c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laindi dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi."
Penyidik yang biasanya "gemar" menerapkan ajaran turut-serta (accomplice), ex Pasal 55 KUHP, secara umum diistilahkan sebagai "berkomplot" atau "kongkalingkong" terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus, tiba'tiba "melempem" menjalankannya terhadap fenomena ini. "Pola" yang semestinya mudah disidik terhadap pihak yang dropping dana bagi kebutuhan satwa, faktanya toh menjadi sulit. Barulah ketika koleksi komodo yang kedua ditemukan mati, petinggi kota Surabaya dan aparat Polda Jatim reaktif, spontan dan berbondong-bondong meninjau KBS. bahkan sang petinggi kota berkomentar kira-kira : "Kenapa terjadi lagi, pasti ada sesuatu". Luar biasa aneh. Meminjam ungkapan bahasa Betawi, hal tersebut mungkin bisa kita komentari : "Ngapain aje dari kemaren, baru sekarang pade komentar?".
Pada kesempatan lalu, saya pernah mengangkat tema indikasi kejahatan konservasi KBS , baik di (Kompasiana) maupun di salah satu situs hukum yang menjadi rujukan utama nasional yang dimuat kembali pada situs lain (disini). Saya utarakan bahwa dalam pandangan yuridis, isu lingkungan khususnya konservasi satwa dilindungi yang menjadi bidang keanekaragaman hayati, belum mendapat perhatian besar dan prioritas atau setidaknya sejajar dengan isu-isu lain dalam ilmu hukum konvensional. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan mengenai benda yang menjadi obyek perlindungan. Ilmu hukum konvensional memfokuskan nyawa manusia, barang dengan hak kepemilikan, serta martabat/kehormatan sebagai benda hukum, sedangkan yang menjadi benda hukum dalam keanekaragaman hayati adalah makhluk hidup yang mempunyai naluri dan siklus kehidupan sendiri. Disamping itu, masih diyakini bahwa akibat hukum kejahatan lingkungan (spesies) tidak langsung mengancam dan merugikan manusia sebagai subyek hukum.
Sudah waktunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 diamandir oleh Pemerintah bersama Dewan. Pemidanaan dan sanksi pidana pada Pasal 40 perlu mengadopsi pertanggungjawaban mutlak (strict liability), mengikuti ajaran yang sama pada Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sekalipun nantinya mungkin lembaga peradilan "enggan" menerapkan ajaran tersebut, seperti pada kasus Coca-Cola (disini) dan (disini), namun setidaknya fenomena satwa mati seperti di KBS lebih mudah menjerat dan membawa pengurus yang ke persidangan.
“Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)”
Catatan : foto adalah ilustrasi bersumber dari beritadaerah.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H