—tidak ada penerangan atas kesejahteraan perempuan yang harunsya dibenahi (Katjasungkana & Wieringa,  2003).

Kilas Balik Gerwani yang Diperalat

Gerakan Wanita Indonesia merupakan organisasi wanita komunis yang mengikuti garis PKI. Dengan cita-cita revolusioner berbasis sosialis, Gerwani dijadikan alat untuk meruntuhkan rezim Soekarno. Pada pergerakannya, Gerwani berfokus menyuarakan hak-hak kesetaraan wanita. Mereka terus bersuara dan menolak untuk menarik diri dari politik. Hal ini menimbulkan kebencian yang semakin meningkat. Baik di kalangan laki-laki konservatif, maupun organisasi perempuan yang merasa bahwa perempuan yang berani dan blak-blakan itu melanggar kode etik perempuan tradisional dan kodratnya. 

Selanjutnya, mitos pengebirian diterima secara luas di masyarakat karena mitos ini dibangun atas ketakutan terhadap lembaga politik perempuan yang diseksualisasi. Tragedi 1965 ini berhasil melanggengkan citra Gerwani sebagai pelacur komunis dan menghancurkan partai dengan suara terbanyak yang menyokong kepemimpinan Soekarno. Fitnah tersebut merajalela hingga bagaimana masyarakat sekarang menelan itu semua dari buku-buku sejarah hasil kapitalis percetakan. Para pemegang kekuasaan militer yang mungkin merasa terancam oleh partisipasi politik perempuan hanya dapat menegaskan kejantanan mereka dengan menciptakan ancaman terhadap perempuan, baik dalam bentuk isu komunis maupun penyimpangan seksual, sehingga perempuan diharuskan menerima peran yang dianggap "layak" dalam masyarakat.

Terdapat manipulasi yang disengaja untuk mengambil hati nurani budaya dan agama kolektif masyarakat Indonesia. Manipulasi sejarah ini menjadi landasan bagi Soeharto untuk membangun jalan menuju kekuasaannya yang konservatif. Tampaknya, iklim manipulasi dan kekacauan sengaja diciptakan dengan mengeksploitasi kegelisahan yang mendalam dari masyarakat yang telah terguncang oleh ketegangan politik dan sosial-ekonomi pada masa itu. Kekacauan ini dipicu oleh ketakutan akan kekuatan seksual perempuan yang tidak terkendali, sebuah ketakutan yang diilhami oleh agama bahwa ketidaktaatan perempuan akan membahayakan seluruh sistem sosial.

Kontrol Orde Baru terhadap Seksualitas Perempuan

Orde Baru menciptakan organisasi seperti Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, yaitu persatuan perempuan yang diintegritaskan berdasarkan profesi suaminya. Di mana anggota Dharma Wanita adalah istri PNS dan Dharma Pertiwi sebagai perkumpulan istri TNI. Suryakusumah (dalam Ida, 2001) mengutip bahwa pembentukan organisasi yang berbasis hierarki suami merefleksikan gagasan bahwa perempuan didefinisikan dalam kapasitasnya untuk melayani suami, keluarga, dan negara. Seperti yang dikatakan (Sullivan dalam Ida, 2001) "Perempuan diikutsertakan dalam pembangunan nasional, bukan sebagai warga negara yang bertanggung jawab penuh, tetapi sebagai asisten yang bergantung pada laki-laki".

Pemerintah Orde Baru jelas bertujuan mengumpulkan para istri PNS dan TNI ini untuk mendukung karir dan tanggung jawab suami mereka, menjaga loyalitas pegawai negeri, meningkatkan stabilitas politik, dan memperkuat persatuan nasional dengan mendirikan asosiasi ini (Sunindyo dalam Ida, 2001). Sebuah rumor mengatakan bahwa kehadiran para istri dalam perkumpulan ini ditunjukkan sebagai perwakilan suami mereka di departemen. Di sisi lain, ini menciptakan struktur kekuasaan dan ketidaksetaraan kelas yang berbasis patriarki, yang menjadikan organisasi perempuan sebagai ketegangan dari aparat birokrasi.

Pendirian organisasi PKK menegaskan konsepsi perempuan yang diharapkan oleh budaya Jawa, yaitu perempuan penurut yang tidak ikut campur politik dan hanya fokus mendidik generasi penerus bangsa. PKK dibentuk untuk membangun citra perempuan yang sebenarnya berlawanan dengan citra perempuan ideal yang ingin diciptakan oleh Gerwani. Fokus utama PKK adalah mendukung pemerintah yang berkuasa, tidak mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah, tidak berusaha untuk mengubah tatanan yang ada dan tidak memberontak terhadap cita-cita keibuan yang ditekankan kekuasaan patriarki Soeharto.

Selain organisasi, media seperti TVRI pun kerap menyebarkan ideologi konservatif rezim Orde Baru untuk memperkuat cabang patriarki dan peran perempuan dalam domestik. Alih-alih mendorong perempuan untuk terlibat dalam ranah politik sebagai wujud pluralitas, TVRI memproduksi tontonan yang mendefinisikan peran perempuan terutama istri sebagai pendukung dan pelengkap suami. Tak sampai di situ, majalah dan buku-buku pun ikut membingkai proyek pembangunan yang sedang digeluti Soeharto sebagai wujud transisi modernitas Indonesia. Perempuan modern dibingkai dengan peran ganda. Tidak hanya digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang bahagia mengurus anak dan suami, tetapi juga sebagai muslimah taat, perempuan karier yang sukses, warga negara yang teladan, dan simbol seks yang memikat.

Industrialisasi Membantu Pelepasan Kodrat Perempuan Jawa

Modernisasi dalam proyek pembangunan Soeharto terus menerus digunakan sebagai legitimasi dan stabilitas sosial dan politik dalam tradisi yang telah direkonstruksi. Pintu modernitas dibayangkan sebagai alat yang mengantarkan bangsa Indonesia yang lebih sejahtera dan makmur. Manipulasi ini dimainkan oleh media populer. Bagaimanapun, modernitas ini membukakan pintu selebar-lebarnya terhadap komoditas asing untuk membuka pabrik di negara ini dan memanfaatkan tenaga kerja masyarakat kita. Buruh-buruh perempuan, mau tidak mau bekerja lembur untuk memeroleh upah yang lebih banyak. Dari sini, bisa dilihat bahwa konsepsi perempuan ciptaan Orde Baru hanya dapat diimplementasikan bagi perempuan kelas menengah ke atas saja. 

Penanaman ideologi konservatif budaya Jawa yang otoriter dan hierarkis menjadi basis pedoman Soeharto dalam membayangkan nasionalisme dan perannya sebagai pemimpin negara. Pembangunan nasional diniatkan hanya untuk mengajak laki-laki saja yang terjun ke dalam politik. Sementara itu, perempuan hanya menjadi bayangan-bayangan tak terlihat dan dianggap pasif dalam proyek pembangunan ini. Padahal, proyek tersebut banyak mengeksploitasi perempuan di bidang industri. Perempuan justru semakin dieksploitasi dengan media-media industri sebagai keperluan cuan belaka. 

Industrialisasi memang mengeksploitasi hak-hak buruh. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa masa suram ini justru melegalkan perempuan untuk dapat turun ke lapangan dan memudarkan stereotip budaya Jawa terhadap perempuan yang bekerja dan berpendidikan. Perempuan mulai dilirik kecakapannya dalam pekerjaan yang bukan di ranah dapur saja, walaupun dalam implementasinya zaman ini masih menatap sinis perempuan sukses karena masih melekatnya budaya Jawa yang ada. Pada akhirnya, industrialisasi ini mengonstruksi pandangan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah setara— setidaknya dalam konteks mencari cuan.

Referensi

Brenner, S. (1999). On the Public Intimacy of the New Order: Images of Women in the Popular Indonesian Print Media. Indonesia, 67, 13–37. https://doi.org/10.2307/3351375

Ida, R. (2001). The construction of gender identity in Indonesia: Between cultural norms, economic implications, and state formation. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 14(1), 21-34. https://www.semanticscholar.org/paper/THE-CONSTRUCTION-OF-GENDER-IDENTITY-IN-INDONESIA%3A-*-Ida/7d0d31be4b699783351d6570c0aa000f7cf1fc9e?utm_source=direct_link 

Katjasungkana, N., & Wieringa, S. (2003). Sexual politics and reproductive rights in Indonesia. development, 46, 63-67. https://doi.org/10.1057/palgrave.development.1110448

Wieringa, S. E. (1993). Two Indonesian women's organizations: Gerwani and the PKK. Bulletin of Concerned Asian Scholars, 25(2), 17-30. https://doi.org/10.1080/14672715.1993.10416112

Woodward, M. (2010). Java, Indonesia and Islam (Vol. 3). Springer Science & Business Media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun