Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bayang-bayang Wanita Ciptaan Bapak Pembangunan

31 Desember 2023   02:30 Diperbarui: 31 Desember 2023   16:36 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi ilustrasi: seorang wanita yang tunduk akan perintah pria dan merasa dirinya terkurung.

Selanjutnya, mitos pengebirian diterima secara luas di masyarakat karena mitos ini dibangun atas ketakutan terhadap lembaga politik perempuan yang diseksualisasi. Tragedi 1965 ini berhasil melanggengkan citra Gerwani sebagai pelacur komunis dan menghancurkan partai dengan suara terbanyak yang menyokong kepemimpinan Soekarno. Fitnah tersebut merajalela hingga bagaimana masyarakat sekarang menelan itu semua dari buku-buku sejarah hasil kapitalis percetakan. Para pemegang kekuasaan militer yang mungkin merasa terancam oleh partisipasi politik perempuan hanya dapat menegaskan kejantanan mereka dengan menciptakan ancaman terhadap perempuan, baik dalam bentuk isu komunis maupun penyimpangan seksual, sehingga perempuan diharuskan menerima peran yang dianggap "layak" dalam masyarakat.

Terdapat manipulasi yang disengaja untuk mengambil hati nurani budaya dan agama kolektif masyarakat Indonesia. Manipulasi sejarah ini menjadi landasan bagi Soeharto untuk membangun jalan menuju kekuasaannya yang konservatif. Tampaknya, iklim manipulasi dan kekacauan sengaja diciptakan dengan mengeksploitasi kegelisahan yang mendalam dari masyarakat yang telah terguncang oleh ketegangan politik dan sosial-ekonomi pada masa itu. Kekacauan ini dipicu oleh ketakutan akan kekuatan seksual perempuan yang tidak terkendali, sebuah ketakutan yang diilhami oleh agama bahwa ketidaktaatan perempuan akan membahayakan seluruh sistem sosial.

Kontrol Orde Baru terhadap Seksualitas Perempuan

Orde Baru menciptakan organisasi seperti Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, yaitu persatuan perempuan yang diintegritaskan berdasarkan profesi suaminya. Di mana anggota Dharma Wanita adalah istri PNS dan Dharma Pertiwi sebagai perkumpulan istri TNI. Suryakusumah (dalam Ida, 2001) mengutip bahwa pembentukan organisasi yang berbasis hierarki suami merefleksikan gagasan bahwa perempuan didefinisikan dalam kapasitasnya untuk melayani suami, keluarga, dan negara. Seperti yang dikatakan (Sullivan dalam Ida, 2001) "Perempuan diikutsertakan dalam pembangunan nasional, bukan sebagai warga negara yang bertanggung jawab penuh, tetapi sebagai asisten yang bergantung pada laki-laki".

Pemerintah Orde Baru jelas bertujuan mengumpulkan para istri PNS dan TNI ini untuk mendukung karir dan tanggung jawab suami mereka, menjaga loyalitas pegawai negeri, meningkatkan stabilitas politik, dan memperkuat persatuan nasional dengan mendirikan asosiasi ini (Sunindyo dalam Ida, 2001). Sebuah rumor mengatakan bahwa kehadiran para istri dalam perkumpulan ini ditunjukkan sebagai perwakilan suami mereka di departemen. Di sisi lain, ini menciptakan struktur kekuasaan dan ketidaksetaraan kelas yang berbasis patriarki, yang menjadikan organisasi perempuan sebagai ketegangan dari aparat birokrasi.

Pendirian organisasi PKK menegaskan konsepsi perempuan yang diharapkan oleh budaya Jawa, yaitu perempuan penurut yang tidak ikut campur politik dan hanya fokus mendidik generasi penerus bangsa. PKK dibentuk untuk membangun citra perempuan yang sebenarnya berlawanan dengan citra perempuan ideal yang ingin diciptakan oleh Gerwani. Fokus utama PKK adalah mendukung pemerintah yang berkuasa, tidak mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah, tidak berusaha untuk mengubah tatanan yang ada dan tidak memberontak terhadap cita-cita keibuan yang ditekankan kekuasaan patriarki Soeharto.

Selain organisasi, media seperti TVRI pun kerap menyebarkan ideologi konservatif rezim Orde Baru untuk memperkuat cabang patriarki dan peran perempuan dalam domestik. Alih-alih mendorong perempuan untuk terlibat dalam ranah politik sebagai wujud pluralitas, TVRI memproduksi tontonan yang mendefinisikan peran perempuan terutama istri sebagai pendukung dan pelengkap suami. Tak sampai di situ, majalah dan buku-buku pun ikut membingkai proyek pembangunan yang sedang digeluti Soeharto sebagai wujud transisi modernitas Indonesia. Perempuan modern dibingkai dengan peran ganda. Tidak hanya digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang bahagia mengurus anak dan suami, tetapi juga sebagai muslimah taat, perempuan karier yang sukses, warga negara yang teladan, dan simbol seks yang memikat.

Industrialisasi Membantu Pelepasan Kodrat Perempuan Jawa

Modernisasi dalam proyek pembangunan Soeharto terus menerus digunakan sebagai legitimasi dan stabilitas sosial dan politik dalam tradisi yang telah direkonstruksi. Pintu modernitas dibayangkan sebagai alat yang mengantarkan bangsa Indonesia yang lebih sejahtera dan makmur. Manipulasi ini dimainkan oleh media populer. Bagaimanapun, modernitas ini membukakan pintu selebar-lebarnya terhadap komoditas asing untuk membuka pabrik di negara ini dan memanfaatkan tenaga kerja masyarakat kita. Buruh-buruh perempuan, mau tidak mau bekerja lembur untuk memeroleh upah yang lebih banyak. Dari sini, bisa dilihat bahwa konsepsi perempuan ciptaan Orde Baru hanya dapat diimplementasikan bagi perempuan kelas menengah ke atas saja. 

Penanaman ideologi konservatif budaya Jawa yang otoriter dan hierarkis menjadi basis pedoman Soeharto dalam membayangkan nasionalisme dan perannya sebagai pemimpin negara. Pembangunan nasional diniatkan hanya untuk mengajak laki-laki saja yang terjun ke dalam politik. Sementara itu, perempuan hanya menjadi bayangan-bayangan tak terlihat dan dianggap pasif dalam proyek pembangunan ini. Padahal, proyek tersebut banyak mengeksploitasi perempuan di bidang industri. Perempuan justru semakin dieksploitasi dengan media-media industri sebagai keperluan cuan belaka. 

Industrialisasi memang mengeksploitasi hak-hak buruh. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa masa suram ini justru melegalkan perempuan untuk dapat turun ke lapangan dan memudarkan stereotip budaya Jawa terhadap perempuan yang bekerja dan berpendidikan. Perempuan mulai dilirik kecakapannya dalam pekerjaan yang bukan di ranah dapur saja, walaupun dalam implementasinya zaman ini masih menatap sinis perempuan sukses karena masih melekatnya budaya Jawa yang ada. Pada akhirnya, industrialisasi ini mengonstruksi pandangan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah setara— setidaknya dalam konteks mencari cuan.

Referensi

Brenner, S. (1999). On the Public Intimacy of the New Order: Images of Women in the Popular Indonesian Print Media. Indonesia, 67, 13–37. https://doi.org/10.2307/3351375

Ida, R. (2001). The construction of gender identity in Indonesia: Between cultural norms, economic implications, and state formation. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 14(1), 21-34. https://www.semanticscholar.org/paper/THE-CONSTRUCTION-OF-GENDER-IDENTITY-IN-INDONESIA%3A-*-Ida/7d0d31be4b699783351d6570c0aa000f7cf1fc9e?utm_source=direct_link 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun