3. Aturan-aturan Hukum Pidana tidak berlaku surut.
Indonesia sudah mengatur tentang retroaktif jauh di dalam Dasar Hukum, demi kepentingan yang harus dilindungi adalah kepentingan kolektif baik kepentingan negara, bangsa maupun masyarakat. Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan aturan peralihan yang bersifat umum. Dari ketentuan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, jelas bahwa "Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut" merupakan hak absolut dari manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi. Pernyataan yang tercantum dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 ialah hak  untuk  tidak  dituntut  atas  dasar  hukum  yang berlaku  surut  adalah  hak  asasi  manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tidak berlaku mutlak, karena sesuai dengan penjelasan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999.
Retroaktif adalah hukum yang diterapkan secara mundur atau kembali ke suatu peristiwa atau situasi yang telah terjadi sebelum undang-undang tersebut diadopsi atau diberlakukan. Dengan kata lain, hukum retroaktif mengubah konsekuensi hukum dari perbuatan atau peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Sifat retroaktif dalam hukum bisa memiliki dampak besar karena itu dapat memengaruhi hak, kewajiban, atau status individu atau entitas secara retrospektif. Beberapa contoh situasi di mana hukum retroaktif dapat diterapkan termasuk:
- Hukuman Kriminal Retroaktif : Pemberlakuan hukuman kriminal yang lebih ringan untuk suatu tindakan yang telah dianggap ilegal di masa lalu. Ini dapat mengubah masa tahanan atau hukuman yang dikenakan terhadap seseorang yang telah dihukum sebelum perubahan hukum tersebut.
- Perubahan Status Hukum : Suatu undang-undang yang memberikan status hukum kepada kelompok tertentu secara retroaktif dapat mengubah hak-hak dan kewajiban mereka di masa lalu. Misalnya, pemberian kewarganegaraan kepada sekelompok penduduk yang sebelumnya tidak memiliki status hukum tertentu.
Pemberlakuan hukum pidana secara Retroaktif merupakan pengecualian dari Asas Legalitas atau Principle of legality atas dasar extra ordinary crimes, seperti pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan Pelanggaran Hukum yang merugikan Keuangan Negara, Dengan demikian pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang dilandasi oleh prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti, baik keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi korban tindak pidana merupakan penyeimbang Asas Legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan untuk semuanya. Sehingga pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dengan kondisi-kondisi tertentu, seperti demi kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara yang selama ini kurang mendapat perlindungan dari Asas Legalitas dapat diterima, guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat. Argumentasi Hukum dapat berlaku retroaktif atau tidak tergantung pada sistem hukum dan peraturan yang berlaku di suatu yurisdiksi tertentu. Retroaktif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah undang-undang atau keputusan hukum diterapkan kembali ke suatu peristiwa atau situasi yang terjadi sebelum undang-undang atau keputusan tersebut diadopsi atau diberlakukan.
Dalam beberapa Yurisdiksi, retroaktivitas diizinkan dalam beberapa kasus tertentu, tetapi dalam kasus-kasus lain, itu dilarang. Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
- Prinsip Hukum Prospektif : Banyak sistem hukum mengikuti prinsip bahwa undang-undang baru hanya berlaku ke depan, sehingga tidak mempengaruhi peristiwa atau situasi yang telah terjadi sebelumnya.
- Pengecualian Retroaktif : Namun, ada situasi di mana undang-undang dapat diberlakukan secara retroaktif. Misalnya, dalam kasus perubahan peraturan pajak, pemerintah mungkin memutuskan untuk menerapkan perubahan tersebut secara retroaktif untuk menghindari celah pajak yang mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
- Prinsip Keadilan : Beberapa yurisdiksi mungkin mempertimbangkan aspek keadilan ketika memutuskan apakah suatu undang-undang harus berlaku retroaktif atau tidak. Jika retroaktivitas undang-undang dianggap tidak adil atau melanggar hak individu, maka bisa saja dilarang.
- Kasus-kasus Terkenal : Beberapa kasus hukum tertentu mungkin telah membentuk preseden dalam hal retroaktivitas. Misalnya, dalam kasus perubahan undang-undang imigrasi, pengadilan mungkin telah memutuskan apakah perubahan tersebut dapat berlaku untuk kasus-kasus yang sudah ada sebelumnya.
Penerapan hukum retroaktif sering kali menjadi subjek perdebatan hukum dan politik, karena dapat menghadirkan masalah keadilan dan stabilitas hukum. Beberapa yurisdiksi membatasi penggunaan hukum retroaktif, terutama jika itu dianggap merugikan hak-hak individu atau perusahaan tanpa alasan yang kuat. Penting untuk selalu memeriksa hukum dan peraturan yang berlaku di suatu yurisdiksi untuk memahami apakah hukum retroaktif diizinkan atau tidak, serta bagaimana hukum tersebut dapat memengaruhi situasi tertentu yang mungkin melibatkan perubahan hukum yang bersifat retroaktif.
Jadi, apakah argumentasi hukum dapat berlaku retroaktif atau tidak akan bergantung pada peraturan hukum yang berlaku di yurisdiksi tertentu dan konteks spesifiknya. Sebaiknya selalu berkonsultasi dengan seorang ahli hukum atau mencari informasi hukum yang berlaku di wilayah atau negara Anda untuk memahami lebih lanjut tentang kapan retroaktivitas diperbolehkan atau dilarang dalam hukum setempat.
Argumentasi hukum adalah proses penyusunan dan penyampaian argumen atau alasan yang sah dan relevan dalam konteks hukum untuk mendukung suatu pandangan atau kesimpulan hukum tertentu. Di Indonesia, para ahli hukum telah memberikan berbagai pandangan dan kontribusi terkait dengan argumentasi hukum. Berikut adalah beberapa pandangan tentang argumentasi hukum dari beberapa ahli hukum Indonesia:
1. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie : Salah satu ahli hukum terkemuka di Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menggarisbawahi pentingnya argumentasi hukum yang berkualitas dalam peradilan. Ia menekankan bahwa argumentasi yang kuat harus didasarkan pada hukum yang berlaku, yaitu undang-undang, peraturan, dan preseden hukum. Argumentasi juga harus mengikuti prinsip keadilan, kebenaran, dan kemanfaatan.
2. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra : Yusril Ihza Mahendra adalah seorang ahli hukum tata negara di Indonesia. Ia sering berbicara tentang argumentasi hukum dalam konteks konstitusi dan tata negara. Menurutnya, argumentasi hukum harus didasarkan pada teks konstitusi dan semangat konstitusi untuk memastikan ketertiban dan keadilan dalam sistem hukum Indonesia.
Pandangan para ahli hukum di Indonesia mencerminkan pentingnya argumentasi hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum, etika, dan keadilan. Argumentasi yang baik tidak hanya merujuk pada teks hukum, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan tujuan hukum untuk mencapai hasil yang adil dan benar. Argumentasi hukum yang kuat dan bermutu sangat penting dalam menjaga kepastian hukum dan keadilan dalam sistem hukum Indonesia.