Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Nature

Orangutan dan Komodo : Ketika Kejahatan Konservasi Masif, Penyidik Permisif ?

11 November 2011   14:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:47 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Rupanya belum ada tempat yang aman bagi kehidupan satwa-satwa liar. Sekalipun aturan yang menetapkan mereka sebagai satwa dilindungi (endangered species) dalam konvensi internasionalseperti Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan nasional seperti Lampiran Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, baik yang terancam punah (threatened with extinction) maupun yang populasinya jarang/endemik, tetapi keselamatan dan kelestariannya masih saja menjadi pertaruhan besar. Tidak hanya terjadi di dalam habitat aslinya (in-situ), tetapi juga di luar (ex-situ) berwujud kebun binatang sebagai salah satu jenis Lembaga Konservasi.

Bagi para pengamat, pemangku jabatan dan aktivis lingkungan khususnya yang menekuni konservasi  keanekaragaman hayati (biological diversity), dua peristiwa yang telah diberitakan luas oleh media cetak maupun elektronik ini menunjukkan masifnya tindak pidana atau kejahatan konservasi. Yang pertama adalah temuan tulang-tulang orang utan (pongo pygmaeus morio) di perkebunan kelapa sawit Desa Puan Cepak, Muara Kaman, Kutai Kertanegara (Kompas). Saksi kepala desa dan ahli Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman juga menguatkan fakta-fakta tersebut (disini) dan (disini). Bukan cuma itu, fakta yang ditemukan oleh Centre of Orangutan Protection bulan Agustus 2011 lalu itu juga melaporkan  perdagangan tengkorak orangutan sebagai sovenir secara sembunyi-sembunyi di Pontianak, Palangkaraya dan Balikpapan (COP).

Tragedi konservasi lainnya adalah kematian komodo di Kebun Binatang Surabaya. Ini malah memalukan dan sangat ironi, satwa yang dikampanyekan secara luas oleh Pendukung Pemenangan Komodo (P2Komodo) dipimpin Emmy Hafild untuk menjadi New7Wonders tersebut, ternyata mati karena sakit-sakitan dan kurang makan, justru di tempat perawatan dan pengembangbiakkan  luar habitat (ex-situ). Bukan satu, tetapi dua sekaligus dalam bulan Oktober lalu. Bukan cuma Komodo, tapi ternyata juga rusa, ular phyton, dan rusa (disini). Lagi-lagi inilah "prestasi" Kebun Binatang Surabaya, yang mengklaim berpengalaman 95 tahun mengurusi satwa.

Lalu, apakah status "dilindungi" bagi satwa-satwa yang mati tersebut menimbulkan dampak tertentu? Tegasnya, apakah status tersebut memberikan keistimewaan terhadap kematian satwa yang tidak alamiah atau wajar ?

Bagi yang berlogika praktis, status tersebut tidak memiliki makna yang berarti karena satwa dilindungi adalah binatang seperti juga pada umumnya. Dia tidak berakal, tidak pula berkontribusi secara langsung terhadap kehidupan jangka pendek manusia. Sudah biaya pemeliharaan dan pemantauannya besar,  sulit pula bisa diakrabi karena mereka tetap satwa liar. Sebagian lagi meyakini, perburuannya justru berguna bagi  bahan dasar obat alternatif, dijual bagian-bagiannya sebagai sovenir, dan sebagainya. Yang lain beralasan untuk "sekadar" memuaskan nafsu dan hasrat maskulinitas, gagah-gagahan atau ekspresi penaklukan (conquer), seperti kisah Sukatmoko, petugas Taman Nasional Way Kambas, yang kerap berhadapan dengan aksi orang-orang berseragam TNI memburu satwa-satwa dilindungi di wilayah tersebut (Kompas, 9 Nopember 2011, halaman 16).

Mereka yang paham dan berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan tentunya tidak akan menggunakan dan menentang logika tersebut. Pencantuman "dilindungi" bagi satwa memberikan keistimewaan perlakuan karena keunikan dan kekhasan bentuk, warna, sejarah, dan karakteristik alami  lainnya, sehingga secara komersial dapat meningkatkan industri pariwisata. Pencantuman tersebut juga menunjukkan bukti keterbatasan populasinya akibat degradasi habitat, perubahan iklim atau perburuan manusia sebagai sebab klasik, sehingga negara perlu memberikan perlindungan khusus. Sementara bagi mereka yang menekuni disiplin tertentu seperti biologi, teknik lingkungan, kehutanan, dan lainnya, peran dan fungsi satwa tersebut terhadap keseimbangan ekosistem,  menjalankan siklus atau seleksi alam, dan mengurai rantai makanan, tidak dapat diremehkan.

Dua peristiwa kematian satwa dilindungi tersebut menunjukkan kejahatan konservasi yang masif. Mengapa demikian, karena orangutan yang ditemukan sudah berupa tengkorak dan tulang, sehingga mengindikasikan akibat dari pembunuhan yang dilakukan pada waktu lampau. Tidak cuma itu, banyaknya tulang yang ditemukan menunjukkan adanya perburuan secara rapid.  Anehnya, penyidik BKSDA maupun Polda samasekali tidak bisa mengendus aksi-aksi tersebut. Apalagi apabila kita mengamati berita adanya sayembara oleh kelompok yang pro-pemilik konsesi perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat/pekebun untuk "berburu" orangutan karena dianggap sebagai "hama". "Kesibukan" baru dipertontonkan mereka ketika penemuan tersebut dipublikasikan oleh aktivis lingkungan dan peneliti kampus melalui media secara luas. Apakah ini gejala apatis dan permisif ?

Lebih geli dan irasional lagi mengamati respon para penyidik terhadap kematian satwa-satwa dilindungi di Kebun Binatang Surabaya (KBS).  Kematian yang merupakan kejadian yang berulang tersebut  sesungguhnya bisa membuat mereka berinisiatif sejak dini menguji indikasi pelanggaran hukum yang diatur Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, dan menerapkan ancaman pidana terhadap pihak-pihak KBS. Pasal tersebut berbunyi :

"Setiap orang dilarang untuk :

a. mengambil, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laindi dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi."

Penyidik yang biasanya "gemar" menerapkan ajaran turut-serta (accomplice), ex Pasal 55 KUHP,  secara umum diistilahkan sebagai "berkomplot" atau "kongkalingkong" terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus, tiba'tiba "melempem" menjalankannya terhadap fenomena ini. "Pola" yang semestinya mudah disidik terhadap pihak yang dropping dana bagi kebutuhan satwa, faktanya  toh menjadi sulit. Barulah ketika koleksi komodo yang kedua ditemukan mati, petinggi kota Surabaya dan aparat Polda Jatim reaktif, spontan dan berbondong-bondong meninjau KBS. bahkan sang petinggi kota berkomentar kira-kira : "Kenapa terjadi lagi, pasti ada sesuatu". Luar biasa aneh. Meminjam ungkapan bahasa Betawi, hal tersebut mungkin bisa kita komentari :  "Ngapain aje dari kemaren, baru sekarang pade komentar?".

Pada kesempatan lalu, saya pernah mengangkat tema indikasi kejahatan konservasi KBS , baik di (Kompasiana) maupun di salah satu situs hukum yang menjadi rujukan utama nasional yang dimuat kembali pada situs lain (disini). Saya utarakan bahwa dalam pandangan yuridis, isu lingkungan khususnya konservasi satwa dilindungi yang menjadi bidang keanekaragaman hayati, belum mendapat perhatian besar dan prioritas atau setidaknya sejajar dengan isu-isu lain dalam ilmu hukum konvensional. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan mengenai benda yang menjadi obyek perlindungan. Ilmu hukum konvensional memfokuskan nyawa manusia, barang dengan hak kepemilikan, serta martabat/kehormatan sebagai benda hukum, sedangkan yang menjadi benda hukum dalam keanekaragaman hayati adalah makhluk hidup yang mempunyai naluri dan siklus kehidupan sendiri. Disamping itu, masih diyakini bahwa akibat hukum kejahatan lingkungan (spesies) tidak langsung mengancam dan merugikan manusia sebagai subyek hukum.

Sudah waktunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990  diamandir oleh Pemerintah bersama Dewan. Pemidanaan dan sanksi pidana pada Pasal 40 perlu mengadopsi pertanggungjawaban mutlak (strict liability), mengikuti ajaran yang sama pada Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sekalipun nantinya mungkin lembaga peradilan "enggan" menerapkan ajaran tersebut, seperti pada kasus Coca-Cola (disini) dan (disini), namun setidaknya fenomena satwa mati seperti di KBS lebih mudah menjerat dan membawa pengurus yang ke persidangan.

Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)”

Catatan : foto adalah ilustrasi bersumber dari beritadaerah.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun