Mohon tunggu...
XAVIER QUENTIN PRANATA
XAVIER QUENTIN PRANATA Mohon Tunggu... Dosen - Pelukis kehidupan di kanvas jiwa

Penulis, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Terlalu Banyak Istilah Justru Kalah

15 Juli 2020   10:57 Diperbarui: 15 Juli 2020   11:21 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Daring itu apa Pak?" tanya seorang sahabat saya dari Melbourne saat saya jelaskan bahwa dalam kondisi pandemik seperti ini, saya mengajar mahasiswa via daring.

Saat menjelaskan tentang istilah daring (dalam jaringan), saya sekaligus tambahkan istilah luring (luar jaringan). Sahabat yang dulu dekat dengan saya saat saya masih berkarya di ibukota Victoria itu bisa jadi bingung dengan banyaknya istilah 'baru' yang tidak benar-benar baru. Ketika saya jelaskan bahwa daring itu sama dengan online dan luring itu sama dengan offline, dia menjawab, "Wow gaul amat bahasanya!" Gantian saya yang tepok jidat.

Mungkin karena jarang pulang ke Indonesia atau tidak terlalu banyak mengikuti medsos maupun media online, dia jadi tertinggal. Indonesia memang terkenal senang membuat istilah 'baru' untuk mengakomodasi perkembangan zaman. Tak terkecuali di saat pandemi seperti ini.

"Pemerintah Ganti Istilah PDP, ODP, OTG, dan New Normal." Begitu subjudul di bawah kepala berita yang saya baca di koran cetak nasional. Reaksi pertama saya tersenyum sendiri sambil berkata dalam hati, "Istilah apa lagi?"

Lagi-lagi istilah. Lagi-lagi istilah baru. Istilah lama saja belum terlalu akrab di telinga sebagian masyarakat sudah berubah lagi. "Kita tak lagi menggunakan definisi operasional sebelumnya. Istilah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala, kasus konfirmasi kami ubah," ujar Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB seperti dikutip Kompas.com, Selasa (14/7/2020).

Diubah menjadi apa? Suspect, Probable, Kontak Erat, dan Kasus Konfirmasi. Tambah bingung. Mengapa? Karena ada yang pakai bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

Juru Bicara Pemerintah untuk Pencegahan Covid-19 Achmad Yurianto menjelaskan bahwa perubahan istilah ini merupakan Keputusan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. 

Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 ini merupakan revisi kelima. Mengapa istilah  yang belum akrab itu diganti lagi? Salah satu pertimbangannya adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan keilmuan dan teknis kebutuhan pelayanan.

Saya setuju, tetapi menurut saya, masyarakat lebih butuh kejelasan arti dan ketangkasan aksi dalam menanggulangi Covid-19 (istilah ini pun merupakan perubahan dari beberapa istilah sebelumnya).

Kejelasan Arti

Sampai hari ini pun saya bahkan lebih senang memakai istilah efektif dan efisien ketimbang mangkus dan sangkil. Saya tidak tahu berapa banyak di antara pembaca yang masih mengernyitkan dahi mendengar atau membaca istilah 'mangkus' dan 'sangkil' yang ternyata tidak efektif menggantikan istilah 'efektif' dan 'efisien'.

Istilah yang sukar atau bahkan tidak dipahami justru kontraproduktif. Mana yang lebih masyarakat pahami antara 'lockdown', 'kuntara' atau PSBB? Bagaimana dengan 'new normal'? Kenormalan baru? Lalu apa kenormalan lama? Baru saja kita menyesuaikan diri, kita istilah itu sudah diubah lagi menjadi 'adaptasi kebiasaan baru' disingkat AKB. Weleh, weleh, weleh.

Ketangkasan Aksi

Inilah yang sebenarnya ditunggu sekian lama oleh masyarakat. Bagi saya artinya hanya satu: ketegasan!

Karena kekurangjelasan informasi dan kekurangtegasan dalam aksi inilah yang membuat pandemi ini betah tinggal di Indonesia. Kekurangjelasan informasi bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai kesimpangsiuran berita dan kegamangan dalam mengumumkan bahaya. Saya percaya, pemerintah dianggap kurang tanggap atau terlambat merespon bahaya ini karena dua M: Malu dan Mahal.

Bisa jadi ada perasaan malu jika kita mengakui bahwa virus ini telah menyerang dengan garang. Bisa juga karena mahal di dalam ongkos melacak keberadaan orang-orang yang 'tertembak' virus yang tidak kasat mata ini. Berapa biaya yang harus ditanggung pemerintah jika melakukan tes masif? Lewat metode rapid test yang harganya lebih murah saja kedodoran, apalagi swab yang jauh lebih mahal. Akibatnya, angka penderita tidak muncul di permukaan.

Saat membaca perubahan (lagi) istilah yang berhubungan dengan Covid-19 ini, lagu 'Judul-Judulan' dari P.M.R terngiang di telinga saya.

Habis sudah pacar-pacaran
habis sudah kawin-kawinan
Punya anak
(namanya anak-anakan)

Ini lagu, lagu-laguan
judulnya pun judul-judulan
Maaf ya neng
(ini khan bohong-bohongan)

Jangan sampai pergantian ini pun hanya 'istilah-istilahan'. Masyarakat butuh yang pasti saja. The time is now!

*Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun