Mohon tunggu...
XAVIER QUENTIN PRANATA
XAVIER QUENTIN PRANATA Mohon Tunggu... Dosen - Pelukis kehidupan di kanvas jiwa

Penulis, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nomor Urut

20 September 2018   20:11 Diperbarui: 20 September 2018   20:21 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nomor urut. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar dua kata itu? Bagi saya artinya hanya satu: antre! Bagaimana pula kesan Anda saat mendengar kata 'antre'? Saya memaknainya dua hal yang justru berlawanan konotasinya. Pertama, tertib, prosedural atau profesional. Yang kedua? Lama dan nyebelin. Wkwkwk.

Ketika merenungkan frasa ini---nomor urut---peristiwa demi peristiwa seperti film yang diputar dengan gerak lambat. Ingatan pertama melesat saat masih SD. Saat itu ada imunisasi cacar. Bersama anak-anak SD lainnya, saya harus antre sesuai nomor urut. Jika banyak orang yang ingin mendapatkan nomor urut terakhir, saya justru sebaliknya. 

Apa saya lebih berani daripada mereka untuk dicacar? Sebaliknya! Semakin panjang antrean, semakin banyak anak yang ketakutan, menangis, bahkan berontak ketika hendak diimunisasi. Dengan mendapatkan nomor urut 1 saya berharap 'kengerian' itu cepat berlalu.

Ada kisah menarik yang mirip dengan pengalaman saya. Seorang bapak takut sekali mati. Suatu kali dia didatangi malaikat pencabut nyawa. Di tangannya ada catatan siapa saja yang akan dicabut nyawanya. Dia melihat namanya ada di urutan pertama. Dengan ramah dia menjamu malaikat itu dan memberinya minuman yang membuatnya tertidur. 

Saat melihat malaikat itu tidur, dia segera memindahkan namanya ke urutan yang paling bawah. Ketika malaikat itu bangun, sambil tersenyum dia berkata, "Wah, maaf saya bisa tertidur di rumahmu nyenyak sekali. Terima kasih bisa beristirahat. Sebagai hadiah, saya akan mengambil nyawa orang yang namanya terletak di urutan paling belakang lebih dulu!"

Ingatan berikutnya melesat cukup jauh, yaitu saat saya antre di bank. Bank-nya penuh, udara panas, antrean panjang. Lengkap sudah penderitaan saya. Beda sekali dengan mengantre di bank saat ini. Di samping ruangan ber-AC, ada kursi nyaman untuk duduk sambil menunggu antrean dan bisa membunuh waktu sambil bermain gadget. Meskipun begitu, setiap orang ingin tidak antre dengan menjadi nasabah premium atau prioritas. Seenak-enaknya antre, bukankah lebih enak tidak antre? He, he, he.

Lompatan film berikutnya terjadi saat saya mengantar tamu yang ngidam makan kwetiau di Surabaya. Ada resto kwetiau Medan terkenal di Surabaya yang untuk makan saja kita diberi nomor antrean. Di luar lagi. Persis seperti dulu waktu saya antre mengurus visa Amerika di kantor konjen Amerika yang lama di Surabaya. Sudah panas, diserbu nyamuk lagi. Jika tidak menemani tamu, lebih baik saya makan mie instan di rumah.

Ke dokter gigi? Antre lagi. Jika banyak orang yang jengkel antre di dokter gigi, saya tidak.  Mengapa? Di samping antreannya yang tidak terlalu panjang, karena saya sudah bikin janji sebelumnya, ruangan praktik dokter gigi itu nyaman dan---ini yang penting---ada bacaan. Bagi seorang predator buku, bacaan yang tercetak, tetap menarik minat saya, di samping yang bisa saya baca lewat layar ponsel, tab maupun kindle.

Antrean yang bisa bikin saya termehek-mehek adalah antrean di BPJS. Karena jumlah yang dilayani jauh lebih banyak ketimbang yang bisa melayani, maka antrean untuk mendapatkan layanan kesehatan ini kadang justru membuat kita sakit. Beruntung pemerintah segera membenahinya.

Namun, ada antrean atau  pengambilan nomor urut yang begitu menguras tenaga dan menyita waktu ternyata diperjuangkan banyak orang, yaitu mereka yang ingin menjadi orang pertama yang memiliki gawai premium keluaran pertama entah ios maupun android.

Bicara tentang antrean dan nomor urut, setelah partai peserta pemilu  mendapat nomor urut masing-masing dan setiap parpol mengklaim nomornya yang terbaik, kini giliran kita menyaksikan pengambilan nomor urut untuk pilpres. Karena hanya ada dua, sebenarnya tidak terlalu signifikan. Mengapa begitu? Dua-duanya mendapatkan keuntungan.

Jika mendapat nomor satu, para pendukung gampang sekali membuat tagline atau bahasa iklan. Toh sudah menjadi nomor satu. Bagaimana jika mendapat nomor dua? No problem, karena angka itu, jika dipresentasikan lewat jari melambangkan huruf 'V' artinya 'Victory'. Kubu Jokowi-Ma'ruf---khususnya relawan---ngebet ingin dapat nomor ini karena kemenangan pada pilpres terdahulu yang mendapat nomor saya sama sehingga gampang berkata, "Salam dua jari!"

Bagi saya pribadi, menjadi nomor satu atau nomor dua, masing-masing punya plus minusnya. Apa minus jadi nomor satu? Di samping jadi bahan ejakan, "Tidak ada kecap yang nomor 2", menjadi yang nomor puncak bisa backfire. Kok bisa? Merasa nyaman dan tidak ada celah untuk mengembangkan diri.

Jika saya dapat nomor dua---bukan sekadar urutan, tetapi benar-benar kenyataan di lapangan---nomor itu memberi saya kesempatan untuk berusaha lebih keras lagi agar kelak bisa menjadi nomor satu. Lawan kata dari baik, bukanlah buruk, melainkan sempurna. Kok bisa? Soalnya ketika kita merasa sudah sempurna, buat apa capek-capek berusaha lagi?

Bagi Prabowo-Sandi maupun Jokowi-Ma'ruf, dan para pendukungnya, saya berharap nomor urut berapa pun yang mereka peroleh, hendaklah tetap menomor satukan kepentingan bangsa dan negara.

  • Xavier Quentin Pranata, yang senang melihat rajutan benang warna-warni yang membuat selendang nusantara bertambah indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun