Tulisan ini tidak berhubungan dengan centang-prenang manajemen transportasi ibukota yang lagi-lagi mengemuka. Transportasi yang saya maksudkan disini adalah jasa transportasi penumpang di bandara Ahmad Yani, Semarang. Sama sekali bukan ingin menebar "provokasi" dari permasalahan transportasi yang dialami bandara lain dan pernah "diselesaikan" Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Ihwal peristiwa itu terjadi saat saya melakukan perjalanan dinas pertengahan Juli lalu ke Semarang dan kebetulan menggunakan jasa angkutan pesawat udara. Apa pasal? Penyediaan jasa transportasi penumpang (baca : konsumen) bandara membuat saya terperangah, bukan karena terobosan modernisasi atau manajemen yang memanjakan penumpang. Justru sebaliknya, cukup irasional dan menjengkelkan. Ya penyediaannya, ya tarif nya. "Geregetan", begitu bila merujuk lirik lagu Sherina yang "dibundling" salah satu operator selular. Bukan cuma tanpa pilihan, tarif nya pun melesat hingga langitan dan terkesan diluar kewajaran.
Turun dari pesawat, hanya ada 1 operator penyedia jasa angkutan penumpang. Seperti taksi, bercat putih. Apa boleh buat, operator itu menjadi penyedia tunggal layanan angkutan penumpang bandara sehingga praktis konsumen tidak punya pilihan lain. Sudah begitu, dalam antrian ke-3, saya terhenyak mendengar tarif sang penjual tiket. Ya, tanpa argo, tarif ditentukan "ketok palu" berdasarkan zona wilayah. Untuk tujuan Jl. Indraprasta, yang saya taksir berjarak kurang dari 5 km dari bandara, saya diminta merogoh kocek Rp 35 ribu. Dengan tingkat kepadatan lalu lintas dan jarak sepanjang itu di kota Semarang jelas irasional bagi saya.
Sebagai konsumen tentunya kita berhak mendapat pelayanan yang layak dan rasional, dan untuk itu diperlukan persaingan yang sehat antar-pelaku usaha agar tercipta harga yang efisien. Demikian kira-kira kaidah dan relevansi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. "
"Nasib" saya diatas mengingatkan pada 2 putusan KPPU atas penerapan hukum persaingan dalam penyediaan jasa angkutan penumpang di bandara. Kompasianer bisa membaca dan memeriksanya lebih jauh (disini) dan (disini). Apabila ditelisik, kedua putusan tersebut menyangkut pasar produk (product market) yang sama, yaitu jasa pelayanan angkutan taksi/penumpang bandara. Sedangkan pasar geografis (geographical market) masing-masing ada dalam wilayah hukum PT. Angkasa Pura I (Persero) cabang Bandara Internasional Sultan Hasanudin, Makasar, dan wilayah hukum PT. Angkasa Pura I (Persero) cabang Bandara Juanda, Surabaya. Keduanya juga menyangkut tuduhan pelanggaran pasal yang mirip, yaitu Pasal 17 dan Pasal 19 UU No. 1999.
Sedikit mempersingkat, dari 2 tuduhan pelanggaran pasal tersebut, akan diuraikan Pasal 19 saja dibawah ini :
Pasal 19 :
"Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau