Â
PENGENALAN FILSAFAT PARIPATETIK DAN ETIKA BISNIS
 Sejarah Filsafat ParipatetikÂ
Dalam sejarah filsafat Paripatetik muncul pada abad ke-4 SM di Yunani Kuno. Aliran filsafat ini didirikan oleh Aristoteles, setelah ia meninggalkan dalam bidang Akademik, dan sekolah filsafat didirikan oleh Plato. Pada sebelum meninggalakan akademik bahwa Aristoteles pernah belajar selama bertahun-tahun dengan Plato, dimana Aristoteles mendapatkan dasar-dasar pemikiran filosofis. Namun dengan belajar tersebut terdapat berbedaan pemikiran maupun pendekatan antara Aristoteles dengan Plato. Pemikiran Aristoteles cenderung lebih fokus pada penelitian empiris dan observasi langsung terhadap alam dan manusia, sementara Plato cenderung lebih abstrak dan berorientasi pada ide-ide yang universal. Setelah kematian Plato pada tahun 347 SM, Aristoteles meninggalkan Akademi dan pindah ke kota Athena. Di sana, ia mendirikan sekolahnya sendiri yang dikenal sebagai Lyceum. Nama "paripatetik" berasal dari kebiasaan Aristoteles mengajar para muridnya sambil berjalan-jalan di sekitar area Lyceum. Di Lyceum, Aristoteles mengajarkan berbagai mata pelajaran, termasuk filsafat, logika, ilmu alam, etika, dan politik. Ia mengembangkan sistem pemikiran dan metodologi filosofis yang unik, dengan menekankan pengamatan alam dan penalaran rasional sebagai landasan pengetahuan.
Aristoteles juga menulis banyak karya, yang meliputi karya-karya filosofis terkenal seperti "Nikomakhea Etika" dan "Fisika". Setelah kematian Aristoteles pada tahun 322 SM, para pengikutnya melanjutkan pengembangan filsafat paripatetik. Beberapa pengikut terkenalnya termasuk Theophrastus, yang menjadi kepala Lyceum setelah Aristoteles, dan Strato dari Lampsacus, yang memimpin aliran ini setelah Theophrastus. Pengaruh filsafat paripatetik terus berkembang dalam tradisi filsafat Yunani dan mempengaruhi pemikiran filosofis Barat selama berabad-abad. Walaupun praktik mengajar dan aliran paripatetik mengalami pasang surut selama sejarah, kontribusi Aristoteles dalam berbagai bidang filsafat terus dihormati dan dipelajari hingga saat ini.
Â
 Konsep Etika Bisnis Dan Pentingnya Membangun Organisasi Yang Beretika
Konsep etika bisnis melibatkan penerapan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang benar dalam konteks dunia bisnis. Etika bisnis menekankan pentingnya bertindak dengan integritas, kejujuran, tanggung jawab sosial, serta mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari keputusan dan tindakan bisnis. Membangun organisasi yang beretika memiliki kepentingan yang sangat besar. Organisasi yang beretika akan menciptakan lingkungan kerja yang sehat, di mana karyawan merasa dihargai dan didorong untuk bertindak dengan integritas. Hal ini dapat meningkatkan moral dan motivasi karyawan, serta menciptakan hubungan yang lebih baik antara karyawan, manajemen, dan pelanggan. Selain itu, organisasi yang beretika juga akan memperoleh kepercayaan dari para pemangku kepentingan seperti pelanggan, mitra bisnis, investor, dan masyarakat secara umum.
 Kepercayaan adalah aset yang berharga dalam bisnis, karena dapat mempengaruhi reputasi dan kelangsungan jangka panjang suatu organisasi. Organisasi yang dihormati karena etika bisnisnya yang baik akan menarik pelanggan yang setia, mitra bisnis yang solid, dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.Selain manfaat internal dan eksternal yang signifikan, membangun organisasi yang beretika juga sesuai dengan nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial. Organisasi yang berkomitmen pada etika bisnis akan menghindari praktik-praktik yang merugikan, seperti penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, organisasi tersebut dapat berperan sebagai agen perubahan yang positif dalam masyarakat, berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan sosial.[3]
Â
Relevansi Filsafat Paripatetik Dalam Konteks Etika Bisnis.
Filsafat Paripatetik, yang didirikan oleh Aristoteles, memiliki relevansi yang kuat dalam konteks etika bisnis. Konsep-konsep yang diajarkan dalam filsafat Paripatetik memberikan panduan moral yang penting bagi praktik bisnis yang beretika. Salah satu konsep utama dalam filsafat Paripatetik adalah kebajikan (virtue). Aristoteles mengembangkan konsep kebajikan sebagai landasan etika. Keberanian, kebijaksanaan, keadilan, dan kejujuran. Beberapa contoh kebajikan yang dianggap penting untuk diterapkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dunia bisnis. Organisasi yang mengamalkan kebajikan dalam keputusan dan tindakan bisnisnya akan mempromosikan lingkungan kerja yang jujur, adil, dan bertanggung jawab.[4]
Selain itu, filsafat Paripatetik juga mengajarkan tentang tanggung jawab sosial. Aristoteles menekankan pentingnya mempertimbangkan konsekuensi sosial dari tindakan dan keputusan bisnis. Organisasi yang beretika harus memperhatikan dampak yang mereka hasilkan terhadap karyawan, pelanggan, masyarakat, dan lingkungan. Ini termasuk menghormati hak-hak pekerja, menghasilkan produk yang aman dan berkualitas, serta berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Konsep hylemorfisme dalam filsafat Paripatetik juga dapat memiliki implikasi dalam etika bisnis. Aristoteles mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki hyle (materi) dan morphe (bentuk). Dalam konteks bisnis, hal ini dapat diartikan sebagai pentingnya mempertimbangkan konsekuensi sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnis, serta menggunakan sumber daya secara bijaksana dan bertanggung jawab. Organisasi yang beretika harus menjaga keberlanjutan lingkungan dan menggunakan sumber daya dengan penuh tanggung jawab.[5]
Membangun organisasi yang beretika memiliki manfaat yang signifikan. Organisasi yang beretika akan menciptakan lingkungan kerja yang sehat, di mana karyawan merasa dihargai dan didorong untuk bertindak dengan integritas. Hal ini dapat meningkatkan moral dan motivasi karyawan, serta menciptakan hubungan yang lebih baik antara karyawan, manajemen, dan pelanggan. Selain itu, organisasi yang beretika juga akan memperoleh kepercayaan dari para pemangku kepentingan seperti pelanggan, mitra bisnis, investor, dan masyarakat secara umum. Kepercayaan adalah aset yang berharga dalam bisnis, karena dapat mempengaruhi reputasi dan kelangsungan jangka panjang suatu organisasi. Organisasi yang dihormati karena etika bisnisnya yang baik akan menarik pelanggan yang setia, mitra bisnis yang solid, dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Selain manfaat internal dan eksternal yang signifikan, membangun organisasi yang beretika juga sesuai dengan nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial. Organisasi yang berkomitmen pada etika bisnis akan menghindari praktik-praktik yang merugikan, seperti penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, organisasi tersebut dapat berperan sebagai agen perubahan yang positif dalam masyarakat, berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan sosial.[6]
PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT DALAM KONTEKS ETIKA BISNIS
Prinsip-prinsip utama yang diajarkan oleh Filsafat Paripatetik
Filsafat Paripatetik, yang didirikan oleh Aristoteles, mengajarkan prinsip-prinsip utama yang meliputi beragam aspek kehidupan manusia. Berikut ini adalah beberapa prinsip utama yang diajarkan oleh Filsafat Paripatetik:
1) Penekanan pada Kebajikan: Salah satu prinsip utama dalam Filsafat Paripatetik adalah kebajikan (virtue). Aristoteles mengembangkan konsep kebajikan sebagai landasan etika. Keberanian, kebijaksanaan, keadilan, dan kejujuran adalah beberapa contoh kebajikan yang dianggap penting dalam mencapai kehidupan yang baik dan bahagia.
 2) Penekanan pada Teladan: Filsafat Paripatetik menekankan pentingnya memiliki teladan atau panutan dalam hidup. Aristoteles mengajarkan bahwa kita dapat belajar dari contoh-contoh positif orang-orang yang hidup dengan kebajikan dan mempraktikkan prinsip-prinsip moral yang baik.
3) Empiris dan Observasi: Aristoteles menekankan pentingnya pengamatan dan analisis data dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Pendekatan ini berbeda dari aliran-aliran filsafat lainnya yang lebih abstrak. Aristoteles mengajarkan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dan pengamatan langsung terhadap dunia nyata.
 4) Hylemorfisme: Konsep hylemorfisme dalam Filsafat Paripatetik mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki hyle (materi) dan morphe (bentuk). Aristoteles berpendapat bahwa bentuk memberikan substansi dan tujuan bagi materi. Dalam konteks etika bisnis, hal ini mengandung arti pentingnya mempertimbangkan konsekuensi sosial dan lingkungan dari tindakan dan keputusan bisnis.
 5) Tujuan Akhir Kehidupan: Filsafat Paripatetik juga menekankan tujuan akhir kehidupan manusia, yang disebut eudaimonia. Aristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kebaikan. Eudaimonia dapat dicapai melalui pengembangan potensi manusia dan hidup sesuai dengan akal budi.[7]Â
Relevansi Prinsip-Prinsip Tersebut Dalam Mengembangkan Etika Bisnis Yang Berkelanjutan
Prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Filsafat Paripatetik memiliki relevansi yang signifikan dalam mengembangkan etika bisnis yang berkelanjutan. Konsep-konsep yang terkandung dalam aliran filsafat ini dapat memberikan panduan moral yang penting bagi praktik bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Salah satu prinsip utama dalam Filsafat Paripatetik adalah penekanan pada kebajikan atau keutamaan moral. Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan adalah kualitas moral yang membimbing perilaku manusia menuju kehidupan yang baik dan bahagia. Dalam konteks etika bisnis yang berkelanjutan, prinsip ini mendorong organisasi untuk mengutamakan integritas, kejujuran, tanggung jawab sosial, dan keadilan dalam setiap aspek operasional mereka. Dengan menerapkan kebajikan dalam praktik bisnis, organisasi dapat membangun reputasi yang baik, memperoleh kepercayaan pelanggan, dan menciptakan hubungan yang sehat dengan mitra bisnis dan masyarakat.Â
Selain itu, pendekatan empiris dan observasi dalam Filsafat Paripatetik juga memiliki relevansi dalam mengembangkan etika bisnis yang berkelanjutan. Aristoteles menekankan pentingnya pengamatan langsung terhadap dunia nyata dan analisis data dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Dalam konteks bisnis, pendekatan ini dapat mendorong organisasi untuk mengumpulkan data tentang dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan mereka. Dengan memahami dampak ini, organisasi dapat mengambil langkah-langkah yang bertanggung jawab untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan kontribusi positif mereka terhadap masyarakat dan lingkungan.
Konsep hylemorfisme, yang menekankan pentingnya mempertimbangkan materi (hyle) dan bentuk (morphe), juga relevan dalam etika bisnis yang berkelanjutan. Dalam hal ini, organisasi perlu mempertimbangkan sumber daya alam yang digunakan, pengelolaan limbah, penggunaan energi yang efisien, dan dampak lingkungan lainnya dari operasi mereka. Dengan memperhatikan faktor-faktor ini, organisasi dapat mengembangkan praktik bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.[8]
Â